tirto.id - Sebelum sepenuhnya diserahkan kepada Indonesia, wilayah Papua Barat menjadi tanggungjawab Komando Pasukan (Kompas) D yang dipimpin Letnan Kolonel JF Warouw. Pasukan ini lalu menjadi Resimen Infanteri 25 yang dipimpin Letnan Kolonel Suprapto Sukowati, dan selanjutnya dipimpin oleh Kolonel Herman Pieters. Resimen ini membawahi daerah luas tetapi sebagian di antaranya masih dikuasai Belanda. Sebelum 1957, wilayah ini berada di bawah Komando Tentara dan Teritorium VII/Wirabuana.
Munculnya pelbagai pergolakan di daerah pada 1950-an, membuat Nasution memecah Komando Tentara dan Teritorium yang pimpinannya membangkang. Hal ini dilakukan agar pengaruh para pemimpin militer tersebut semakin mengecil, termasuk TT VII/Wirabuana yang dipimpin Letnan Kolonel Vintje Sumual.
Resimen Infanteri 25 yang dipimpin Herman Pieters kemudian berkembang menjadi Komando Daerah Militer Maluku dan Irian Barat (KDM/MIB). Setelah 1958, KDM MIB menjadi Kodam XVI/Pattimura. Dan sesudah Operasi Trikora yang dipimpin Soeharto, Kodam XVI/Pattimura pun dipecah.
“Di dalam pembagian kemiliteran Indonesia, Irian Barat ditetapkan sebagai Komando Daerah Militer (Kodam) XVII. Panglima pertamanya sudah kita temukan dalam pribadi Brigadir Jenderal Rukman. Kemudian pada tahun itu ia didiganti oleh Kolonel R Kartidjo,” tulis P. J. Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (2010:645).
Dalam buku Irian Barat dari Masa ke Masa, Volume 1 (1971:100-101), juga dalam tulisan Amiruddin Al Rahab yang berjudul "Operasi-operasi Militer di Papua: Pagar Makan Tanaman" yang dimuat di Jurnal Penelitian Politik, Volume 3, Masalah 1 (2006:5), disebutkan bahwa Rukman adalah Komandan Kontingen Indonesia (Kotindo) yang asisten intelijennya Letnan Kolonel Ali Moertopo. Menurut Amiruddin, Kodam ini “hanya berada secara bayangan dengan fungsi mengawasi UNTEA dan gerak-gerik politik orang-orang Papua, terutama yang pro-kemerdekaan Papua.”
Menurut Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk dalam Acub Zainal: I Love The Army (1998:74), pembentukan Kodam XVII/Irian Barat sempat tertunda karena Papua masih di bawah wewenang UNTEA yang mengurusi sengketa Indonesia-Belanda.
“Kodam ini kemudian direalisasikan secara nyata baru pada 12 Januari 1963 mendekati hari penyerahan administrasi pemerintahan Papua dari UNTEA ke Indonesia,” tulis Amiruddin (2006:7).
Dan pada tanggal 30 Juni 1964 Kodam XVII/Irian Barat berganti nama menjadi Kodam XVII/Cendrawasih dengan patakanya Praja Ghupta Vira yang berarti Ksatria Pelindung Masyarakat.
Markas Besar Kodam XVII/Cendrawasih terletak di sebuah bukit dekat pantai di Kota Jayapura—kota yang di zaman Belanda bernama Hollandia. Dalam catatan Amiruddin Al Rahab, kekuatan Kodam ini kian bertambah pada tahun 1964 sejak dibentuknya Batalion Infanteri 751 di Monokwari, Batalion Infanteri 752 di Sorong, dan Batalion Infanteri 753 di Jayapura. Ketiganya adalah pengembangan dari Batalion Infanteri 641/Cendrawasih I yang berasal dari Kodam Diponegoro dan Batalion Infanteri 642/Cendrawasih II yang berasal dari Kodam Siliwangi.
Sejumlah batalion ini diisi pula oleh orang-orang Papua mantan gerilyawan Operasi Trikora dan mantan milisi Belanda dalam Papuan Vrijwilligers Korps (PVK). Kekuatan awal Kodam ini sekitar dua ribu personel. Setelah Soeharto berkuasa, militer semakin mendominasi, termasuk di Papua.
Infografik KODAM Cenderawasih. tirto.id/Fuadi
Sepak Terjang OPM dan Para Jenderal
Musuh utama Kodam XVII/Cendrawasih adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang muncul nyaris bersamaan dengan lahirnya Kodam tersebut. Salah satu kompatan OPM adalah Seth Rumkorem, mantan calon perwira Angkatan Darat yang desersi pada 1970 dan bergabung dengan OPM.
Aksi OPM pernah menembak pesawat yang ditumpangi Panglima Kodam Cendrawasih, Brigadir Jenderal Sarwo Edhi Wibowo. Sepanjang Orde Baru berkuasa, wilayah teritorial Kodam ini senantiasa menjadi daerah operasi militer. Pengganti Sarwo Edhi adalah Brigadir Jenderal Acub Zainal yang pernah menjadi Ketua Panitia PON VII 1969 di Jakarta.
Acub yang dikenal sebagai tokoh olahraga ini menjabat dari 1970 hingga 1973. Ia kemudian dijadikan Gubernur Irian Jaya dari 1973 hingga 1975. Acub cukup bisa mengambil hati sebagian masyarakat Papua.
“Ketika menjadi Panglima Kodam XVII/Cendrawasih, Irian Jaya, Acub Zainal menggerakkan program Operasi Koteka untuk penduduk pegunungan tengah Irian Jaya,” ujar Wolas Wrenak dalam biografi Acub Zainal (1998:267-269). Selain itu, Acub juga dianggap telah membangkitkan kebanggaan orang Papua lewat dunia olahraga. Salah satunya ikut membangun tim sepakbola Persipura. Menurut Wolas Wrenak, Acub juga memberi angin kepada musisi pop dari Papua macam Black Brother juga Black Sweet.
Ketika Panglima ABRI dijabat oleh Benny Moerdani, Kodam Cendrawasih dan Kodam Pattimura disatukan menjadi Kodam VIII/Trikora. Di wilayah teritorial Kodam VIII/Trikora pernah terjadi penyanderaan terhadap Tim Ekspedisi Lorentz oleh OPM. Untuk menanggulanginya, ABRI menurunkan pasukan Kopassus yang dipimpin Prabowo Subianto.
Pada 2007, setelah Kodam Pattimura diaktifkan kembali, maka Kodam Cendrawasih pun diaktifkan lagi. Saat ini, Mayor Jenderal Herman Asaribab menjadi panglimanya. Ia adalah perwira TNI yang berdarah Papua. Orang Papua lain yang menjadi jenderal adalah Mayjen TNI Joppye Onesimus Wayangkau.
Secara militer, wilayah Papua kemudian dipecah kembali dengan munculnya Kodam XVIII/Kasuari. Mayjen TNI Joppye Onesimus Wayangkau kemudian menjadi Panglima Kodam baru ini yang berpusat di Manokwari.
Editor: Irfan Teguh