tirto.id - Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono, membantah dibukanya kembali ekspor pasir laut hanya untuk pemenuhan kebutuhan permintaan Singapura. Diketahui, Singapura saat ini tengah banyak melakukan proyek perluasan daratan negara.
Namun, ia tidak menampik ekspor pasir laut ke Singapura bisa saja terjadi, asalkan ekspor dilakukan dalam bentuk sedimentasi. Ekspor juga bisa dilakukan kalau kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi.
Nantinya, akan ada tim peneliti jenis pasir laut yang boleh diekspor. Tim beranggotakan beberapa unsur seperti Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pakar, aktivis lingkungan dan akademisi dari perguruan tinggi.
"Setelah terbentuk tim silahkan dikaji di mana sedimentasi di Indonesia jumlahnya berapa baru boleh dieksploitasi. Mengambilnya juga tidak boleh sembarangan, harus dengan teknik dan teknologi khusus," katanya saat konferensi pers, di Kantornya, Jakarta, Rabu (31/5/2023).
Setelah proses eksploitasi dilakukan, pasir laut hasil sedimentasi boleh digunakan untuk kepentingan dalam negeri. Kalau kepentingan dalam negeri sudah terpenuhi, barulah pasir tersebut boleh diekspor, termasuk ke Singapura.
"Perlakuannya sama, di dalam negeri kalau dia menggunakan pasir sedimentasi dia harus bayar PNBP, begitu juga ekspor. Dia juga harus dikenakan PNBP dan PNBP nya lebih tinggi," katanya.
Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, buka-bukaan alasan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Salah satunya adalah kebutuhan reklamasi di dalam negeri yang masih cukup tinggi.
"Kebutuhan akan reklamasi di dalam negeri besar kalau didiamkan tidak diatur bisa jadi pulau diambil untuk reklamasi dan berakibat kerusakan lingkungan," ujarnya dalam konferensi pers.
Dia menegaskan, pemerintah sejatinya ingin menjaga dan mengatur mengenai reklamasi dalam negeri. Atas dasar itulah diterbitkan PP 26/2024 yang mengatur bahwa penggunaan reklamasi harus pasir sedimentasi.
Trenggono menegaskan, rezim saat ini beda dengan rezim 20 tahun lalu, di mana dulu belum ada peraturan pengambilan sedimentasi, sehingga pulau-pulau yang dikeruk.
"Dan sekarang juga terjadi, kita tutup, kita setop, kalau teman-teman pernah melihat bagaimana kita menghentikan penyedotan pasir Pulau Rupat di Riau itu kita setop, lalu reklamasi tanpa izin di Kendari kita setop," katanya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang