Menuju konten utama

Koperasi-UMKM Urus Tambang: Awas Risiko Lingkungan & Tata Kelola

Koperasi dan UMKM baiknya diberdayakan ke energi terbarukan berbasis komunitas, seperti panel surya atau mikrohidro.

Koperasi-UMKM Urus Tambang: Awas Risiko Lingkungan & Tata Kelola
Sejumlah alat berat memindahkan batu bara ke truk pengangkut di salah satu perusahaan pertambangan batu bara Desa Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Selasa (29/7/2025). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/YU

tirto.id - Pemerintah resmi membuka peluang bagi koperasi, ormas, hingga UMKM untuk mengelola wilayah usaha pertambangan.

Kebijakan ini ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. PP ini merupakan perubahan kedua atas PP Nomor 96 Tahun 2021.

Secara khusus, Pasal 17 Ayat 4 Huruf a PP Nomor 39/2025 menyebutkan bahwa koperasi, badan usaha kecil dan menengah, serta badan usaha milik organisasi kemasyarakatan akan diprioritaskan dalam pengelolaan tambang.

Menteri Koperasi dan UKM, Ferry Juliantono, menyambut positif terbitnya regulasi ini. Dia menilai aturan tersebut memberikan landasan hukum yang kuat bagi koperasi untuk berperan lebih besar dalam pengelolaan tambang mineral dan batu bara, termasuk tambang rakyat.

Menurut Ferry, ini merupakan langkah konkret untuk memperluas kontribusi koperasi terhadap perekonomian nasional melalui sektor strategis.

"Kebijakan ini merupakan langkah penting dalam memperkuat peran koperasi sebagai motor penggerak ekonomi rakyat, serta membuka peluang baru dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan," ucap Ferry dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (8/10/2025).

Sosialisasi Koperasi Desa Merah Putih

Menteri Koperasi Ferry Juliantono (tengah) menghadiri Sosialisasi Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Denpasar, Bali, Selasa (29/4/2025). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nym.

Penegasan peran koperasi dalam sektor minerba tercantum tidak hanya dalam satu pasal, melainkan di beberapa ketentuan penting lainnya dalam PP tersebut. Pertama, Pasal 26C mengatur bahwa verifikasi administratif dan legalitas koperasi akan dilakukan oleh Menteri Koperasi.

Selanjutnya, Pasal 26E menyebutkan bahwa koperasi dapat memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) melalui sistem online single submission (OSS) dengan status prioritas. Sedangkan, Pasal 26F mengatur batasan luas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) yang dapat diberikan kepada koperasi, yakni hingga 2.500 hektare untuk mineral logam atau batu bara.

Menteri Ferry berharap kebijakan ini dapat memberikan dampak ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat serta mendorong pemerataan ekonomi.

"Saya yakin program itu akan berdampak lebih luas dan koperasi menjadi badan usaha yang lebih baik bagi masyarakat khususnya yang tinggal di wilayah dengan potensi tambang," jelasnya.

Pemerintah Siapkan Aturan Teknis Lewat Permen

Bak gayung bersambut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini tengah menyusun peraturan menteri (permen) yang akan menjadi aturan teknis pelaksanaan terkait koperasi yang diberi kewenangan untuk mengelola tambang.

Permen tersebut tidak hanya mengatur soal koperasi, tetapi juga mencakup elemen lain, seperti UMKM, ormas, dan organisasi keagamaan yang akan diprioritaskan untuk mendapatkan akses terhadap kegiatan usaha pertambangan sebagaimana diamanatkan dalam UU Minerba yang baru.

"Jadi, di UU Minerba baru, itu diberikan prioritas untuk UMKM, koperasi, organisasi kemasyarakatan, keagamaan. Permennya disusun," ucap Bahlil di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (8/10/2025).

Raker Menteri ESDM bersama Komisi XII DPR

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/7/2025). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/YU

Lebih lanjut, Bahlil menjelaskan bahwa permen tersebut akan merinci jenis koperasi dan UMKM yang memenuhi kriteria untuk bisa mengelola tambang. Meski demikian, dia hingga kini belum mengungkapkan secara detail syarat-syarat yang akan diberlakukan.

Bahlil juga menekankan bahwa pemerintah akan memprioritaskan koperasi dan UMKM di luar Jakarta, khususnya yang berada di wilayah sekitar lokasi tambang. Tujuannya adalah agar pengelolaan sumber daya alam bisa memberikan manfaat yang langsung dirasakan oleh masyarakat lokal.

"Bukan UMKM atau Koperasi dari Jakarta. Jadi, contoh tambang ada di Kalimantan Utara, ya koperasi dan UMKM-nya harus yang ada di Kalimantan Utara, jangan yang di Jakarta," sebutnya.

