tirto.id - Rizky Agam Syahputra tak mampu menyembunyikan kekecewaannya usai mendengar para pelaku pembunuhan bapaknya, Ilyas Abdurrahman, mendapatkan keringanan hukuman. Hal itu terjadi usai Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan kasasi bagi ketiga terdakwa pelaku penembakan Ilyas–seorang bos rental mobil asal Tangerang–hingga tewas.
Rizky menilai putusan kasasi MA justru mengoreksi putusan awal yang dikeluarkan oleh pengadilan militer. Meskipun pengajuan banding ditolak MA, ketiga terdakwa menikmati diskon vonis hukuman penjara.
Keluarga korban juga belum mengetahui alasan MA mengoreksi putusan. “Bahkan sampai saat ini keluarga belum menerima salinan lengkap putusan,” kata Rizky saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa (21/10/2025).
Ilyas Abdurrahman (48) meregang nyawa karena ditembak anggota TNI di Rest Area Kilometer 45 Tol Merak-Tangerang, pada 2 Januari 2025 lalu. Kelasi Kepala Bambang Apri Atmojo dan Sersan Satu Akbar Adli, dinyatakan terbukti bersama-sama terlibat pembunuhan berencana terhadap Ilyas.
Karena itu, dalam sidang putusan Pengadilan Militer II-08 Jakarta pada Maret lalu, keduanya divonis seumur hidup. Sementara satu anggota TNI lainnya, Sersan Satu Rafsin Hermawan, divonis penjara 4 tahun karena terbukti sebagai penadah. Ketiganya juga dipecat sebagai anggota TNI.
Namun putusan kasasi MA membuat Bambang dan Akbar divonis penjara 15 tahun. Adapun Rafsin dikurangi hukumannya menjadi 3 tahun. Perbaikan putusan juga mewajibkan ketiga terdakwa membayar restitusi kepada pihak-pihak korban.

Menurut Rizky, kata-kata ‘memperbaiki’ putusan yang sudah ditetapkan sebelumnya, sangat menyakiti hati keluarga. Menurut dia, ketika kasasi ditolak MA, seharusnya tetap pada vonis sebelumnya.
Ia mengaku beban hidupnya teramat berat sejak bapaknya tewas di tangan para terdakwa. Rizky mesti menghidupi ibu, adik-adiknya, serta istri dan anaknya sendiri. Rizky hanya ingin hidup damai dan tentram dengan keadilan yang ditegakkan atas kematian ayahnya.
Namun sayangnya, kata dia, hukum di negeri ini sudah rusak. “Enggak ada yang diperbaiki di sini pak. Saya sakit hati sekali,” ungkap Rizky.
Putusan kasasi MA di perkara pembunuhan bos rental mobil atas nama Ilyas Abdurrahman sebetulnya sudah diketuk sejak 2 September 2025. Namun, putusan itu baru disoroti saat ini sejak rinciannya terbit di laman kepaniteraan MA. Dalam putusannya itu, MA menolak kasasi para terdakwa.
“Tolak kasasi terdakwa I dan terdakwa II dengan perbaikan pidana dan pembayaran restitusi yang dijatuhkan kepada para terdakwa menjadi: terdakwa I pidana penjara selama 15 tahun dan pidana tambahan dipecat dari dinas militer. Terdakwa II pidana penjara selama 15 tahun dan pidana tambahan dipecat dari dinas militer," tulis putusan kasasi nomor 213 K/MIL/2025 itu.
Perkara pengajuan kasasi ini diperiksa dan diadili oleh Ketua Majelis Hidayat Manao, dengan hakim anggota Sugeng Sutrisno dan Tama Ulinta BR Tarigan, serta Panitera Pengganti Sri Indah Rahmawati.
Selain kurungan badan dan pemecatan dari kedinasan militer, MA juga memutuskan kepada dua terdakwa membayar restitusi dengan nominal berbeda-beda.
Kepada terdakwa Akbar, MA membebankan restitusi kepada keluarga mendiang Ilyas Abdurrahman sebesar Rp209,6 juta dan korban Ramli yang mengalami luka sebesar Rp146,3 juta. Kepada Bambang, MA membebankan restitusi untuk diserahkan kepada keluarga mendiang Ilyas sebesar Rp147 juta dan korban Ramli yang mengalami luka sebesar Rp73 juta.
Apabila restitusi tidak segera dibayarkan dalam jangka 14 hari pascaputusan, oditur militer dapat menyita harta milik kedua terdakwa dan melelangnya. Apabila tetap tidak mencukupi, diganti dengan pidana kurungan tiga bulan. Sedangkan terdakwa Rafsin, juga diberikan MA diskon hukuman menjadi 3 tahun, namun tetap dipecat dari dinas militer.
Mengapa Bisa Terjadi Pengurangan Hukuman?
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menilai sudah mencurigai pengurangan hukuman ini bakal terjadi. Itulah mengapa sejak awal Ardi meminta ketiga terdakwa dari unsur tentara itu diadili di pengadilan umum.
“Karena sistem peradilan militer cenderung menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan kejahatan. Ujungnya seperti ini, kasasi akan masuk pada kamar militer di MA dan ujungnya seperti yang sudah diduga kamar militer di Mahkamah Agung mengkorting hukuman para terpidana pelaku,” ujar Ardi kepada wartawan Tirto, Selasa (21/10/2025).
Menurut Ardi, impunitas sistem peradilan militer masih terjadi dikarenakan kekeliruan dalam memaknai esprit de corps atau semangat kebersamaan dan solidaritas para prajurit. Karena seharusnya jiwa korsa itu dimaksudkan untuk memperkokoh disiplin dan moral para prajurit.
Sayang di dalam praktiknya, prinsip ini disalahgunakan menjadi praktik loyalitas tanpa batas terhadap sesama anggota militer. Bahkan ketika prajurit terseret kasus pelanggaran hukum.
Pemaknaan yang keliru tersebut, kata Ardi, menciptakan kondisi yang membuat peradilan menjadi instrumen impunitas dan menghasilkan hukuman yang tak proporsional bagi pelaku tindak pidana dari kalangan militer.
“Dalam konteks ini, esprit de corps berubah dari nilai etis yang mendukung profesionalisme, menjadi mekanisme perlindungan internal yang menghambat akuntabilitas. Akibatnya penegakan hukum kehilangan independensi dan keadilan substantif, terutama bagi korban dan keluarganya,” tegas Ardi.
Putusan tak maksimal, tak ada efek jera ke personel militer
Polanya pun sudah sering terbaca karena beberapa kali terjadi. Ardi menjelaskan, biasanya di pengadilan tingkat pertama, anggota TNI yang melakukan kejahatan divonis berat. Hal ini diambil untuk menjawab kemarahan publik atas tindak pidana yang dilakukan prajurit militer, terutama ketika kasusnya tengah mendapat perhatian besar publik.Namun ketika kasusnya sejak awal tidak mendapatkan perhatian publik, sering pengadilan tingkat pertama mengeluarkan putusan vonis ringan. Begitu pula ketika vonis berat, upaya hukum berikutnya yang dilakukan pihak terdakwa dari unsur militer cenderung menghasilkan hukuman vonis akhir yang lebih ringan dari vonis sebelumnya.
“Entah pada upaya hukum banding atau kasasi. Karena pada tingkat peradilan berikutnya, publik sudah tidak lagi memperhatikan kasus tersebut dan persidangan banding atau kasasi juga dilakukan secara tertutup. Inilah yang membuat hukuman pada tingkat berikutnya berpotensi lebih rendah,” jelas Ardi.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, memandang wajar putusan kasasi MA mengundang pertanyaan publik. Sebab koreksi atas putusan sebelumnya tidak dijelaskan secara terbuka. Bagi korban dan masyarakat luas putusan MA merupakan preseden bermasalah dan menegaskan impunitas terhadap prajurit militer yang terlibat tindak pidana.
