tirto.id - Konflik di wilayah Segitiga Zamrud–meliputi perbatasan Kamboja, Laos, dan Thailand–terus berlangsung hingga Minggu (27/7/2025). Baku serang di daerah perbatasan yang terjadi antara pasukan pertahanan Thailand dan Kamboja terhitung memasuki hari keempat semenjak meletus Kamis (24/7/2025) lalu.
Teranyar, dilansir dari Reuters, para pemimpin Thailand dan Kamboja dijadwalkan menghadiri pembicaraan mediasi terkait konflik ini. Pertemuan akan digelar di Malaysia pada Senin (27/7/2025), meskipun kedua pihak saling menuduh telah meluncurkan serangan artileri baru di wilayah sengketa.
Pembicaraan dijadwalkan dimulai pada pukul 15.00 waktu setempat, pada Senin, dengan Pelaksana Tugas Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, memimpin delegasi negosiasi dari pihak Thailand.
Malaysia, yang saat ini memimpin forum kerja sama regional ASEAN, telah mengumumkan pada pemerintah Thailand bahwa Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, juga akan menghadiri pertemuan tersebut.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat sejak akhir Mei, ketika seorang tentara Kamboja tewas dalam bentrokan singkat di perbatasan. Kedua negara memperkuat pasukan mereka di sepanjang perbatasan di tengah krisis diplomatik yang nyaris menggoyahkan pemerintahan koalisi Thailand yang rapuh.

Permusuhan kembali pecah pada Kamis lalu, dan dalam waktu hanya empat hari, eskalasi konflik berubah menjadi pertempuran sengit antara kedua negara Asia Tenggara ini, dalam lebih dari satu dekade.
Melansir Reuters, hingga Minggu (27/7/2025), jumlah korban tewas telah melampaui 30 orang, termasuk 13 warga sipil di Thailand dan 8 di Kamboja. Otoritas juga melaporkan bahwa lebih dari 200.000 orang telah dievakuasi dari wilayah perbatasan.
Pertemuan pada Senin ini berlangsung setelah Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, pekan lalu mengusulkan gencatan senjata. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Sabtu menyatakan bahwa kedua pemimpin telah sepakat untuk bekerja menuju kesepakatan gencatan senjata.

Konflik dua negara tetangga itu menjadi yang terparah sejak satu dekade terakhir. Pasalnya, gesekan antara dua pasukan pertahanan mereka telah terjadi sebelum serangan terbuka ke masing-masing wilayah dilancarkan.
Ketegangan di perbatasan Thailand-Kamboja meningkat sejak awal tahun ini, bahkan turut berkontribusi terhadap krisis politik di Thailand yang menyebabkan penangguhan posisi dari perdana menteri (PM), Paetongtarn Shinawatra, pada Juli 2025 ini.
Tensi soal perbatasan yang telah berlangsung lama antara kedua negara kembali memanas di ujung Mei 2025, usai baku tembak antara pasukan Thailand dan Kamboja di sepanjang perbatasan terjadi dan menyebabkan tewasnya seorang tentara Kamboja. Baku tembak itu terjadi karena kedua pasukan saling tuding terkait batas wilayah teritorial.
Kemudian pada 15 Juni 2025, PM Thailand, Paetongtarn Shinawatra berbicara via telepon dengan pemimpin de facto Kamboja alias Presiden Senat Kamboja, Hun Sen. Panggilan telepon ini dimaksudkan untuk menyelesaikan ketegangan antara kedua negara.
Namun tiga hari kemudian, Hun Sen justru membocorkan isi percakapan mereka ke media sosial yang menyebabkan parlemen, militer, hingga warga sipil Thailand kebakaran jenggot. Pasalnya dalam percakapan itu, Paetongtarn mendesak Hu Sen untuk mengabaikan militer Thailand, bahkan menyebut militer Thailand sebagai "pihak yang berseberangan”.

PM Thailand itu juga menyebut Hu Sen dengan sapaan "paman”. Terlebih, PM Paetongtarn menawarkan Hu Sen untuk "mengatur" apa pun yang dia inginkan.
Publik Thailand menilai PM mereka sendiri tampak meremehkan militer negara dan terlalu merendahkan diri di hadapan pemimpin Kamboja. Para politisi di Thailand akhirnya meminta Paetongtarn mengundurkan diri. Ujungnya pada 1 Juli 2025, Mahkamah Konstitusi Thailand menangguhkan posisi Paetongtarn, dan sementara diganti oleh wakilnya sebagai Penjabat PM Thailand, yakni Phumtham Wechayachai.
Sehari sebelum terjadi serangan terbuka di perbatasan Thailand-Kamboja atau Rabu (23/7/2025), seorang tentara Thailand kehilangan kaki kanannya akibat ledakan ranjau darat di wilayah perbatasan. Karena kejadian ini, Thailand mencabut hubungan diplomatik dengan Kamboja, menarik pulang duta besarnya untuk Kamboja dan mengusir duta besar Kamboja.
Barulah, Kamis (24/7/2025) pagi, tembakan terdengar di dekat Prasat Ta Muen Thom, sebuah kuil kuno di sisi perbatasan Thailand. Kedua negara telah lama berselisih mengenai kepemilikan kuil tersebut. Dalam konflik kali ini, Thailand dan Kamboja sama-sama menuduh satu sama lain soal siapa yang menembak lebih dulu.
Tentara Thailand mengatakan bahwa Kamboja telah menembakkan roket ke wilayah sipil di empat provinsi Thailand. Serangan dibalas Thailand dengan mengirimkan jet tempur F-16 untuk menyerang dua target militer di Kamboja.
Namun, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet mengatakan bahwa negaranya tidak punya pilihan selain merespons dengan kekuatan bersenjata untuk melawan invasi bersenjata dari Thailand. Para pejabat Kamboja mengatakan tentara Thailand telah menembaki pasukan Kamboja terlebih dahulu di kuil, dan pasukan Kamboja membalas tembakan sekitar 15 menit kemudian.
Kamboja menginginkan gencatan senjata dengan Thailand, sebagaimana dinyatakan duta besar PBB, Chhea Keo, setelah pertemuan tertutup Dewan Keamanan yang dihadiri oleh Kamboja dan Thailand pada Jumat malam.
Dalam wawancara eksklusif kepada Reuters, juru bicara kementerian luar negeri Thailand, Nikorndej Balankura, tak ingin ada pihak ketiga dalam penyelesaian konflik kali ini. Thailand mendorong penyelesaian secara bilateral antara kedua negara, tanpa perlu terjadi campur tangan ASEAN–organisasi yang menaungi negara-negara Asia Tenggara–maupun PBB.
"Saya rasa kita belum membutuhkan mediasi dari negara ketiga," kata Nikorndej.
Sikap Normatif ASEAN & Indonesia Mau Ambil Peran?
Sebelumnya, pada Kamis (24/7/2025) Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyerukan agar Thailand dan Kamboja sama-sama menahan diri. Sebagai Ketua ASEAN saat ini, Malaysia berharap kedua negara masuk ke tahap negosiasi. Anwar juga mengklaim telah mengontak kedua pimpinan negara berkonflik itu untuk mempertimbangkan solusi rembuk.
“Perdamaian adalah satu-satunya opsi yang tersedia,” ujar Anwar.

Sementara pemerintah Indonesia tampaknya langsung mengambil posisi tidak ingin terlibat langsung dalam penyelesaian konflik perbatasan Thailand-Kamboja. Menteri Sekretaris Negara sekaligus Juru Bicara Presiden, Prasetyo Hadi, menyatakan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (25/7/2025), bahwa Indonesia sebisa mungkin menghindari menyampaikan pendapat yang berkenaan dengan politik atau kejadian di negara lain.
Meski demikian, Indonesia berharap tensi konflik antara Kamboja dan Thailand bisa mereda. Hadi mengkhawatirkan konflik kedua negara di Asia Tenggara itu berdampak secara global, termasuk ke Indonesia.
Kementerian Sekretariat Negara juga berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri untuk memastikan warga negara Indonesia (WNI) yang menetap di Kamboja dan Thailand aman.
”Tentunya kita tidak berharap eskalasi akan meningkat karena, sekali lagi, itu akan berdampak secara global, termasuk akan berdampak ke negara kita,” tutur Hadi.
Pakar Hubungan Internasional, Hikmahanto Juwana, menilai bahwa pemerintah Indonesia sebetulnya berpeluang berperan lebih konkret dalam membantu menyelesaikan konflik ini. Ia memandang Indonesia punya banyak mediator konflik yang mumpuni. Namun itu semua tergantung kemauan politik Presiden Prabowo Subianto.
Juwanto juga menyayangkan sikap kepemimpinan ASEAN tidak membawa solusi inovatif. Ia melihat ASEAN semestinya turun tangan secara langsung. Jangan sampai, kata dia, adanya konflik Thailand-Kamboja membuat ASEAN tampak tak bisa menyelesaikan masalah dalam internal mereka sendiri.
“ini kan tidak diselesaikan melalui perdamaian sehingga ini tentu bisa membuat soliditas ASEAN ini terganggu,” ujar Juwana.
Sementara dosen Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan (UPH), Edwin Martua Bangun Tambunan, berpendapat bahwa konflik dengan penggunaan kekuatan yang terjadi antara Thailand-Kamboja lebih tepat dibaca sebagai puncak ketegangan yang telah terjadi antara pemerintah kedua negara. Thailand dan Kamboja disebut punya panjang perbatasan sekitar 818 kilometer dengan sejumlah titik wilayah yang mengalami klaim tumpang-tindih.
Thailand dan Kamboja masing-masing menganggap wilayah tersebut adalah bagian integral dari teritorial mereka sebagai warisan sejarah. Batas teritorial yang disengketakan berada di garis demarkasi yang ditetapkan sewaktu kolonial Prancis masih berkuasa di Kamboja.
Kedua negara sebenarnya memiliki mekanisme penanganan Joint Border Committee (JBC). JBC dibentuk untuk melakukan pertemuan bilateral teratur. Pertemuan terakhir berlangsung 14 Juni 2025 di Phnom Penh.
“Kekerasan bersenjata yang terlanjur terjadi di Prasat Ta Muen Thom tentu saja membuat pekerjaan Joint Border Committee tersendat atau bahkan macet total,” kata Edwi kepada wartawan Tirto, Jumat (25/7/2025).
Sayangnya, kata Edwin, tidak banyak yang bisa dilakukan ASEAN ketika anggotanya saling berkonflik. ASEAN terkungkung norma yang dibidani mereka sendiri, yakni non-intervention dan consensus decision-making. Tetapi paling tidak, ASEAN bisa berperan kembali sebagai fasilitator seperti yang pernah dilakukan dalam kasus konflik bersenjata memperebutkan kuil Preah Vihear tahun 2011.
Kala itu, Indonesia sebagai ketua ASEAN turut memfasilitasi Thailand dan Kamboja bertemu secara informal yang dilanjutkan dengan pertemuan formal yang menghasilkan kesepakatan tentang pembentukan Joint Border Committee.
Karenanya, Edwin menilai Jakarta punya modal pengalaman yang cukup dalam menangani masalah-masalah yang melibatkan negara-negara Indocina seperti Kamboja.
“Di masa lalu, fondasi penyelesaian konflik Vietnam-Kamboja diletakkan oleh Indonesia, lewat tangan dingin diplomat legendaris Ali Alatas, dengan memfasilitasi keduanya untuk bertemu dalam Jakarta Informal Meeting,” terang Edwin.
Sementara itu, dosen Hubungan Internasional dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Ignasius Loyola Adhi Bhaskara, memandang Indonesia bisa menjadi pemain penting dalam penyelesaian konflik perbatasan Thailand-Kamboja. Dalam sejarah kawasan, Jakarta adalah pemain besar atau aktor utama yang berpengaruh luas di ASEAN.
Dalam beberapa kesempatan konflik masa lalu, Indonesia sering sukses menjadi penengah, mediator dan negosiator yang ulung. Salah satu contoh kesuksesannya, shuttle diplomacy dari Marty Natalegawa pada kasus Laut Cina Selatan.

Namun, perlu lebih detail untuk melihat sejauh mana kemauan Pemerintah Indonesia untuk mengambil inisiatif. Kuncinya ada pada Presiden Prabowo Subianto, karena Menlu Sugiono hanya bertindak tak lebih sebagai tangan kanan Presiden.
Konflik Thailand-Kamboja menjadi pembuktian atas pernyataan Presiden Prabowo bahwa ASEAN masih menjadi prioritas Indonesia.
“Jika memang benar demikian, kita tinggal menunggu waktu saja untuk melihat Indonesia bertindak, meski yang juga jadi catatan adalah kondisi koordinasi di Kementerian Luar Negeri yang saat ini memang rasanya masih kurang solid sejak Sugiono menjabat sebagai menteri luar negeri,” ucap Bhaskara kepada wartawan Tirto, Jumat (25/7/2025).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































