Menuju konten utama

KPA Desak Pemerintah Bentuk Lembaga Khusus Reforma Agraria

Dewi meminta lembaga khusus agraria itu di bawah Presiden karena takut ada kepentingan apabila di bawah kementerian dan bertanggung jawab ke pemerintah.

KPA Desak Pemerintah Bentuk Lembaga Khusus Reforma Agraria
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika di Ruang Rapat Komisi XIII DPR RI, Jakarta, Rabu (24/9/2025). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmad

tirto.id - Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mendesak pemerintah agar membentuk lembaga khusus yang menangani reforma agraria. Ke depan, lembaga tersebut diharapkan langsung di bawah naungan Presiden Prabowo Subianto.

Permintaan itu disampaikan di hadapan para pimpinan DPR RI di Ruang Rapat Komisi XIII DPR RI, Jakarta, Rabu (24/9/2025). Pimpinan DPR yang terlihat hadir yakni Sufmi Dasco Ahmad, Cucun Ahmad Syamsurizal, dan Saan Mustopa.

“Soal kelembagaan, Pak Dasco, Pak Saan, kemudian Pak Cucun (pimpinan DPR RI), kami menginginkan ada kelembagaan khusus untuk menjalankan reforma agraria,” kata Dewi di Ruang Rapat Komisi XIII DPR RI, Jakarta, Rabu (24/9/2025).

Sebelumnya, Dewi mengaku sudah pernah melayangkan usulan pembentukan lembaga tersebut sejak masa pemerintahan Presiden Indonesia ke-5 Megawati Soekarnoputri dan masa transisi pemerintahan Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Namun, usulan tersebut terus ditolak.

“Kenapa? Karena sudah berulang kali dulu zaman Presiden Ibu Megawati kami mengusulkan juga tapi ditolak, lalu diperkuat kelembagaannya di Kementerian Agraria Tata Ruang, udah jadi desk direktorat penanganan sengketa, tapi itu tidak terbukti bisa, karena konflik agraria itu lintas sektoral, ada yang berkaitan kehutanan, tambang,” ungkapnya.

Menurut Dewi, Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang ada saat ini tak berjalan optimal dan hanya menjalankan berbagai rapat saja. “Sedikit saja yang jalan, tapi banyak yang tidak jalan, hanya rapat-rapat, output pembentukan GTRA di kabupaten-provinsi, di tempat-tempat eksotis, tapi tidak melibatkan petani, nelayan, CSO yang selama ini mendesakkan reforma agraria,” lanjutnya.

Lalu, dia menjelaskan alasan lembaga khusus agraria itu dibentuk langsung di bawah presiden sehingga bisa langsung melapor ke presiden. Ia mengaku khawatir lembaga khusus tersebut akan membawa kepentingan tertentu ketika berada di bawah kementerian.

“Karena kalau balik lagi ke Kemenko Ekonomi ada bias kepentingan, Kemenko Ekonomi pasti targetnya pengadaan tanah ya untuk skala besar, bukan untuk petani kecil,” ucap Dewi.

Menurut Dewi, lembaga khusus reforma agraria bisa bersifat ad hoc dengan presiden yang mempimpinnya. Ia pun mendorong perlunya tenggat waktu penyelesaian dalam waktu tertentu untuk luas lahan tertentu.

“Misalnya kalau mau 9 juta hektare targetnya mau dicapai dalam jangka waktu berapa. Di Indonesia tidak ada time frame-nya, nggak bersifat ad hoc, harusnya ada kelembagaan khusus yang memang itu dipimpin langsung oleh presiden, sehingga bisa mengecek progres setiap menteri dan lembaga,” tambahnya.

Adapun usulan pembentukan lembaga khusus itu diharapkan dapat segera menuntaskan persoalan agraria di Tanah Air. Salah satu permasalahan yang disorotinya adalah pertama, penjarahan terhadap petani dan nelayan hingga masyarakat adat kehilangan tanahnya.

“Ini adalah isu-isu, ini adalah penjarahan nyata di lapangan bagaimana petani, nelayan, masyarakat adat kehilangan tanahnya, nelayan kehilangan aksesnya ke laut, nelayan tangkapnya di kampung-kampung, dan konsesi-konsesi itu terus berdiri, bahkan puluhan tahun,” ucap Dewi.

Kemudian, ia menyinggung persoalan lainnya adalah terkait janji-janji pemerintah yang ingin menertibkan tanah terlantar sebesar 7,3 hektar.

Ketiga, KPA juga menyinggung tindakan anarkis oleh aparat keamanan terhadap para tani. Kekerasan terhadap aparat itu terjadi saat pihaknya tengah menangani kericuhan akibat konflik agraria di lapangan. Dewi mengklaim janji serupa telah lama digaungkan sejak jaman Orde Baru, pemerintahan SBY, hingga saat ini. Namun, prosesnya nihil.

“79 orang yang kehilangan nyawanya di wilayah konflik agraria itu bukan angka statistik. Tapi ini seperti dianggap kasus-kasus biasa saja dan kadangkala respons pemerintah adalah seperti pemadam kebakaran. Ketika sudah ada korban, turun, tetapi konflik agraria nya tidak dituntaskan.Hak-hak atas tanahnya tidak dipulihkan,” tegas Dewi.

Baca juga artikel terkait AGRARIA atau tulisan lainnya dari Nabila Ramadhanty

tirto.id - Flash News
Reporter: Nabila Ramadhanty
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Andrian Pratama Taher