Menuju konten utama

Kontroversi Isu Pembakaran Bendera HTI dalam Soal UASBN di Garut

Pembuat soal kontroversial di UASBN Garut memang salah. Tapi pemerintah pusat juga tak bisa lepas tangan. Kasus ini bukti kalau pengawasan tak maksimal.

Kontroversi Isu Pembakaran Bendera HTI dalam Soal UASBN di Garut
Beredar Naskah Soal ujian USBN SMP Bubarkan Banser di Garut. FOTO/SEGI Garut

tirto.id - Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama alias Banser NU geram atas munculnya pertanyaan provokatif dalam Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) Bahasa Indonesia tingkat SMP di Garut, Jawa Barat. Mereka pun langsung meminta klarifikasi ke Dinas Pendidikan setempat.

"Apa maksudnya soal itu? Mengapa bisa ada?" kata Komandan Satuan Koordinator Nasional Banser Nurruzaman kepada reporter Tirto, Kamis (11/4/2019).

Pada soal nomor 9, peserta ujian diminta menyimpulkan masalah utama dari dua potong teks berita dari CNN Indonesia dan JawaPos yang memberitakan soal pembakaran bendera HTI pada Oktober 2018.

Dari empat pilihan jawaban, menurut kunci jawaban yang didapat Pengurus Cabang NU Garut, yang benar adalah opsi A yang tertulis: "Teks 1: kecaman dan desakan agar anggota Banser NU pembakar bendera meminta maaf. Teks 2: permintaan agar Banser NU dibubarkan karena tidak berguna dan cenderung arogan."

Inilah yang membuat Nurruzaman dan Banser lain kesal. "Kenapa soalnya mem-framing seakan-akan Banser melakukan kesalahan?" tanyanya.

Dugaan-dugaan

Nurruzaman lantas menduga soal tersebut bisa muncul karena tim yang menyusun soal sudah "tersusup kelompok-kelompok HTI." Ia bilang akan membawa masalah ini ke ranah hukum, jika memungkinkan, tapi mungkin juga hanya meminta pihak yang membuat soal ujian untuk memberikan klarifikasi sekaligus permintaan maaf.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, Totong, soal tersebut diduga dibuat oleh tim Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Garut.

Dalam konteks UASBN, MGMP memang punya wewenang yang luas untuk menentukan soal seperti apa yang akan disajikan untuk siswa. Angkanya mencapai 80 persen dari total soal. Sementara sisanya, 20 persen, dibuat pemerintah pusat.

Pemerintah daerah sebetulnya telah meminta MGMP tak menyinggung hal-hal sensitif ketika membikin soal, termasuk isu SARA. Dengan demikian, apa yang dilakukan MGMP ini sebetulnya memang menyalahi aturan. Karena itu pula Totong meminta maaf kepada pihak-pihak yang merasa tersinggung.

"Kami selaku pimpinan Dinas Pendidikan memohon maaf atas kejadian yang terjadi kali ini," katanya seperti diwartakan Antara. Totong pun mengatakan mereka bakal mengulang UASBN khusus Bahasa Indonesia di kemudian hari.

Mengenai motivasi pembuat soal, Totong mengaku belum bisa menjawab.

"Kami akan menanyakan kepada MGMP apa motivasi dalam membuat soal itu," katanya.

Dalam Surat Kepala Dinas Kabupaten Garut No. 420/597-Disdik tertanggal 10 April 2019 yang diterima reporter Tirto, disebutkan kalau Totong mengusulkan Kabid SMP, Kasi Kurikulum SMP, dan Tim Penyusun Soal US SMP diberhentikan.

Tiga pihak inilah yang dianggap paling bertanggung jawab atas soal kontroversial tersebut.

Tidak Murni Salah Pembuat Soal

Menurut Satriwan Salim, Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), benar bahwa si pembuat soal (tim/individu) salah. Namun menyalahkan mereka sepenuhnya juga tak tepat. Sebab, masalahnya lebih sistematis dari itu.

Kasus ini menunjukkan pula pengawasan yang dilakukan dinas pendidikan di daerah tersebut masih lemah. Ini juga menunjukkan bahwa guru masih belum mendapat pelatihan yang optimal agar kompetensinya meningkat.

"Alih-alih guru diminta membuat soal ujian yang bermuatan HOTS (High Order Thinking Skills) yang terjadi justru soalnya malah aneh, nyeleneh, dan tidak berbobot. Kami tak henti-hentinya meminta Kemdikbud dan jajarannya sampai di daerah melatih guru-guru untuk peningkatan kompetensi," kata Satriwan dalam rilis resmi yang diterima reporter Tirto.

Hal serupa dikatakan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji.

"Kejadian ini sudah sering terjadi, waktu itu pernah ISIS, juga pernah membahas jihad. Ini padahal soal ujian dalam tataran remeh-temeh. Tak usah yang level terlalu tinggi. Ini soal-soal standar saja bisa kecolongan," katanya.

Sementara pendiri Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nisa Felicia Faridz, mengatakan soal-soal seperti ini tak mesti selalu buruk. Ia bisa saja melatih siswa kritis, jika itu dibuat dalam bentuk pertanyaan terbuka.

Masalahnya dalam kasus ini itu adalah soal pilihan ganda yang jawaban pastinya sudah ditentukan.

"Harusnya isu bendera HTI itu bisa diperdebatkan. Soalnya bisa diubah menjadi esai. Siswa diminta menulis pandangannya. Jangan pilihan ganda yang malah mengarah ke jawaban dan doktrin tertentu. Itu politis sekali," katanya.

Baca juga artikel terkait UJIAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino