tirto.id - Mahkamah Konstitusi Thailand secara resmi menangguhkan sementara Paetongtarn Shinawatra dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Thailand menyusul dugaan pelanggaran etika berat yang dilaporkan oleh 36 anggota senat. Dugaan pelanggaran tersebut berawal dari bocornya rekaman suara yang berisi percakapan antara Paetongtarn dengan eks PM Kamboja yang kini menjabat sebagai Presiden Senat Kamboja, Hun Sen.
Dalam sidang yang digelar pada Senin (1/7/2025), sembilan hakim konstitusi Thailand secara bulat menerima aduan itu untuk diproses lebih lanjut. Tujuh hakim di antaranya kemudian sepakat bahwa Paetongtarn perlu dinonaktifkan sementara dari tugasnya sebagai perdana menteri, efektif sejak hari itu juga, hingga putusan akhir diterbitkan.
Kemudian, merespons penangguhan ini, mahkamah memberi waktu 15 hari kepada Paetongtarn untuk menyampaikan pembelaan resmi. Kepemimpinan pemerintahan akan dijalankan oleh Wakil Perdana Menteri, Suriya Juangroongruangkit, sebagai perdana menteri sementara.
Dalam laporan resmi yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, sebanyak 36 senator Thailand menjadikan cuplikan rekaman suara yang bocor antara Paetongtarn dan Hun Sen tersebut sebagai bukti utama dugaan pelanggaran yang dilakukan Paetongtarn.
Seperti yang dilaporkan ABC, percakapan yang awalnya dimaksudkan untuk meredakan ketegangan yang memanas di perbatasan kedua negara tersebut justru berbuah krisis bagi Paetongtarn, yang baru sekitar sepuluh bulan menjabat Perdana Menteri. Ketegangan tersebut bermula pada akhir Mei ketika seorang prajurit Kamboja tewas dalam kontak senjata dengan pasukan Thailand di wilayah perbatasan yang dipersengketakan.
Dalam rekaman yang bocor dan diunggah melalui akun resmi Hun Sen, terdengar bagaimana Paetongtarn menyampaikan permintaan damai dengan nada yang dianggap terlalu akrab. Paetongtarn menyebut Hun Sen dengan sebutan “paman”. Kepada sosok itu, ia menyatakan siap “mengurus segala hal yang diinginkan” pemimpin senat Kamboja itu demi menyelesaikan permasalahan perbatasan antara Thailand dan Kamboja.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah saat putri bungsu Thaksin Sinawatra tersebut merendahkan seorang jenderal senior Angkatan Darat Thailand, Letjen Boonsin Padklang, yang bertanggung jawab atas wilayah perbatasan. Pernyataan ini dianggap sangat berisiko di negara di mana militer memiliki pengaruh politik yang besar serta riwayat kudeta terhadap keluarga Shinawatra.
Greg Raymond, dosen senior dari Australian National University, menilai penggunaan bahasa yang terlalu personal dalam percakapan itu mencerminkan kurangnya pengalaman politik Paetongtarn.
“Ia menggunakan bahasa yang cukup hormat dan terkesan akrab dengan Hun Sen dan memanggilnya paman. Itu sangat tidak profesional dan tidak bijak, tapi tidak mengejutkan mengingat Paetongtarn belum memiliki pengalaman politik untuk menjadi perdana menteri,” ujarnya seperti dilansir dari ABC, Selasa (1/7/2025).
Pascapercakapannya dengan Hun Sen, bocor ke publik, pemerintahan Paetongtarn berada di ujung tanduk. Situasi ini dengan cepat berkembang menjadi krisis politik. Pada Sabtu (28/7/2025) ribuan warga turun ke jalan dan memadati kawasan Monumen Kemenangan di Bangkok. Mereka menuntut Paetongtarn mengundurkan diri dari jabatannya sebagai perdana menteri. Aksi tersebut menjadi unjuk rasa terbesar sejak partainya, Pheu Thai, kembali berkuasa pada 2023.
Paetongtarn menyampaikan permintaan maaf atas pernyataannya dalam percakapan telepon yang bocor. Namun isi pembicaraan itu sudah terlanjur membuat koalisinya terguncang, setelah Partai Bhumjaithai, mitra terbesar kedua Pheu Thai, menarik dukungan pekan lalu karena kekhawatiran terhadap kedaulatan dan integritas Thailand.
Dalam pembelaan kepada publik, Paetongtarn menegaskan bahwa tindakannya sama sekali tidak didasari oleh motif ataupun kepentingan pribadi. Ia menyatakan bahwa percakapan yang menjadi sorotan tersebut sepenuhnya ditujukan untuk mencegah terjadinya kekacauan antar dua negara, menghindari potensi konflik serta meminimalkan risiko jatuhnya korban jiwa.
“Jika Anda mendengarkannya dengan seksama, Anda akan mengerti bahwa saya tidak memiliki niat buruk. Inilah yang akan saya fokuskan dan jelaskan secara mendalam,” ujarnya, Selasa (1/7/2025), seperti yang dilansir dari BBC.

Sebagai informasi, Paetongtarn Shinawatra resmi menjadi Perdana Menteri Thailand baru menggantikan Srettha Thavisin pada Agustus 2024 lalu. Paetongtarn berhasil terpilih sebagai PM Thailand ke-31 setelah memperoleh mayoritas dukungan parlemen. Sebanyak 319 anggota parlemen memberi suara setuju dan 145 tidak setuju dengan pengangkatan Paetongtarn.
Paetongtarn Shinawatra merupakan keturunan dari keluarga Shinwatra yang berpengaruh di Thailand. Paetongtarn (37 tahun) menjadi PM termuda dalam sejarah Thailand sekaligus menasbihkan diri sebagai perempuan kedua yang memegang jabatan tersebut.
Paetongtarn atau yang akrab disapa Ing adalah anak dari putri bungsu milyader Thaksin Shinawatra. Ayah Paetongtarn merupakan tokoh utama dalam dinasti politik yang telah mendominasi sebagian besar pemilihan di Thailand sejak awal abad ke-21. Thaksin pernah menjabat sebagai PM Thailand pada 2001 hingga 2006, sebelum digulingkan dalam kudeta militer. Thaksin kembali ke Thailand tahun lalu setelah 15 tahun di pengasingan dan kini diperkirakan akan berperan lebih besar dalam politik Thailand.
Terseret Pusaran Konflik Lama
Peneliti di Universitas La Trobe dan pakar Kamboja, Gordon Conochie, mengatakan panggilan telepon itu tampaknya mengkonfirmasi kecurigaan lama mengenai kedekatan hubungan antara keluarga Shinawatra dan keluarga Hun.
“Itulah kerugian terbesar bagi perdana menteri Thailand. Sekarang dia harus berusaha menjauhkan diri dari itu,” katanya seperti yang dikutip dari ABC, Selasa (1/7/2025).
Kendati baru menjabat kurang lebih selama sepuluh bulan sebagai perdana menteri, Paetongtarn telah terseret dalam pusaran konflik antar dua kubu yang dianggap paling berpengaruh di Thailand yaitu antara dinasti politik Shinawatra dan kelompok elite yang didukung militer.
Ibarat dua rival abadi, konflik antara dua kubu ini telah mendominasi panggung politik Thailand selama lebih dari dua dekade terakhir. Dalam periode tersebut, tercatat telah terjadi dua kali kudeta militer serta sejumlah keputusan politik krusial yang mengakibatkan pembubaran partai-partai politik dan pemberhentian perdana menteri.
Perkembangan politik pada hari Selasa (1/7/2025) dipandang oleh banyak pihak sebagai titik awal runtuhnya dinasti Shinawatra. Seturut pemberitaan Al-Jazeera, Thaksin Shinawatra, ayah Paetongtarn yang juga mantan PM Thailand, kini juga menghadapi tekanan hukum yang serius.
Menurut pengacaranya, Thaksin hadir dalam sidang pertamanya di Pengadilan Pidana Bangkok pada Selasa lalu, menghadapi tuduhan menghina monarki Thailand, sebuah pelanggaran berat yang dapat dikenai hukuman hingga 15 tahun penjara jika terbukti bersalah.
Thaksin membantah tuduhan tersebut dan berulang kali menyatakan kesetiaannya kepada kerajaan. Kasus ini bermula dari wawancara media yang dilakukannya pada 2015, saat masih berada dalam pengasingan sukarela. Ia baru kembali ke Thailand pada 2023 untuk menjalani hukuman penjara atas kasus konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Cerminan Ketidakstabilan Politik Thailand
Jika pada akhirnya diberhentikan, Paetongtarn akan menjadi perdana menteri kedua dari Partai Pheu Thai yang dicopot dari jabatannya hanya dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Sebelumnya, kolega sesama partainya, Srettha Thavisin, juga diberhentikan oleh Mahkamah Konstitusi karena menunjuk seorang mantan pengacara yang pernah dipenjara sebagai anggota kabinet.
Dosen Ilmu Politik dari Universitas Ubon Ratchathani, Titipol Phakdeewanich menilai keputusan Mahkamah Konstitusi yang menangguhkan Paetongtarn sebagai PM kembali menegaskan besarnya kewenangan Mahkamah Konstitusi Thailand dalam lanskap politik negara tersebut.
Sejak tahun 2006, Mahkamah Konstitusi tercatat telah membubarkan sebanyak 34 partai politik, termasuk Partai Move Forward yang berhaluan reformis. Meskipun partai tersebut meraih perolehan suara dan jumlah kursi terbanyak dalam pemilihan umum 2023, mereka tetap tidak diberikan kesempatan untuk membentuk pemerintahan.
“Ini telah menjadi pola dalam politik Thailand., bagian dari budaya politik Thailand, yang sebenarnya bukanlah proses politik yang ideal,” ujarnya seperti dikutip dari BBC, Selasa (19/7/2025).

“Penangguhan melalui perintah pengadilan seharusnya tidak terjadi, tetapi sebagian besar masyarakat bisa melihat legitimasinya karena percakapan yang bocor itu benar-benar membuat publik mempertanyakan apakah PM benar-benar membela kepentingan negara,” sambungnya.
Terpisah, Dosen Ilmu Politik di Universitas Thammasat, Purawich Watanasukh, menilai siklus atau pola ketidakstabilan politik di Thailand ini akan terus berulang, kecuali Thailand menjalani reformasi demokratis secara menyeluruh, termasuk membatasi kekuasaan lembaga-lembaga non-terpilih.
“Tanpa reformasi mendasar, pemerintahan mana pun, siapa pun pemimpinnya akan tetap rentan terhadap kekuatan yang selama ini secara berulang menghambat perkembangan demokrasi Thailand,” ujarnya seperti yang dikutip dari AP News, Selasa (1/7/2025).
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id

































