Menuju konten utama

Kondisi Jiwa Manusia-Manusia Barbie

Pernah merasa bahwa diri Anda punya kekurangan? Wajar. Tapi, jangan berlebihan.

Ilustrasi perawatan wajah. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Jika Nikita Mirzani baru-baru ini mengabarkan dirinya tengah membuat boneka seukuran Barbie yang secitra dengannya, kondisi sebaliknya justru didapati dari segelintir orang yang menyulap tubuhnya serupa boneka keluaran Mattel tersebut. Adalah Rodrigo Alves, laki-laki blasteran Brazil-Inggris yang membentuk dirinya sedemikian rupa agar menyamai Ken, pasangan Barbie.

Dilansir South China Morning Post, Alves telah menjajal operasi plastik sejak tahun 2004. Kini, laki-laki 34 tahun tersebut telah menjalani 10 kali operasi hidung, implan silikon pada dada, pengencangan bokong, dan sederet permak tubuh lainnya.

Selain Alves, beberapa nama lainnya pun dilaporkan mengubah bentuk tubuh mereka agar serupa boneka seperti Pixee Fox, Victoria Wild, Valeria Lukyanova, dan Justin Jedlica. Orang yang disebutkan terakhir bahkan sempat menjalani 340 kali operasi untuk mendapatkan penampilan serupa Ken.

Baca juga: Sisi Buruk Operasi Plastik

Kasus-kasus yang di atas memang hal ekstrem yang dilakukan orang terhadap tubuhnya sendiri. Tak ada yang salah untuk menggelontorkan dana besar untuk estetika tubuh bagi mereka, tapi lain cerita dengan komentar masyarakat. Berlebihan, menyedihkan, mengerikan, adalah beberapa kata yang terlontar dari para pengkritik saat menanggapi perubahan fisik Rodrigo Alves dan “manusia boneka” lainnya. Lebih jauh lagi, pakar psikologi menilai ada gangguan mental yang tersirat dari aksi-aksi operasi plastik seperti yang mereka lakukan.

Body Dysmorphic Disorder (BDD) adalah istilah yang merujuk pada gangguan mental terkait citra tubuh. Mereka yang mengidap ini merasa dirinya selalu bercacat cela dan berusaha keras untuk menyembunyikan atau memperbaiki kekurangannya tersebut. Padahal menurut orang lain, bagian tubuh yang dirasanya kurang tersebut tidak bermasalah. Hal ini dianggap sebagai gangguan mental karena berpengaruh terhadap aktivitas, proses bersosialisasi, bahkan menimbulkan pikiran bunuh diri.

Dalam studi yang dimuat di jurnal World Psychiatry, pasien BDD dikatakan sering mengalami ketakutan akan penolakan, penilaian diri rendah, malu, serta perasaan tidak berharga atau tidak dicintai. Hampir separuh pasien yang diamati dalam studi tersebut dikatakan delusional. Mereka menganggap, orang lain akan memperhatikan kekurangan tubuhnya yang minor dan membicarakan atau mengejeknya. Singkat kata, mereka ingin terlihat sesempurna mungkin di hadapan orang-orang.

Kondisi ini tidak hanya dialami oleh orang-orang yang melakukan operasi plastik ekstrem seperti Alves. Menurut Dr. Jamieson, pakar kesehatan dari Harvard yang berpraktik di Hong Kong, gejala BDD lumrah ditemukan di mana-mana, hanya saja tidak selalu orang-orang menyadarinya. Kebanyakan orang menganggap si pengidap hanya mengalami cemas berlebihan seputar tubuhnya, bukan mengidap gangguan kejiwaan yang membutuhkan suatu terapi psikis.

Baca juga: Agar Cantik Bak Bintang K-Pop

Jamieson mengamati, orang-orang Hong Kong yang melakukan operasi plastik menginginkan penampilan layaknya keturunan Eropa. Ia menganggap budaya Barat yang masuk melalui film-film Hollywood berpengaruh terhadap obsesi operasi plastik orang-orang Hong Kong.

Dari pendapat Jamieson dapat dipahami bahwa BDD bukan hanya perkara mental yang menjadi urusan terbatas orang-orang tertentu. Ada isu budaya yang kemudian berimplikasi terhadap fisik seseorang. Di berbagai negara termasuk Indonesia, saat terjadi demam K-Pop, sebagian orang berusaha keras untuk menyamai penampilannya dengan sang idola dari Korea.

Wajah mulus dan tubuh langsing ala gadis dan jejaka oriental dianggap sebagai tujuan utama. Tidak peduli berapa banyak uang yang mesti dikeluarkan untuk operasi plastik, yang penting standar estetika tubuh yang dicapai bisa sesuai dengan standar dari negara-negara tempat idola berasal.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/10/19/kekurangan-yang-berlebihan--MILD--rangga.jpg" width="860" alt="infografik kekurangan yang berlebihan" /

Kecemasan berlebihan soal tubuh yang direlasikan dengan BDD umumnya terfokus pada wajah, rambut, kulit, payudara, otot, atau alat kelamin. Sehubungan dengan alat kelamin, tidak melulu kecemasan terpusat pada ukuran. Dalam buku Overcoming Body Dysmorphic Disorder: A Cognitive Behavioral Approach to Reclaiming Your Life (2012) disebutkan salah satu subtipe BDD: koro.

Koro merupakan ketakutan tak masuk akal bahwa penis akan menyusut atau masuk ke dalam tubuh sehingga menyebabkan kematian. Pada perempuan, ketakutan ini terkait dengan organ tubuh lain seperti payudara atau labia. Koro berkembang di daerah Asia, meski selanjutnya hal-hal ini juga ditemukan pada orang-orang non-Asia.

Bila BDD pada umumnya hanya dialami oleh individu, koro mempengaruhi pula anggota keluarga yang percaya bahwa anggota tubuh bisa menyusut hingga menimbulkan kematian. Beberapa literatur menyatakan bahwa koro terkait konteks sosial dan kultural, yang pada akhirnya, menimbulkan gejala gangguan psikis.

Cheng (1996) yang melakukan studi khusus tentang koro melaporkan, keluarga individu yang dianggap mengalami penyusutan organ tubuh sering kali salah menafsirkan gejala tubuh yang didapati oleh individu tersebut. Akibatnya, di luar keinginan si individu, ia dibawa berobat meski sebenarnya tidak ada yang salah dengan dirinya.

BDD atau kecemasan luar biasa soal tubuh bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kelainan pada struktur otak. Gen juga berperan terhadap BDD. Orangtua yang memiliki catatan dengan BDD bisa saja memiliki anak dengan masalah mental serupa atau lainnya seperti Obsessive-Compulsive Disorder (OCD).

Terakhir, faktor lingkungan. Interaksi yang dijalani—termasuk di dalamnya tekanan kelompok pertemanan, penolakan semasa kecil—dan paparan standar tubuh ideal di media massa berkontribusi terhadap pertumbuhan BDD dalam diri seseorang.

Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani