Menuju konten utama

Konflik Agraria TNI-Petani Urutsewu: Jokowi Masih Umbar Janji-Janji

Usai terjadi kekerasan terhadap petani di Urutsewu oleh personel TNI, warga Urutsewu menagih janji Presiden Jokowi terkait penyelesaian konflik agraria yang melibatkan TNI.

Konflik Agraria TNI-Petani Urutsewu: Jokowi Masih Umbar Janji-Janji
Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (4/9/2019). Ratas itu membahas antisipasi perkembangan perekonomian dunia. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Widodo Sunu Nugroho masih ingat pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) 2014 silam saat mengadukan klaim tanah sepihak oleh TNI seluas 1.150 hektare di Urutsewu--wilayah pesisir selatan--Kebumen, Jawa Tengah.

Ia bersama organisasi warga lain di Forum Petani Paguyuban Kebumen Selatan (FPPKS) saat itu menemui Jokowi yang sudah terpilih sebagai presiden, tapi belum dilantik.

"Jokowi menyampaikan akan menindaklanjuti, tapi tak ada solusi konkret hingga kini," kata Ketua Urutsewu Bersatu ini kepada Tirto, Kamis (12/9/2019).

Selama 12 tahun atau sejak 2007, masalah konflik agraria yang dialami warga di 15 desa pada 3 kecamatan di Kebumen tak ada solusi. Sedangkan TNI terus memagari tanah sepanjang 22,5 kilometer dan lebar 500 meter sejak 2015 hingga 2019.

Menurut Sunu, TNI telah merampas tanah milik warga secara sistematis dan terencana.

"Pemagaran ini hanya modus TNI saja untuk menguatkan klaim mereka. Nanti kan punya alasan untuk pengajuan sertifikat bahwa tanah di dalam pagar berada dalam penguasaan mereka. Mereka tahu materi agraria, tapi juga melanggarnya," ujarnya.

Kehadiran TNI di Urutsewu sejak 1972 dengan akad pinjam tempat latihan dibantu Koramil setempat. Berlanjut 1982 membangun kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) yang disebut warga 'tangsi' dengan membeli tanah warga dan menukar tanah bengkok Desa Setrojenar. Lalu pada 1998, TNI memetakan tanah sepihak dengan meminta tanda tangan kepala desa.

Adu Bukti Kepemilikan Tanah

Tanah yang dipetakan TNI merentang di pesisir selatan Kebumen dari Sungai Luk Ulo hingga Sungai Wawar mencakup 15 desa pada 3 kecamatan, meliputi Wiromartan, Lembupurwo, Tlogopragoto, Mirit, Tlogodepok, Miritpetikusan (Mirit); Sumberjati, Kaibon, Kaibonpetangkuran, Ambal Resmi, Kenoyojayan, Entak (Ambal ); Brecong, Setrojenar, dan Ayamputih (Buluspesantren). Setidaknya ada 30.000 petani yang menggunakan lahan untuk pertanian dan peternakan.

"Usai pemetaan, TNI mendesak ke perpajakan agar mengeluarkan surat pajak kepadanya. Lalu mereka ajukan sertifikat hak pakai ke desa-desa," kata dia.

Klaim TNI, kata Sunu, sempat bertambah pada 2007 selebar 500 meter menjadi 1.000 meter dari pantai hingga lokasi tanah yang kala itu akan dibangun Jalur Lintas Selatan-Selatan Kebumen. Namun, warga mengajukan penolakan keras, sehingga lahan tak bertambah.

Pada 25 September 2008, Kodam IV/Diponegoro mengeluarkan izin tambang pasir besi nomor B/1461/IX/2008 ke PT Mitra Niagatama Cemerlang di Kecamatan Mirit. Perusahaan urung mengeksploitasi, karena desakan warga.

Belakangan, Kodam Diponegoro meregistrasi tanah Urutsewu ke asetnya nomor 30709034 setelah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Kanwil Jawa Tengah mengeluarkan nomor S-825/KN/2011 tanggal 29 April 2011 berisi keterangan tanah Kodam merupakan peninggalan KNIL (tentara Belanda) 1949. Klaim ini jadi legitimasi buat membangun pagar panel beton dan pagar kawat bertulang beton di tanah yang 'dikuasai'.

Kuasa hukum warga, Teguh Purnomo tak kaget dengan klaim ini. Menurut dia, ada tiga syarat sesuai perundang-undangan untuk mengklaim kepemilikan tanah berupa sertifikat, letter C yang tercatat di buku C desa, dan bukti pembayaran pajak (SPPT).

"Dari tiga syarat ini, TNI tak bisa menunjukkannya. Kalaupun ini tanah negara, TNI hanya bisa menguasai tanpa memiliki. Tapi juga harus ada buktinya, tak asal klaim," katanya.

Menurut Sunu, sebagian tanah justru sudah ada sertifikat oleh warga. Sebagian masih berstatus letter C dan tercatat di buku C desa setempat.

"Yang menguatkan, masyarakat menempati dan menikmati hasil. Mereka secara rutin membayar SPPT setiap tahun," ujarnya.

Di antaranya, ada sertifikat tanah dan letter C milik warga sebagai berikut:

  1. Sertifikat Hak Milik (HM), tanah pesisir di Setrojenar, Buluspesantren atas nama Satinah Sanmardjo, 1969;
  2. Sertifikat HM, tanah pesisir di Kaibonpetangkuran, Ambal atas nama Tupon, 1969;
  3. Sertifikat HM, tanah pesisir di Kaibon, Ambal atas nama Sanmuri, 1978;
  4. Sertifikat HM, tanah pesisir di Entak, Ambal atas nama Sanmuntangad, 1979 dan ;
  5. Sertifikat HM, tanah pesisir di Brecong, Buluspesantren atas nama Rutiyah, 2005;
  6. Sertifikat HM, tanah pesisir di Entak, Ambal atas nama Watijo, 2018;
  7. Letter C Desa tanah pesisir di Brecong, Buluspesantren atas nama Martijem, C No: 1661, Persil: 145, Kelas DV, luas 1.580m2;
  8. Letter C Desa, tanah pesisir di Kaibon, Ambal, atas nama Sanmuri, C No 764: Persil: 74, 75 dan 76, Kelas DV, luas 147m2, 700m2, dan 1.400m2;
  9. Letter C Desa tanah pesisir di Tlogopragoto, Mirit atas nama Saparinah, C No:849, Persil: 45 dan 47, Kelas DV, luas 230m2 dan 350m2;
  10. Letter C Desa tanah pesisir di Desa Wiromartan, Kecamatan Mirit atas nama Ranudiwiryo Sukadi, C No:186, Persil: 58 dan 59, Kelas DV, luas 3.110m2 dan 5.390m2 dan 3.720m2.

Status Quo Tak Untungkan Petani

Konflik agraria antara warga dan TNI ini menjadi 'bom waktu' kekerasan yang dialami warga seperti terjadi, pada Rabu (11/9/2019). Ada 16 warga dipukuli personel TNI, satu di antaranya terkena peluru karet. Pada 2011 dan 2015, juga terjadi kekerasan pada warga, namun, tak jelas proses hukum bagi personel TNI yang melakukan penganiayaan.

Kapendam IV/Diponegoro, Letkol Kav Susanto bersikukuh tanah yang dipagari adalah miliknya. Warga, kata dia, tak punya surat kepemilikan yang sah.

"Pemagaran yang dilakukan Kodam IV/Diponegoro adalah untuk mengamankan aset negara. Selain itu, juga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan karena area tersebut merupakan daerah latihan atau tepatnya lapangan tembak," katanya.

Ia mengklaim, warga tetap boleh menggarap lahan di sana tanpa berhak memiliki hingga ada keputusan lebih lanjut. Saat ini, TNI tak melanjutkan pemagaran.

"Jadi apa yang dilakukan TNI adalah konstitusional," ujar Letkol Kav Susanto.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengatakan telah menghubungi Pangdam Diponegoro untuk menghentikan pemagaran yang dianggarkan Kodam sebesar Rp4 miliar sepanjang 4,5 kilometer di Entak (Ambal) hingga Brecong dan Setrojenar (Buluspesantren).

"Meski pemagaran itu proyek negara, bisa dihentikan kok, karena ini [kekerasan ke warga] force major," ungkap Ganjar.

Ganjar mengusulkan bagi kedua belah pihak yang bersengketa agar menahan diri. Terkait klaim tanah, ia memberi usulan jalan keluar berupa status quo--status tanah kembali keadaan awal--sembari melakukan verifikasi saksi dan bukti.

"Pokoknya status quo dulu. Pokoknya ada cerita damai. Semua cooling down dulu. TNI hentikan pemagaran. Masyarakat mengolah tanahnya. Kita duduk bersama cari solusi," kata politikus PDIP itu.

Ganjar tak dapat menyebut siapa yang berhak atas kepemilikan tanah di Urutsewu. Klaim dua pihak akan diverifikasi bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, ia tak menyebut, kapan batas akhir penyelesaian.

"Kalau percaya saya, mari duduk bersama cari solusi. Kalau tidak, silakan ke menggugat ke pengadilan," imbuh Ganjar.

Usulan status quo ini tak diinginkan warga. Menurut Sekretaris Komnas Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Umi Ma'rufah, pada 2011 pernah ada kesepakatan status quo hasil audiensi warga dengan bupati Kebumen.

"Kalau status quo berarti status tanah kembali sebelum kemerdekaan sampai penyertifikatan warga tahun 1960-an, tanah itu milik warga. Tapi toh TNI masih anggap itu tanah negara, dan jadi hak mereka," ujarnya.

Menurut Umi, solusi yang ditawarkan Ganjar tak untungkan warga dan tak berpihak ke petani. Ia meminta tanah yang diklaim TNI atau bila nanti jadi ada status quo, status tanah dikembalikan ke petani warga Urutsewu.

"Kami meminta dengan legawa agar TNI mundur dari wilayah tersebut sebagai penghormatan atas konstitusi dan rakyat," katanya.

Usai terjadi kekerasan, Seniman Martodikromo, Ketua Forum Petani Paguyuban Kebumen Selatan tak patah arang. Ratusan warga menemui bupati Kebumen, Rabu (11/9/2019) lalu. Di sana ada imbauan kepada TNI untuk menghentikan pemagaran, khususnya di Desa Brecong, lokasi kekerasan. Namun, kata dia, hal ini juga tak menyelesaikan akar masalah.

"Solusinya TNI tidak merampas tanah kami. Selama ini pemerintah hanya janji. Kami berharap dimediasi pemerintah, tapi masih janji-janji saja," ujarnya.

Ke depan, ia akan mengadukan persoalan perampasan lahan ke Kantor Staf Presiden dan Ombudsman RI. Warga dan petani berharap mengulangi momen 5 tahun lalu, bertemu Jokowi lagi untuk menagih janji penyelesaian konflik agraria di Urutsewu.

Baca juga artikel terkait KONFLIK AGRARIA atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Hukum
Reporter: Zakki Amali
Penulis: Zakki Amali
Editor: Maya Saputri