Lalu, apa saja catatan dari para pakar dan pegiat lingkungan soal kebijakan ini?

Tata Kelola dan Kapasitas

Peneliti hukum dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhamad Saleh, mengatakan bahwa pembukaan ruang partisipasi lokal melalui koperasi dan UKM dalam sektor pertambangan juga harus mempertimbangkan buntut persoalan tata kelola.

Saleh menekankan bahwa koperasi dan UMKM belum tentu memiliki kapasitas memadai untuk menghadapi kompleksitas aktivitas pertambangan.

“Koperasi dan UMKM belum tentu siap menghadapi kompleksitas tambang baik dari sisi modal, pengawasan lingkungan, maupun pertanggungjawaban hukumnya,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (9/10/2025).

Sorotan serupa juga disampaikan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Juru kampanye JATAM, Al Farhat Kasman, menyebut bahwa industri pertambangan merupakan industri yang padat modal dan teknologi. Farhat menilai koperasi tidak memiliki kapasitas tersebut sehingga berpotensi besar mencari pihak ketiga untuk mengelola lahan tambang seluas 2.500 hektare.

“Faktanya, koperasi sama sekali tidak memiliki kapasitas itu. Artinya, akan sangat besar peluang bagi koperasi untuk mencari pihak ketiga yang dapat melakukan pengelolaan lahan tambang sebesar 2500 Hektar,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (9/10/2025).

Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Salma Inaz, Juru Kampanye Satya Bumi. Inaz menilai kebijakan ini berisiko memperburuk tata kelola pertambangan nasional yang selama ini masih jauh dari prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan.

Menurut Inaz, dalam kerangka hukum koperasi di Indonesia, pengawasan utama atas kegiatan usaha dilakukan oleh anggota koperasi sendiri, yang menjadi titik rawan jika diterapkan di sektor pertambangan yang padat modal, teknis kompleks, dan memiliki dampak lingkungan besar.

“Selama ini permasalahan tata kelola pertambangan di indonesia masih jauh dari transparansi dan akuntabilitas dalam setiap aktivitasnya. Ini justru memberikan beban berat bagi koperasi untuk memenuhi standar pertambangan yang baik.” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (9/10/2025).

Dia menambahkan, pemberian izin prioritas kepada koperasi dan UMKM dikhawatirkan mengabaikan standar kelayakan dasar yang harus melekat pada setiap izin pertambangan.

“Label izin prioritas ini bisa mengabaikan kriteria lain, seperti menghilangkan pertimbangan berupa kemampuan administratif dan manajemen, kemampuan teknis dan pengelolaan lingkungan, serta kemampuan finansial yang seharusnya melekat pada aktivitas pengelolaan pertambangan,” ujarnya.

Regulasi dan Aturan

Inaz dari Satya Bumi menambahkan, dari sisi pengawasan dan evaluasi, kebijakan pemberian IUP pada koperasi dan UMKM ini bertumpu pada sistem yang lemah. Dia menyebut bahwa hingga saat ini masih terdapat kesenjangan besar antara regulasi nasional dengan standar internasional, terutama dalam prinsip-prinsip perlindungan lingkungan dan mitigasi krisis iklim.

Inaz merujuk pada prinsip internasional yang dikenal dengan polluters pay principle—yakni prinsip bahwa pihak yang mencemari lingkungan bertanggung jawab atas biaya pemulihannya.

Dalam konteks ini, Inaz mempertanyakan apakah koperasi, UMKM, maupun ormas memiliki kapasitas pendanaan yang memadai untuk menanggung kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi akibat aktivitas pertambangan.

“Sedangkan, biaya besaran untuk merestorasi lahan pascatambang bisa memakan 185 dolar AS per hektare. Ini berdasarkan riset yang dilakukan Dewy Verhoeven dalam artikelnya The Global Cost of International Commitments on Land Restoration,” sambungnya.

PRODUKSI TIMAH INDONESIA TIMAH

Pekerja menyemprotkan air untuk pencucian timah di kawasan tambang terbuka Pemali, Bangka, Sabtu (7/11). Berdasarkan data International Technologi Research Institute, total produksi timah Indonesia pada tahun 2008-2013 mencapai 593.304 ton dan 352.000 ton diantaranya merupakan hasil dari penambangan ilegal. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama/15

Pelibatan koperasi dan UMKM dalam pengelolaan tambang juga memperluas jenis entitas hukum yang kini dapat beroperasi di sektor ekstraktif. Sebelumnya, kegiatan pertambangan hanya terbuka untuk badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang tunduk pada ketentuan dalam undang-undang tentang PT.

Saleh dari Celios menjelaskan bahwa secara kelembagaan, PT memiliki struktur organisasi dan sistem tata kelola yang lebih kompleks. Ini mencakup modal minimum yang lebih besar, pengawasan internal yang terstruktur, kewajiban melakukan audit keuangan, hingga transparansi terhadap pemegang saham.

“Usaha mikro, misalnya, dibatasi pada modal di bawah Rp1 miliar, sementara usaha kecil dan menengah masing-masing berada di bawah Rp5 miliar dan Rp10 miliar. Sementara itu, koperasi dikelola secara kolektif dan memiliki mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda dari PT, ” ujarnya.

Saleh menyebut, dengan membuka ruang bagi entitas yang tidak dirancang untuk aktivitas berisiko tinggi seperti pertambangan, kebijakan ini secara tidak langsung menyamakan kapasitas hukum dan tata kelola antar entitas yang sejatinya tidak setara.

“Hal ini mengabaikan prinsip kehati-hatian dan proporsionalitas dalam hukum dan tata kelola yang selama ini membedakan bentuk badan usaha sesuai kapasitas dan tanggung jawabnya,” ujarnya.

Risiko Pinjam Bendera

Saleh dari CELIOS menyebut bahwa jika regulasinya longgar, risikonya akan sangat tinggi. Celah ini bisa dengan mudah disalahgunakan oleh perusahaan-perusahaan besar melalui skema “pinjam bendera” atau bahkan menjadi beban negara saat terjadi kerusakan lingkungan.

“Standar teknis dan hukum jangan diturunkan hanya karena pelakunya koperasi. Pemerintah harus perketat pengawasan, transparansi, dan audit, serta pastikan skema ini tak jadi celah untuk praktik fronting,” ujarnya.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Farhat dari JATAM. Dia menilai dalam kondisi seperti ini, sangat besar kemungkinan koperasi akan mencari pihak ketiga untuk mengelola lahan tambang seluas 2.500 hektare.

“Pada titik ini, akan begitu banyak perusahaan-perusahaan tambang yang akan membangun kerja sama dengan koperasi. Atau mungkin saja, aktor-aktor pemburu rente sudah ada sejak awal, yang berarti koperasi sebetulnya hanya menjadi pemberi legitimasi atas daya rusak tambang,” ujarnya.

Prinsip Tata Kelola Lingkungan

Inaz dari Satya Bumi mengakui pentingnya desentralisasi ekonomi tambang agar tidak dimonopoli oleh korporasi besar. Namun, dia menegaskan bahwa desentralisasi tidak boleh menjadi alasan untuk melonggarkan prinsip tata kelola lingkungan.

Menurutnya, justru perusahaan besar yang sudah menguasai tambang selama ini harus berbagi manfaat (benefit sharing) dengan koperasi dan UMKM, bukan pemerintah membuka pintu lebih lebar bagi ekspansi eksploitasi tambang oleh entitas baru yang belum tentu siap.

“Bukan malah membuka pintu yg semakin banyak untuk mengeksploitasi. Karena untuk menekan krisis iklim, dalam waktu dekat seluruh kegiatan ini harus dihentikan,” ujarnya.

Inaz menambahkan, ini bukan merupakan bentuk demokratisasi energi yang tepat. Alih-alih memperluas akses masyarakat secara berkeadilan, kebijakan ini justru dapat mendorong terjadinya fragmentasi aktivitas pertambangan di berbagai wilayah tanpa kontrol yang memadai.

“Ibarat kata, ini memberikan efek death by thousand cuts yang artinya menggambarkan bagaimana kerusakan lingkungan terjadi akibat akumulasi aktivitas-aktivitas yang tersebar semakin sporadis ke seluruh wilayah menyebabkan kerusakan yang luas dan parah,” ujarnya.

Sementara itu, Peneliti ekonomi CELIOS, Jaya Darmawan, mendorong agar koperasi dan UMKM tidak diarahkan masuk ke sektor pertambangan. Menurutnya, mereka baiknya diberdayakan untuk menggarap energi terbarukan berbasis komunitas, seperti panel surya, mikrohidro (PLTMH), atau program efisiensi energi lainnya.

Selain lebih ramah lingkungan, pendekatan ini juga sejalan dengan upaya memperkuat ekonomi lokal secara berkelanjutan.

“Jadi, diarahkannya di bidang yang seharusnya terbarukan, yang ramah dengan lingkungan, atau mungkin dihubungkan dengan program-program yang terkait dengan ekonomi restoratif yang lain,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait IZIN TAMBANG atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi