tirto.id - Insiden yang menewaskan sembilan warga sipil serta empat anggota TNI dalam peristiwa ledakan disposal amunisi afkir atau tak layak pakai di Garut, Jawa Barat, sudah seharusnya diungkap secara terang. Sejauh ini, keterangan yang beredar dari pihak TNI dan masyarakat sipil saling bertentangan sehingga membuat hak bagi korban dan keluarganya mendapatkan kejelasan fakta kian buram.
Musibah pada Senin (12/5/2026) pagi di Desa Sagara, Cibalong, Kabupaten Garut itu, tentu meninggalkan trauma bagi korban dan masyarakat sekitar. Penyelesaian hak-hak korban serta keluarganya–baik bagi korban anggota TNI dan masyarakat sipil–jangan sampai tidak transparan dan menggunakan jalan pintas. Kompensasi untuk korban yang dilakukan TNI bukan pintu untuk menutup pengungkapan fakta, evaluasi prosedur, atau bila ditemukan, pertanggungjawaban hukum.
Baru-baru ini, TNI Angkatan Darat (AD) memberikan peluang bagi anak-anak pihak korban ledakan amunisi afkir di Garut, untuk menjadi keluarga besar TNI. Hal itu diberikan sebagai salah satu bentuk santunan dan pertanggungjawaban kepada para keluarga korban tragedi tersebut. Hal ini disampaikan langsung oleh Kadispenad, Brigjen Wahyu Yudhayana, lewat keterangan tertulis, Rabu (14/5/2025).
Menurut Wahyu, TNI AD akan memenuhi hak-hak keluarga korban dari anggota TNI AD. Dia juga memastikan tali asih sudah diberikan kepada seluruh keluarga korban ledakan amunisi itu. Tim investigasi yang dibentuk TNI AD masih menyelidiki peristiwa ini, termasuk dugaan keterlibatan warga sipil dalam kegiatan disposal amunisi afkir.
Detik-Detik Peledakan Bahan Amunisi TNI yang Tewaskan 13 Orang di Cibalong Garut Jabar
— ꦩꦸꦂꦠꦝ (@MurtadhaOne1) May 12, 2025
Awalnya normal saja, lalu berubah jadi tragedi ketika sejumlah warga mendekat sesaat setelah ledakan untuk mencari sisa-sisa material seperti bekas selongsong peluru dan logam kuningan pic.twitter.com/pi0CNYrJtL
Persoalannya, tawaran tali asih berupa kemudahan bagi anak-anak korban menjadi anggota TNI mengandung bahaya penyederhanaan masalah yang lebih kompleks. Kompensasi dalam bentuk fasilitas masuk institusi negara tanpa mekanisme yang terang justru dapat mengaburkan substansi keadilan.
Masalah ini pula yang dikhawatirkan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Salah satu anggota koalisi, Muhamad Isnur, menilai langkah tersebut mengenyampingkan permasalahan utama yang seharusnya diungkap kepada pihak korban dan masyarakat luas.
Mengajak anak-anak korban bergabung menjadi anggota TNI terkesan seperti penyelesaian singkat dari pertanggungjawaban besar terhadap korban. Padahal, kata pria yang menjabat sebagai Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini, penyelesaian yang adil bagi para korban yang utama, adalah pembeberan fakta penyebab terjadinya insiden ledakan di Garut.
“Tapi masalah besarnya jadi ditinggalkan. Keberulangan peristiwa seperti ini jangan sampai terjadi. Pertama seharusnya diungkap jujur jangan disembunyikan apa masalahnya. Apakah human error atau sistem atau pelanggaran SOP lebih besar, jangan cuma denial,” kata Isnur ketika menjawab pertanyaan Tirto dalam konferensi pers daring, Jumat (16/5/2025).
Menurut Isnur, masalah sudah muncul semenjak ada kontradiksi keterangan dari versi TNI dan masyarakat. TNI menilai kehadiran warga sipil dalam kegiatan disposal merupakan hal yang biasa, karena mereka disebut ingin mengumpulkan sisa-sisa material. Sementara dari masyarakat menolak dicap sebagai pemungut sisa-sisa material amunisi atau memulung. Ini didasarkan kesaksian keluarga korban yang mengaku sebetulnya warga sipil yang menjadi korban ledakan di Garut memang sudah sering dipekerjakan TNI dalam kegiatan disposal.
Isnur menegaskan, solusi yang ditawarkan TNI AD belum berbasis penyelesaian holistik. Ini mengabaikan hak keluarga korban yang bisa saja membutuhkan kompensasi dalam bentuk lain untuk kehidupannya. Di sisi lain, Isnur langkah mengajak keluarga korban bergabung ke TNI merupakan bentuk penyelesaian yang kurang tepat.
“Jangan-jangan direkrut bertentangan dengan skema yang ada. Harusnya solusinya, habitasi itu bagaimana [menjamin] kehidupan keluarganya. Anaknya [korban] sampai kerja, sampe dia kuliah harusnya ke sana dampingannya,” ucap Isnur.

Koalisi mendesak Komisi I DPR RI segera membentuk tim pencari fakta independen untuk menyelidiki tragedi ini. Selain agar keluarga korban mendapatkan hak untuk tahu apa yang terjadi, juga karena perlu ada pengawasan ketat atas peralatan mematikan seperti senjata, amunisi, maupun bahan peledak di lingkungan TNI.
Tanpa pengawasan yang ketat dan evaluasi dari DPR, insiden seperti ini berpotensi terulang lagi. Proses penanganan amunisi, dari produksi, distribusi, hingga pemusnahan harus patuh pada standar keamanan dan ditangani oleh profesional.
Jika terus berulang dan dibiarkan oleh negara, maka kejadian ini dipandang sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak hidup yang merupakan hak absolut yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apapun.
Anggota koalisi lainnya yang juga Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menegaskan bahwa penyelesaian insiden ini harus berakar pada kebenaran dan keadilan untuk korban. Saat ini, fakta-fakta dalam insiden ledakan amunisi di Garut dipandang masih simpang siur. Ardi menilai cara penyelesaian dengan mengajak anggota keluarga korban bergabung ke TNI tidak memiliki dasar hukum.
Pengungkapan fakta yang terang pada kasus ini membantu evaluasi pelaksanaan kegiatan disposal amunisi afkir yang berakhir memakan korban jiwa. Pasalnya, penanganan amunisi tak layak pakai sudah berulang kali memakan korban. Kejadian di Garut tercatat sebagai insiden penanganan amunisi TNI dengan korban terbanyak kedua setelah tragedi di Gudang Peluru Korps Marinir TNI AL di Cilandak pada Oktober 1984 silam.
Kejadian di Cilandak menewaskan 15 orang yang terdiri dari warga sipil dan anggota TNI. Peristiwa ledakan amunisi TNI juga terjadi di Gudang Tanjung Priok pada 5 Maret 2014 dan menewaskan 1 orang. Selain itu, terjadi insiden serupa di Gudang Amunisi di Ciangsana, Bogor, pada Maret tahun lalu. Sebelum peristiwa di Garut, truk amunisi TNI meledak di jalan tol Gempol, Pasuruan, Jawa Timur, pada 5 Mei 2025, dan menyebabkan satu anggota TNI tewas.
“Tidak ada dasar hukum dari pola-pola penyelesaian yang dilakukan dengan merekrut keluarga korban. Dan negara seharusnya bertanggung jawab kepada korban TNI maupun korban warga sipil itu sendiri,” ucap Ardi dalam kesempatan yang sama.
Diberitakan sebelumnya, Kadispenad, Brigjen Wahyu Yudhayana, menyatakan pihak TNI AD menawarkan kesempatan bagi anak-anak korban ledakan di Garut bergabung menjadi bagian keluarga besar TNI. Terkait dengan proses pengusutan penyebab ledakan, Wahyu memastikan tim investigasi TNI AD masih bekerja di lapangan hingga saat ini. Total 21 warga dan 15 prajurit TNI sudah dimintai keterangan.
"Kepada putra-putri daripada korban, apabila ingin bergabung dengan TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Darat membuka peluang kepada seluruh putra-putri korban dan nanti jajaran Kodim Korem XI Garut memberikan pendampingan," kata Kadispenad, Brigjen Wahyu Yudhayana, dalam keterangan tertulis, Rabu (14/5/2025).
Memiliki Landasan Hukum?
Pengamat Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menjelaskan bahwa secara formal, rekrutmen prajurit TNI diatur dalam sejumlah peraturan, seperti di Undang-Undang TNI, serta berbagai Peraturan Panglima dan peraturan teknis di tingkat angkatan. Proses rekrutmen mensyaratkan adanya seleksi administratif, kesehatan, psikologi, serta uji kemampuan dasar yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa diskriminasi.
Namun, kata Fahmi, dalam konteks insiden di Garut yang menimbulkan korban jiwa pihak sipil, memang terbuka kemungkinan TNI untuk menerapkan pendekatan berbasis kebijakan afirmatif. Artinya, institusi negara memberikan kemudahan atau preferensi tertentu kepada anak atau pihak keluarga korban. Hal itu dilakukan selama tetap dalam koridor yang tidak menghilangkan proses seleksi formal.
“Ini bukan bentuk pengangkatan langsung, melainkan fasilitasi agar calon yang bersangkutan dapat mengikuti tahapan dengan lebih ringan atau diprioritaskan dalam seleksi,” jelas Fahmi kepada wartawan Tirto, Jumat (16/5/2025).
Fahmi menegaskan bahwa praktik semacam ini tidak secara eksplisit diatur dalam regulasi. Namun dalam ranah hubungan civil-military affairs, pendekatan afirmatif semacam ini sering ditempuh sebagai bentuk penghormatan atau penghargaan kepada pihak yang terdampak oleh operasi atau kegiatan militer.
Menurutnya, tawaran TNI AD bisa dilihat dari sudut pandang kemanusiaan dan institusional sebagai wujud empati dan tanggung jawab moral terhadap keluarga korban. Dalam banyak kasus, terutama ketika insiden menimbulkan korban jiwa, institusi publik kerap menempuh berbagai pendekatan untuk menunjukkan bahwa mereka hadir dalam proses pemulihan pihak terdampak.
Seperti melalui tawaran fasilitasi masuk ke lembaga, beasiswa, atau bantuan sosial lainnya. Dalam konteks ini, Fahmi menilai langkah TNI dapat dimaknai sebagai bentuk perhatian yang simbolik dan praktis.
“Ia tidak dimaksudkan menggantikan proses hukum atau prosedur administrasi lainnya, tetapi lebih sebagai bentuk kedekatan dan solidaritas antara institusi dan masyarakat. Ini penting dalam menjaga relasi sosial,” terang Fahmi.
Namun, perlu dipahami bahwa langkah semacam ini merupakan pendekatan penyelesaian berorientasi pemulihan (restoratif), bukan struktural. Tujuannya bukan menutup proses atau tanggung jawab, melainkan merawat jembatan sosial antara institusi dan keluarga korban.
Ketika terjadi insiden yang berdampak pada masyarakat sipil, institusi TNI memiliki tanggung jawab untuk melakukan sejumlah langkah. Pertama, melakukan investigasi internal untuk mengetahui sebab kejadian secara jelas sebagai bahan evaluasi. Termasuk untuk melihat kemungkinan adanya unsur pidana.
Kedua, institusi berkewajiban memberikan kompensasi dan bantuan kemanusiaan kepada keluarga korban, terutama karena kesalahan sistemik institusi militer. Terakhir, pendekatan pemulihan jangka panjang dengan melibatkan keluarga korban dalam berbagai program kesejahteraan, pendidikan, atau integrasi sosial.
“Dalam kerangka inilah, tawaran untuk bergabung ke TNI bisa dimaknai sebagai bagian dari strategi pemulihan yang ditawarkan kepada keluarga korban, bukan sebagai kewajiban hukum, tetapi sebagai bentuk inisiatif,” ucap Fahmi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menilai bahwa sejak awal, pelibatan warga sipil dalam pemusnahan amunisi afkir sudah menyalahi aturan. Warga sipil tidak punya keahlian profesional dan keahlian kemiliteran untuk menangani amunisi.
Maka, kata Halili, ketika jatuh korban warga sipil dan menyusul tawaran kepada putra-putri mereka untuk bergabung ke dalam TNI, itu merupakan bentuk kerahiman terhadap keluarga korban.
“Saya juga melihat dari sisi lain bahwa ini bentuk lain dari rasa bersalah pelibatan warga sipil dalam pemusnahan amunisi afkir tersebut,” ucap Halili kepada wartawan Tirto, Jumat (16/5).
Soal langkah kerahiman kepada keluarga korban tersebut, Halili menilai itu menjadi langkah subjektif institusi TNI yang tidak punya dasar regulasi. Namun yang lebih pokok, menjamin komitmen TNI memastikan jaminan integritas fisik dan psikis bagi warga sipil sekitar lokasi insiden dan keluarga korban.
“Yakni dengan memastikan tidak terjadi perulangan, principle of non repetition,” tegas Halili.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id


































