Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Kontroversi Sejarah Supersemar yang Diperingati Setiap 11 Maret

Supersemar dari Presiden Sukarno kepada Soeharto tertanggal 11 Maret 1966 merupakan salah satu titik penting dalam perjalanan sejarah Indonesia.

Kontroversi Sejarah Supersemar yang Diperingati Setiap 11 Maret
Presiden Sukarno dan Letnan Jenderal Suharto pada Oktober 1965. FOTO/AP

tirto.id - Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) merupakan salah satu titik penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Surat dari Presiden Sukarno tertanggal 11 Maret 1966 ini diterima oleh Letnan Jenderal Soeharto yang pada akhirnya justru menjadi ‘surat sakti’ yang berujung pada pergantian kekuasaan.

Supersemar berisi instruksi Presiden Sukarno kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan dalam pengamanan negara. Situasi negara kala itu sedang rentan usai Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang menyeret nama Partai Komunis Indonesia (PKI).

Menurut versi resmi, dikutip dari buku Kekuasaan Presiden Republik Indonesia (2006) karya Susilo Suharto, Presiden Sukarno sedang melantik Kabinet Dwikora yang Disempurnakan (Kabinet 100 Menteri) di Istana Merdeka, Jakarta, pada 11 Maret 1966 itu.

Namun, presiden terpaksa meninggalkan sidang lebih cepat. Sukarno diungsikan ke Istana Bogor dengan helikopter bersama Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh. Sidang pelantikan ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang lantas menyusul ke Bogor.

Eros Djarot dalam Misteri Supersemar (2006) menuliskan, ada laporan terkait pergerakan pasukan liar di sekitar istana. Pasukan ini belakangan diketahui merupakan Pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris yang hendak “membersihkan” orang-orang di kabinet yang diduga terlibat G30S. Salah satunya Soebandrio.

Situasi tersebut dilaporkan kepada Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat. Soeharto –pengganti Ahmad Yani yang gugur dalam peristiwa G30S- tidak menghadiri sidang kabinet dengan alasan sakit tenggorokan, demikian dinukil dari buku Supersemar Palsu (2009) yang ditulis oleh A. Pambudi.

Soeharto kemudian mengutus Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amirmachmud, dan Brigjen Basuki Rahmat untuk menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor. Pada malam harinya, ketiga perwira tinggi AD itu berbincang dengan presiden terkait situasi yang terjadi.

Kepada Presiden Sukarno, mereka menyampaikan pesan bahwa Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan. Namun, hal tersebut dapat dilakukan apabila presiden mengeluarkan surat tugas yang memberikan kewenangan bagi Soeharto untuk mengambil tindakan.

Presiden Sukarno setuju dan dibuatlah Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Surat ini, tulis Samsudin dalam buku Mengapa G30S/PKI Gagal? (2004), memberikan wewenang kepada Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat guna mengambil tindakan yang diperlukan dalam pemulihan keamanan dan ketertiban.

Namun, penerapan surat tersebut jauh dari apa yang seharusnya. Alih-alih hanya untuk menertibkan keamanan, Supersemar konon dijadikan Soeharto sebagai surat sakti sekaligus legitimasi untuk perlahan tapi pasti mengambil-alih kekuasaan. Faktanya, Soeharto akhirnya menjadi Presiden RI ke-2 dan berkuasa selama 32 tahun.

Kebenaran mengenai hal ini memang masih menjadi misteri dan kontroversi. Terlebih, Supersemar yang asli belum ditemukan, bahkan saat ini ada beberapa versi yang membuat kebenaran sejarah menjadi semakin sulit dipastikan.

Apa yang sebenarnya diperintahkan Presiden Sukarno kepada Soeharto lewat Supersemar saat itu belum terkuak dengan pasti: apakah menjaga stabilitas negara, termasuk keamanan presiden dan keluarganya, atau surat legitimasi untuk pengalihan kekuasaan?

Baca juga artikel terkait SUPERSEMAR atau tulisan lainnya dari Dinda Silviana Dewi

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Dinda Silviana Dewi
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Iswara N Raditya