tirto.id - Komnas Perempuan mendesak Mahkamah Agung (MA) segera mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
“SEMA ini merupakan bentuk pengingkaran dan pengabaian lembaga negara pada pelaksanaan kewajiban konstitusional dan hak hukum warga negara, serta bentuk diskriminasi lembaga negara dalam bidang perkawinan,” ucap Komisoner Komnas Perempuan Dewi Kanti di Jakarta, Jumat (28/7/2023).
Komnas Perempuan menilai bahwa pengakuan perkawinan warga negara yang berbeda agama telah mendapatkan pengakuan melalui pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2006 jo UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
"Dengan penjelasan pasal yang menyatakan yang dimaksud dengan, Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama,” sambung Dewi.
Dewi menambahkan, perempuan mengalami stigma lebih dibandingkan laki-laki ketika memilih melakukan pernikahan beda agama.
Pengaduan ke Komnas Perempuan, kata Dewi, menunjukkan perempuan yang menikah beda agama dianggap melakukan zina, sebagai anak diusir dari rumahnya, dan rentan mengalami kekerasan dari keluarga.
Selain itu, Dewi menyatakan bahwa hal serupa dialami oleh perempuan penghayat yang melakukan perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan berbagai dampak sosial terhadap anak-anak yang dilahirkan, termasuk kerentanan perempuan menjadi korban KDRT.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang mengingatkan Mahkamah Agung bahwa ada kewajiban Indonesia sebagai negara pihak yang hak-hak warga negaranya juga telah dijamin dalam Kovenan Internasional – International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) – yang telah menjadi hukum nasional UU Nomor 12 Tahun 2005 sebagaimana tertuang pada Pasal 2.
“Termasuk hak dalam perkawinan sebagaimana tertuang pada pasal 14 dan dan Pasal 23 ICCPR juga Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah menjadi hukum nasional UU Nomor 11 Tahun 2005 sebagaimana tertuang pada Pasal 2, termasuk hak dalam perkawinan sebagaimana tertuang pada Pasal 10 konvensi tersebut,” tegas Veryanto.
Veryanto menambahkan, dari hasil FGD Komnas Perempuan 2022, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menyampaikan sejak 2005 telah ada 1.655 pasangan berbeda agama/kepercayaan telah menikah. Bahkan di 2010 diklaim mencapai 233 ribu pasangan yang menikah beda agama/kepercayaan.
Veryanto juga menyampaikan, dari informasi yang disampaikan oleh Dukcapil Kementerian Dalam Negeri (2022), mencatatkan bahwa ada 34,6 juta pasangan kawin berstatus 'kawin belum tercatat', di antaranya karena perkawinan tersebut beda agama.
“Perkawinan tidak tercatatkan memberikan dampak hambatan pada kehidupan perempuan dan pemenuhan hak-haknya,” tambah Veryanto.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang