tirto.id - Dalam empat tahun terakhir, pemerintah telah menggelontorkan dana desa dengan total anggaran sebesar Rp187 triliun. Namun, program ini belum bisa menekan jumlah pengangguran di pedesaan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di desa pada Agustus 2018 justru naik tipis dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menjadi ironis lantaran pemerintah terus menggenjot kucuran dana desa, yang awalnya hanya Rp20,77 triliun pada 2015 menjadi Rp60 triliun pada 2018.
Di luar ironi itu, dana desa ternyata tak luput dari praktik korupsi. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto menyebut korupsi masih jadi salah satu problem utama pengelolaan dana desa. Dalam 6 bulan pertama 2018, ICW sudah mencatat 27 kasus korupsi dana desa yang sudah naik ke tahap penyidikan.
Sementara sepanjang 2017, kata Agus, ICW mencatat ada 98 kasus. Angka ini tentu hanya sebagai puncak gunung es dari penyelewengan dana desa yang terjadi selama empat tahun terakhir. Ini ditunjukkan dengan peningkatan jumlah kasus dari tahun ke tahun.
Menurut Agus, aktor yang terlibat korupsi dana desa biasanya kepala desa atau perangkat desa. Modus yang digunakan cukup beragam, mulai dari mark-up hingga penyalahgunaan anggaran.
"Misal, seharusnya untuk pembelian barang, tapi digunakan untuk studi banding, padahal sebenarnya wisata," kata Agus kepada reporter Tirto, Selasa (6/11/2018).
Kondisi ini diperburuk dengan belum optimalnya peran warga dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan dana desa. Selama ini, kata Agus, dana desa kerap jadi bancakan lingkaran terdekat kepala desa. Beragam masalah ini tak lepas dari minimnya pembinaan yang dilakukan pemerintah. Ini tampak dari sedikitnya jumlah pendamping desa.
Untuk itu, Agus merekomendasikan pemerintah perlu membuat regulasi yang melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan dana desa. Selain itu, penggunaan dana desa harus dipertanggungjawabkan dalam laporan yang akuntabel.
Sementara itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai proyek yang bersumber dari dana desa kerap kali dibuat tanpa survei.
Bhima mencontohkan pembangunan infrastruktur yang belum berkorelasi pada sektor pertanian. Akibatnya, penduduk di usia kerja terdorong memilih bekerja di kota, di sektor perdagangan, industri manufaktur, dan konstruksi.
Sementara pada sisi lain, kata Bhima, jumlah lapangan kerja pada sektor non-pertanian itu tak mampu menyedot banyak tenaga kerja seperti di sektor pertanian. Maka dari itu, Bhima menilai penyerapan tenaga kerja pada sektor non-pertanian tidak berjalan optimal.
Selain itu, kata Bhima, proyek yang didanai dana desa lebih sering hanya dinikmati segelintir orang di sekitar aparatur desa. Ini berakibat dana yang diharapkan bisa meningkatkan pelayanan publik, mengentaskan kemiskinan, dan memajukan perekonomian desa kembali tidak optimal.
"Jadi tidak merata [dampaknya]" kata Bhima.
Kondisi seperti ini yang lantas menjadi pemicu munculnya pengangguran di desa. "Saya khawatir kalau terus seperti ini, angka pengangguran di desa jumlahnya bisa terus naik. Meskipun kenaikannya sedikit demi sedikit," kata Bhima.
Data Pengangguran dari BPS
Jumlah pengangguran di Indonesia per Agustus 2018 menurut data BPS sebanyak 7 juta orang. Angka ini setara dengan 5,34 persen dari jumlah angkatan kerja di Indonesia yang tercatat sebesar 131,01 juta orang.
Jika ditelusuri lebih detail, data ini menunjukkan jumlah pengangguran di kota masih lebih banyak ketimbang di desa. Pada Agustus 2018, misalnya, persentase pengangguran di kota tercatat sebesar 6,45 persen, sedangkan di desa sebesar 4,04 persen.
Meski persentasenya lebih tinggi, tapi jumlah pengangguran di kota mengalami penurunan secara year-on-year. Pada Agustus 2017, persentasenya mencapai 6,79 persen, turun menjadi 6,45 persen pada Agustus 2018. Sebaliknya, secara year-on-year, pengangguran di desa naik tipis dari 4,01 persen menjadi 4,04 persen.
Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan peningkatan angka pengangguran di desa itu disebabkan jumlah pekerja di sektor pertanian yang menyusut. Menurutnya, para pekerja yang hengkang itu lantas memilih pergi ke kota atau bekerja di sektor lain.
Fenomena tersebut, kata Suhariyanto, sangat berpengaruh terhadap angka pengangguran mengingat sektor pertanian masih menjadi mata pencaharian paling utama yang dijalankan masyarakat.
"Kalau ada transformasi ekonomi [karena dana desa], tenaga kerja di sektor pertanian akan berkurang. Karena apabila dilacak, di sana ada penurunan untuk jumlah petani karet dan palawija,” kata dia, di kantornya, Jakarta, Senin lalu.
Menurut dia, program padat karya tunai selama ini lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan konstruksi di desa dan tidak bersinggungan dengan pertanian.
Meski kenaikannya tidak besar, tapi kenyataan ini cukup ironis mengingat pemerintahan Presiden Joko Widodo terus menggenjot kucuran dana desa. Bahkan untuk tahun depan, anggaran yang telah disiapkan mencapai Rp70 triliun. Jokowi pun belum lama ini sempat memamerkan dampak dana desa yang disebut ampuh menurunkan kemiskinan di desa hingga dua kali lipat.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz