Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Kemarahan-Kemarahan Bung Karno

Presiden Sukarno sering marah-marah terhadap apa dan siapapun yang tidak berkenan baginya. Namun, kemarahan Bung Karno tentu ada alasannya.

Kemarahan-Kemarahan Bung Karno
Sukarno. FOTO/ Istimewa

tirto.id - Satu hari di Amerika Serikat pada 1956, suasana yang semula akrab dan bersahabat mendadak menjadi tegang. Presiden Sukarno sedang di Hollywood, ditemani oleh beberapa selebritas ternama negeri Paman Sam. Salah satunya adalah Jeans Simmons, aktris cantik yang sangat terkenal kala itu.

Barangkali bermaksud mengakrabkan diri dengan sang tamu agung dan terhormat yang didampinginya itu, Simmons mengungkapkan keinginan berkunjung ke Jakarta suatu saat nanti. “Nanti di Jakarta saya ingin naik becak,” selorohnya, dikutip dari buku Kasino Bernama Kepulauan Seribu (2007:191) karya Alwi Shahab.

Tanpa diduga, Sukarno ternyata tidak berkenan dengan ucapan Simmons. Ia marah dan menghardik artis berkebangsaan Inggris itu. Bekerja menarik becak, tukas Bung Karno, tidak pantas dibanggakan, apalagi dijadikan ikon Jakarta sebagai ibu kota Indonesia. Baginya, profesi sebagai tukang becak adalah bentuk nyata dari “penghisapan manusia oleh manusia lainnya”.

Perkara penarik becak yang dianggap sebagai pekerjaan yang tidak manusiawi itu kembali disinggung Sukarno ketika menjamu Duta Besar AS untuk Indonesia, Howard P. Jones, sepulangnya ke Jakarta. “Dalam menuju masyarakat yang adil dan makmur tidak boleh lagi ada penghisapan manusia oleh manusia,” tegas presiden (Shahab, 2007:192).

Kekesalan Sukarno di Amerika

Tidak sekali itu saja Presiden Sukarno marah-marah di Amerika Serikat. Lain waktu, pada 1960, ia mencak-mencak lagi di negara adikuasa tersebut. Tak tanggung-tanggung, kali ini Bung Karno murka di Gedung Putih lantaran merasa tidak dihargai oleh pemerintah AS dan presidennya waktu itu, Dwight D. Eisenhower.

Bung Karno kala itu memang diundang khusus oleh Eisenhower untuk mengunjungi Amerika. Bisa jadi Eisenhower ingin lebih dekat lantaran selama ini Sukarno cukup sering mengkritik negaranya. Bung Karno pun menyanggupi untuk datang sesuai jadwal.

Dikisahkan oleh Tjipta Lesmana dalam buku Dari Soekarno sampai SBY (2009), Bung Karno sudah merasa janggal dan kurang nyaman usai mendarat di Washington. Ternyata bukan Eisenhower yang menyambut kedatangannya sebagaimana protokol yang berlaku di Amerika saat itu ketika sesama kepala negara berkunjung (hlm. 43).

Kecewa? Tentu saja. Namun Presiden Sukarno berusaha memaklumi.

Kemarahannya baru meledak ketika kejadian nyaris serupa terulang lagi di Gedung Putih. Sukarno dijadwalkan bertemu dengan Eisenhower pada pukul 10.00 pagi waktu setempat. Jam 09.58, ia sudah tiba di Gedung Putih, kemudian duduk menunggu si empunya rumah.

Menit demi menit berlalu. Sukarno masih bertahan. Pukul 10.25, Bung Karno mulai gelisah karena Eisenhower tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Dan, 5 menit kemudian, genap 30 menit menunggu, murkalah sang pemimpin besar revolusi itu.

Ajudan Presiden Sukarno, Bambang S. Widjanarko, menceritakan fragmen menegangkan ini dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno (2010). Sukarno mendatangi petugas protokoler lantas menghentak:

"Apa-apaan ini! Kalian yang menetapkan pertemuan pukul 10.00, hingga pukul 10.30 presiden kalian belum datang juga! Apakah kalian memang bermaksud menghina saya? Sekarang juga saya pergi!" bentak Sukarno (hlm. 295).

Cindy Adams melalui buku Sukarno: an Autobiography (1966) juga menuturkan kisah serupa yang didengarnya dari mulut Bung Karno sendiri. Setelah Sukarno mengancam pergi, petugas protokoler Gedung Putih buru-buru meminta maaf, kemudian masuk ke dalam ruangan.

Tak lama berselang, Eisenhower keluar dan mempersilakan Sukarno masuk bersamanya. Namun, tidak ada kata maaf yang terucap dari Presiden AS itu. “Ia (Eisenhower) tidak mohon maaf, juga tidak berniat memohon maaf ketika akhirnya saya diantarkan ke dalam,” sebut Sukarno yang ditulis Cindy Adams.

Perlakuan seperti itulah yang membuat Sukarno semakin benci terhadap Amerika Serikat. Bung Karno mengakui, ia berulang kali mencoba untuk menjalin persahabatan dengan negara itu, tapi selalu kandas. “Bertahun-tahun lamanya aku sangat ingin menjadi sahabat Amerika, akan tetapi sisa-sia.” (Lesmana, 2009:43).

Pengalaman buruk dengan Eisenhower semakin menjauhkan Indonesia dari Amerika di era Presiden Sukarno. Bung Karno pun menolak bantuan yang hendak diberikan oleh negara adidaya itu. “To hell with your aid!” sergahnya.

Murka Demi Martabat Bangsa

Berbeda dengan presiden-presiden Indonesia setelahnya, Sukarno memang bertipikal paling lugas dan tegas, lebih ekspresif, berkarakter keras, tanpa tedeng aling-aling dalam meluapkan perasaan, termasuk kemarahan. Dan, murka Bung Karno tidak pandang bulu. Ia bisa marah kepada siapapun atau dalam persoalan apapun yang tidak berkenan di hatinya.

Presiden Sukarno pernah murka di forum internasional sekelas Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang dihadiri oleh lebih dari 100 orang kepala negara dari seluruh dunia. Dengan suara keras bak gelegar halilintar, ia mengecam negara-negara Barat yang disebutnya tidak adil terhadap negara-negara berkembang. Pada 1963 itu, Sukarno sekaligus menyatakan bahwa Indonesia keluar dari PBB.

Di periode yang sama, Sukarno juga meluapkan kemurkaannya terhadap Malaysia. Negeri tetangga yang masih serumpun ini dituding Bung Karno sebagai negara boneka, antek bangsa-bangsa kapitalis, terutama Inggris dan Amerika.

Sukarno tambah murka saat mendengar para pengunjukrasa anti-Indonesia di negeri jiran membawa-bawa lambang negara Garuda Pancasila ke depan gedung Kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, dan merobek-robek foto dirinya (J.F. Tualaka, ed., Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan, 2009:36).

Bahkan, para demonstran kemudian membawa Garuda Pancasila kepada Perdana Menteri Malaysia saat itu, Tunku Abdul Rahman, dan memaksanya untuk menginjak salah satu simbol kehormatan bangsa Indonesia tersebut. Kampanye Ganyang Malaysia pun menjadi luapan amarah Presiden Sukarno kala itu.

Kemarahan Sukarno memang tak memandang apa dan siapa. Terhadap Ketua CC Partai Komunis Indonesia (PKI), D.N. Aidit, pun ia pernah murka pada suatu upacara peringatan kemerdekaan RI.

Menurut penuturan jurnalis sekaligus sejarawan Hendi Jo, dikutip dari Merdeka.com, Aidit yang membacakan teks proklamasi tidak menyebut nama Mohammad Hatta, yang seharusnya dibaca berangkaian: “Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.”

Setelah Aidit membaca naskah proklamasi, Sukarno naik pitam dan langsung pergi meninggalkan upacara yang belum selesai.

Infografik Presiden Sukarno Marah

Marah Lantaran Difitnah

Sukarno pernah pula kena fitnah keji yang membuatnya meradang. Dalam pertemuan dengan perwakilan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang berunjukrasa menuntut pembubaran PKI pada 18 Januari 1966, Sukarno mempersoalkan corat-coret dan selebaran terbuka yang berisi fitnah terhadap salah satu istrinya, Hartini.

Corat-coret dan selebaran itu menyebut bahwa Hartini sebagai “Gerwani Agung”. Seperti diketahui, Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia adalah organisasi sayap perempuan pendukung PKI. Tak hanya di Jakarta, tembok rumah Hartini di Bogor pun tak luput dari aksi vandalisme tersebut (Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, 2006:239).

Bung Karno juga pernah kesal kepada kakak kandungnya, Sukarmini Wardoyo, hanya gara-gara mbakyu-nya itu sering berlatih tenis. Sukarno marah karena menurutnya, tenis adalah permainan mewah yang jauh dari kondisi rakyat Indonesia saat itu (Intisari, Agustus 2015).

Terhadap Sukarmini, Sukarno juga pernah marah lagi. Kakak perempuannya itu pernah diperalat oleh seorang pengusaha asal Belanda yang ingin mendapatkan proyek dari Sukarno. Bung Karno jelas menolak mentah-mentah karena tidak berkenan dengan cara-cara yang dilakukan oleh pengusaha asing itu, yakni dengan mendekati kakaknya.

Namun, hubungannya dengan Sukarmini tetap saja harmonis karena kemarahan Bung Karno itu ibarat pertanda kasih sayang. Di samping itu, Sukarmini adalah kakak satu-satunya Bung Karno, juga sering ikut menjaga dan merawat anak-anaknya.

Masih banyak kejadian kemarahan Sukarno lainnya semasa menjabat sebagai presiden Indonesia. Terlebih setelah peristiwa G30S 1965 yang meruntuhkan pamor "sang penyambung lidah rakyat" Indonesia lantaran berbagai kabar miring yang belum tentu valid kebenarannya. Namun, Bung Karno murka tentu ada alasannya.

Apabila Bung Karno yang bertabiat keras saja sering marah-marah, maka sepertinya wajar jika presiden-presiden berikutnya yang berkarakter lebih kalem terkadang terpancing pula emosinya, karena presiden juga manusia.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Windu Jusuf