Menuju konten utama

KontraS: Pollycarpus Bisa Jadi Saksi Kunci Penyelesaian Kasus Munir

Pollycarpus yang menjadi salah satu aktor terlibat dalam kasus pembunuhan Munir bebas hari ini.

KontraS: Pollycarpus Bisa Jadi Saksi Kunci Penyelesaian Kasus Munir
Suciwati, meletakan gambar suaminya mendiang pejuang HAM Munir saat mengikuiti aksi Kamisan ke-377 bersama Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (4/12). Aksi itu mengecam bebasnya pembunuh Munir, Pollycarpus serta menuntut pengimplementasian isi Qanun No.17/2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh oleh pemerintah Aceh dan DPRA. ANTARA FOTO/Fanny Octavianus/nz/14.

tirto.id - Kepala Bidang Advokasi KontraS Putri Kanesia mengatakan, tervonis pembunuh Munir, Pollycarpus Budihardi bisa menjadi saksi untuk membongkar nama-nama dalang di balik pembunuhan Munir yang belum terungkap. Hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan karena hingga saat ini pemerintah tak kunjung juga membuka dokumen tim pencari fakta (TPF).

"Dengan bebasnya Pollycarpus, itu artinya dia bisa jadi saksi untuk membuka nama-nama yang belum pernah terungkap. Dia bisa bisa jadi saksi kunci," kata Putri kepada Tirto, Rabu (29/8/18).

Pernyataan KontraS ini merespons bebasnya Pollycarpus Budihari Priyanto hari ini, 29 Agustus 2018, yang menjadi salah satu aktor terlibat dalam kasus pembunuhan Munir.

Sebelumnya Pollycarpus divonis 14 tahun meski hanya melewati total delapan tahun. Pada 2014 Pollycarpus juga diberi pembebasan bersyarat dari Kemenkumham.

Tim Pencari Fakta (TPF) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 111 Tahun 2004. TPF dibentuk pemerintahan Presiden SBY, setelah adanya desakan dari berbagai kalangan agar menelusuri dugaan kejanggalan kematian Munir.

TPF dibentuk guna membantu kepolisian mengusut keterlibatan oknum di lingkungan direksi PT Garuda Indonesia dan Badan Intelijen Negara (BIN). Bahkan saat itu, pengungkapan kasus pembunuhan Munir masuk dalam agenda 100 hari kerja Presiden SBY.

Laporan yang tuntas pada Juni 2005, ternyata tak pernah dibuka ke publik. Lebih parah lagi, laporan lengkap TPF itu hilang di Kemensetneg. Ironinya, hilangnya laporan itu baru diketahui pada pertengahan Februari 2016.

"Setelah mantan Sesneg Sudi Silalahi memberi dokumen TPF ke Istana, tapi hingga saat ini tak pernah ada kelanjutannya, apakah dokumen tersebut segera diumumkan oleh presiden atau tidak. Tiba-tiba hilang saja," kata Putri.

"Pertanyaan hari ini, masalahnya di mana? Apa dokumennya hilang lagi? Atau tidak ada keinginan untuk mengungkapkan? Atau dalam dokumen tersebut ada nama-nama lain yang belum diadili dan itu juga jadi salah satu beban bagi negara untuk mengungkapkan," lanjutnya.

Putri menilai bahwa TPF perlu diketahui oleh masyarakat mengingat ada alasan yang tercantum dalam Keppres pembuatan TPF tersebut. Tak hanya itu, TPF jadi hak publik mengetahui agar tak ada lagi masyarakat yang dibunuh tanpa kejelasan siapa dalangnya.

"Bukan tidak mungkin besok ada Munir lainnya mengalami hal yang sama kalau negara masih abai," kata Putri.

Putri juga menganggap bahwa pentingnya mempertanyakan keberadaan dokumen TPF karena itu memungkinkan hilangnya dokumen-dokumen negara yang lain.

Tak hanya itu, KontraS juga pernah mengaku menggugat penetapan pembebasan bersyarat Pollycarpus pada 2014 karena dianggap banyak hal menyimpang terjadi.

"Kita sudah mempermasalahkan kasus hukum Pollycarpus, 2014 dia mendapat pembebasan bersyarat, kami langsung kritisi. Dasarnya dibebaskan karena dianggap berkelakuan baik dengan menjadi pramuka dan membuat sabun di dalam tahanan. Keaktifan dianggap kelakuan baik. Dengan itu saja masih kurang," kata Putri.

Selama persidangan pun, kata Putri, Pollycarpus tak aktif untuk bekerja sama untuk menceritakan siapa saja yang terlibat dalam kasus Munir.

"Selalu menutup-nutupi fakta-fakta di pengadilan. Bagaimana mungkin bisa bebas bersyarat?," tutupnya.

Baca juga artikel terkait KASUS MUNIR atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Alexander Haryanto