Menuju konten utama

Koalisi Sipil Kritisi Pasal Penistaan Agama RKUHP yang Multitafsir

Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan mempersoalkan sejumlah pasal yang terdapat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Koalisi Sipil Kritisi Pasal Penistaan Agama RKUHP yang Multitafsir
Gabungan berbagai elemen masyarakat sipil serta LSM yang menamakan dirinya Aliansi Masyarakat Sipil Tolak RKUHP melakukan aksi di depan gedung DPR, senin (12/2/18). Tirto.id/Bhagavad Sambadha.

tirto.id - Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan mempersoalkan sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai bisa mengganggu praktik kebebasan beragama bila disahkan Juli 2019.

"Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan berpendapat meskipun ada perkembangan baik terkait delik-delik keagamaan, namun masih ada pasal-pasal yang menimbulkan kekuatiran apabila diberlakukan," kata advokat LBH Jakarta Pratiwi di kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (2/7/2019).

Lembaga ini menemukan sejumlah pasal yang berpotensi bermasalah. Pertama, pasal 2 RKUHP masih memiliki celah dari segi penafsiran hukum. Pratiwi khawatir isi pasal 2 RKUHP membuka ruang penerapan hukum seperti dalam perda-perda diskriminatif di daerah.

Kedua, koalisi ini juga mempersoalkan makna kata penghinaan dalam pasal 250 dan pasal 313 RKUHP. Sebab, makna penghinaan bersifat subyektif. Selain itu, pasal 313 berpotensi membahayakan pemeluk agama sehingga perlu diganti dengan kata syiar kebencian.

Koalisi ini juga mempersoalkan penamaan Judul Bab VII “Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama” yang dianggap salah secara bahasa maupun konsep.

Menurut Pratiwi, agama tidak dapat menjadi subyek hukum, sebab subyek hukum yang perlu dilindungi adalah penganut agama. Ia khawatir ada masalah bila ada kesalahan pemaknaan.

"Sebagai sebuah konsep menempatkan agama sebagai subyek hukum problematis, karena ia tidak dapat mewakili dirinya sendiri di proses hukum. Artinya ini mengandaikan adanya orang yang mewakili agama. Mengingat adanya keragaman terkait keyakinan keagamaan, bahkan di dalam satu agama maka apabila negara mendengar dan mengambil satu tafsir agama artinya negara telah berlaku diskriminatif," kata Pratiwi.

Selain itu, penerapan pasal 315 RKUHP juga dipermasalahkan. Mereka sadar pasal tersebut tidak melarang orang untuk tidak beragama melainkan hasutannya.

Akan tetapi, makna kata “hasutan” multitafsir sehingga bisa menyasar orang yang hanya mengajak orang yang tidak beragama sebagai sebuah keyakinan.

Kemudian, kata “meniadakan agama” juga membingungkan karena dapat berarti seluruh agama, atau hanya satu agama, dan/atau keyakinan di dalam agama.

"Meniadakan juga multitafsir apakah maksudnya pada satu orang atau untuk meniadakannya sama sekali dari bumi Indonesia," kata Pratiwi.

Selain itu, mereka juga mempermasalahkan penerapan pasal 316 tentang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung.

Pratiwi paham kalau maksud pasal tersebut agar pemeluk agama bisa menjalani kegiatan keagamaan dengan baik. Akan tetapi, kata “gaduh” dapat multitafsir terkait sebesar apa suara sehingga dapat dikatakan gaduh.

Kemudian, Pratiwi mempermasalahkan pasal 503 RKUHP tentang pencurian benda suci keagamaan yang menjadi titik berat. Mereka mempersoalkan derajat di antara benda suci keagamaan, misal suatu patung dengan gelas. "Pertanyaan lainnya adalah apa kategori benda suci keagamaan? Apakah kalung berlambang keagamaan tertentu masuk benda suci keagamaan?" tanya Pratiwi.

Terakhir, Pratiwi menyoroti pembahasan RKUHP yang tidak terbuka sehingga menyulitkan masyarakat yang hendak berpartisipasi.

Dalam pandangan koalisi, landasan pemikiran serta argumentasi di balik perumusan delik yang dimuat dalam RKUHP saat ini, secara khusus ‘pasal-pasal tentang agama’, alih-alih menyelesaikan atau mencegah kejahatan serta konflik, justru semakin membuka ruang memperkuat diskriminasi, konflik dan melegitimasi tindakan intoleransi di tengah masyarakat.

Selain itu, pemerintah lebih mengedepankan penghukuman dibandingkan sikap restorative justice. Oleh sebab itu, mereka meminta agar RKUHP tidak disahkan dalam waktu dekat.

"Kami meminta pengesahan RKUHP ditunda dan pembahasan dengan masyarakat terkait dibuka kembali dengan mengedepankan asas legalitas dalam hukum pidana secara tertib yang terdiri atas asas lex scripta, lex stricta, lex temporis delicti, lex certa serta semangat “restorative justice” dan prinsip-prinsip hak asasi manusia," kata Pratiwi.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri