tirto.id - Konflik di Kabupaten Intan Jaya Papua kembali memanas. Pemerintahan sipil lumpuh. Bupati Intan Jaya Natalis Tabuni dan pegawainya mengungsi ke Kabupaten Nabire padahal kantor mereka di Boligai, Sugapa, Intan Jaya. Mereka meninggalkan 655 warga yang mengungsi di kompleks pastoran gereja Katolik Bilogai.
Situasi kembali memanas setelah pada Senin (8/2/2021) lalu Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) menembak warga di Kampung Bilogai. Penembakan tersebut merupakan serangan ke-5 sepanjang 2021.
Pater Yustinus, pastor dari keuskupan Timika, berharap pemerintah pusat mau turun tangan menyelesaikan masalah ini.
"Pemerintah pusat harus tegas dan mendorong pemerintah daerah untuk bekerja maksimal. Pasalnya, bupati sudah sering memberi instruksi kepada jajarannya, namun ketika hilang sebentar, bawahannya juga hilang semua," kata Pater kepada reporter Tirto, Kamis (11/2/2021).
Ketegangan di wilayah ini telah berlangsung menahun. Sebelumnya, gembala gereja Pendeta Yeremia Zanambani dibunuh di Hitadipa, Intan Jaya. Ia diduga ditembak oleh Alpius, Wakil Komandan Daerah Rayon Militer (Koramil) Hitadipa TNI-AD. Kasus tersebut terungkap setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan dan diperkuat dengan hasil tim gabungan pencari fakta (TGPF) bentukan Kemenkopolhukam.
Harus Humanis, Jangan Pakai Pendekatan Militeristik
Anggota Komisi I DPR RI Yan Permenas Mandenas mendorong pemerintah pusat mengambil alih penanganan Intan Jaya tanpa melalui pendekatan keamanan. Dia meminta pemerintah tidak menambah personel aparat keamanan melainkan menggunakan pendekatan dialog. Dia mengingatkan aksi TPNPB-OPM terjadi karena aspirasi mereka tidak terpenuhi.
"Panglima TNI harus melakukan dialog, pendekatan yang humanis kepada seluruh elemen di Papua agar situasi menjadi kondusif. Jangan malah pendekatan militeristik, baku tembak yang akibatnya jatuh korban dan warga ketakutan," kata Yan kepada reporter Tirto, Kamis.
Komnas HAM juga mendorong agar pemerintah pusat turun langsung sebab pemerintahan daerah sudah lumpuh. Selain itu, pemerintah pusat harus menjamin warga Intan Jaya mendapatkan hak seperti pelayanan bantuan selama konflik.
"Karena informasi yang berkembang, pemerintah daerahnya lumpuh. Oleh karena itu pemerintah pusat harus ambil tindakan," kata Amirudin di Kantor Komnas HAM, Rabu (10/2/2021).
Peneliti Papua yang memiliki karier panjang sebagai akademsi di LIPI Adriana Elizabeth mengatakan permasalahan Intan Jaya merupakan bagian dari permasalahan kompleks di Papua. Akar masalahnya ialah pengerukan sumber daya alam. Salah satunya, terkait munculnya wacana pembentukan blok tambang emas baru, yakni blok Wabu. Blok ini diserahkan kepada BUMN PT Antam.
"Isu-isu sosial yang muncul dari konflik bersenjata tapi masalah utamanya menurut saya persoalan sumber daya alam," kata Adriana kepada reporter Tirto, Rabu.
Adriana khawatir aksi teror berkorelasi dengan kepentingan investasi lantaran daerah Pegunungan Tengah Papua kaya dengan sumber daya alam. Hal ini lantas memicu konflik antara warga adat, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah karena berkaitan semangat investasi dari pemerintah pusat.
Konflik menahun di Papua seperti kasus Intan Jaya, kata Adriana, bisa diselesaikan jika ditangani secara serius. Pemerintah pusat perlu menunjuk orang yang paham resolusi konflik. Sebab ia menemukan sejumlah kejanggalan-kejanggalan baru seperti kelompok KKB menembak pesawat, menyerang misionaris, hingga bergerak di luar wilayah komando perang.
Orang yang paham resolusi konflik, terang Adriana, bisa memetakan pihak yang berkepentingan dalam konflik Papua, pola relasi, inti permasalahan dan peta jalan penyelesaian konflik. Dengan demikian, penyelesaian masalah tidak bersifat parsial maupun berdasarkan pengerahan personel, apalagi akuntabilitas pergerakan personel sampai saat ini masih belum jelas.
"Itu untuk proyeksi jangka panjang mau diselesaikan bagaimana. Kalau cuma begini enggak bakal selesai. Kalau tidak mau diselesaikan lain cerita," ujarnya.
Peran Militer di Papua Harus Dievaluasi
Direktur Amnesty International Usman Hamid menegaskan kinerja TNI dalam operasi militer di Papua harus dievaluasi. Hal itu bisa dilakukan melalui DPR RI.
"Pemerintah harus mengakui bahwa pendekatan keamanan yang selama ini diterapkan tidak berhasil. Penambahan jumlah pasukan di Papua tidak berbanding lurus dengan penegakan HAM di sana," kata Usman kepada reporter Tirto, Kamis.
Usman mendorong agar pemerintah membentuk peradilan independen untuk kasus pelanggaran HAM. Ini untuk membuktikan komitmen kuat pemerintah dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua agar konflik tak berulang.
"Pemerintah pusat harus ikut campur dalam mendorong penegakan keadilan di sana. Yang paling mendasar, semua kasus pelanggaran HAM harus diusut tuntas," ujarnya.
Pemerintah Siagakan Militer di Papua
Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramowardhani mengatakan, pemerintah tidak ada kompromi dengan kelompok kelompok bersenjata pro kemerdekaan di Papua.
Dalam keterangan tertulis yang diterima Kamis, (11/2/2020), Dani, sapaan Jaleswari, mengatakan "pemerintah bertanggung jawab dan terus memberikan perlindungan maksimal bagi segenap warga negara, termasuk masyarakat di Kabupaten Intan Jaya dari ancaman KKB."
Ia bahkan menambahkan, "aparat keamanan diminta untuk mengambil tindakan terukur dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan guna menciptakan keamanan bagi masyarakat di Intan Jaya."
Laporan terakhir yang diterima pusat adalah Pemerintah Provinsi Papua sudah meminta pemerintah Intan Jaya kembali ke lokasi dan tidak bekerja di Nabire. Pemprov Papua pun sudah berkoordinasi dengan tokoh adat dan pemimpin agama. Pemerintah pusat mendukung langkah ini.
"Pemerintah Pusat mempercayakan kepada Pemerintah Provinsi Papua untuk dapat menyelesaikan masalah ini dan mengawasi pelaksanaan tugas pemerintah daerah dari kabupaten Intan Jaya," ujar Dani.
Selain itu, kata Dani, pemerintah pusat berharap Pemerintah Provinsi Papua melakukan koordinasi dengan para tokoh adat dan pemimpin agama setempat.
"Peran pemerintah pusat akan memberi dukungan kepada provinsi dan kabupaten termasuk menyediakan bantuan sosial dan kesehatan," lanjutnya.
Dani pun menuturkan bahwa pemerintah pusat akan terus mendorong peningkatan kesejahteraan dan masyarakat hidup Papua. Pemerintah telah menerbitkan Inpres 9 tahun 2020 dan Keppres 20 tahun 2020 sebagai bukti komitmen tersebut. Hal tersebut ditambah dengan Otsus.
"Otonomi khusus untuk Papua juga akan terus berlanjut melalui perbaikan UU Otonomi Khusus Papua yang prosesnya sedang berlangsung," ungkapnya.
Sayangnya, Adriana Elizabeth menambahkan, permasalahan Papua tidak bisa diselesaikan lewat otonomi khusus. Meski keberadaan otonomi khusus awalnya sebagai upaya mendamaikan masalah Papua, Otsus justru menjadi konflik baru. Oleh karena itu perlu ada peta jalan resolusi konflik Papua agar ada kesepahaman dalam penyelesaian masalah.
"Jakarta memakai banyak terms yang sama dengan papua misalnya soal dialog, soal paradigma baru, tapi dengan interpretasi atau perspektif Monas, perspektif Jakarta, jadi enggak sesuai kondisi rill di Papua," terang Adriana.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dieqy Hasbi Widhana