“Karena memunculkan pertanyaan, kenapa tidak dilakukan hukuman maksimal? Padahal terdakwa membunuh dengan keji. Menggunakan senjata api secara sewenang-wenang sehingga memperburuk citra TNI. Jadi dari aspek yang memberatkan justru sangat banyak,” ungkap Isnur kepada wartawan Tirto, Selasa (21/10).
Isnur khawatir putusan yang tidak maksimal akan melahirkan efek jera yang lemah terhadap tentara lain. Padahal, tindak kekerasan bahkan pembunuhan warga sipil oleh unsur militer adalah kejadian serius karena melibatkan sektor pertahanan negara yang disalahgunakan.
Tetapi Isnur mengapresiasi putusan kasasi MA yang memberikan kewajiban restitusi kepada para terdakwa. Upaya hak restitusi sebelumnya ditolak di tingkat pengadilan militer karena terdakwa dinilai tidak akan mampu memenuhinya sebab sudah dipecat dari dinas militer.
“Bagi saya untuk hal ini menjadi pendekatan yang baik bagi MA. Korban mendapatkan ganti uang dan memerintahkan sita aset jika para terdakwa tidak mampu,” ujar Isnur.

Kasus Pidana Melibatkan Aparat Seharusnya di Peradilan Umum
Proses peradilan militer yang tertutup sebetulnya sudah sering dikritisi karena bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas sistem peradilan. Vonis ringan seperti perkara penembakan bos rental mobil Ilyas Abdurrahman, bukanlah peristiwa satu-satunya.
Di Medan, pengadilan militer memvonis ringan prajurit TNI bernama Sertu Riza Pahlevi usai diduga menganiaya seorang pelajar SMP hingga meninggal dunia. Pengadilan militer hanya memvonis 10 bulan penjara kepada terdakwa. Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Militer I-02 Medan itu memicu kemarahan publik dan kritik dari banyak organisasi masyarakat sipil.
Dalam kerangka reformasi keamanan pasca-reformasi 1998, agenda pemisahan militer dari urusan sipil dan mekanisme pengawasan sipil terhadap militer sebetulnya menjadi tuntutan penting. Dalam Undang‑Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada Pasal 65 ayat (2) secara tegas menyebutkan bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana umum atau kejahatan sipil, harus diadili di peradilan umum, bukan militer.
Namun kenyataannya, ketentuan itu masih sering kali diabaikan. Bahkan agenda reformasi untuk merevisi Undang‑Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang sudah lama digagas juga tidak kunjung diselesaikan.

Juru Bicara Amnesty International Indonesia, Haeril Halim, menyatakan bahwa kasus pidana yang melibatkan aparat idealnya memang mesti diadili dalam peradilan umum. Negara tidak bisa melanggengkan budaya impunitas di tubuh TNI dengan cara mengadili personel militer yang terlibat dalam kasus pidana umum lewat peradilan militer.
Amnesty mengingatkan pemerintah dan DPR segera melakukan reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Haeril menilai langkah itu menjadi penting agar pengadilan militer tidak dibebani oleh kasus-kasus pidana umum yang seharusnya diadili pengadilan umum.
Dengan cara ini pengadilan militer dapat fokus menangani kasus-kasus pelanggaran yang terkait dengan kedinasan militer. Karenanya, revisi UU Peradilan Militer merupakan langkah mendesak guna memastikan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law).
“Anggota militer yang terlibat dalam tindak pidana umum seharusnya diadili di peradilan umum, sebagaimana warga sipil umumnya, demi menjamin transparansi, independensi, dan keadilan hukum yang lebih baik,” terang Haeril kepada wartawan Tirto, Selasa (21/10).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































