tirto.id - "Kalau bisa ditukar malah sekarang saya sudah enggak ingin jauh lagi sama keluarga, umur dah kepala 4 buat saya sudah cukup masa enggak enaknya anak, istri jauh dari kita."
Begitulah pernyataan Adi Rahmat (43), salah satu kru kapal (crew boat) kapal pengantar kru dan logistik pengeboran lepas pantai. Pria yang sudah menekuni dunia pelayaran dan kelautan sejak 2003 itu mengaku rindu berlebaran di Banyuwangi, Jawa Timur.
Dalam sesi wawancara dengan Tirto, Minggu (31/3/2024), Adi mengaku kangen bisa berlebaran di rumah. Ia bercerita terakhir lebaran dengan keluarga pada 2022 lalu. Saat itu, ia pulang karena meminta cuti pada bosnya.
"Lebaran kemarin masih bisa sungkem dan lihat kedua orang tua kita tersenyum, sekarang sudah tidak ada keduanya. Anak salah satu yang menjadi penguat kita selama bekerja. Istilahnya, tahun kemarin masih kecil-kecil, giliran pas selesai kontrak dan pulang ke rumah lagi sudah bisa panggil Om," kata dia.
Tahun ini, Adi kembali tidak bisa berlebaran di rumah sebab masih bertugas di Inggris. Namun, suasana akan terasa sedikit berbeda karena ada sejumlah rekan kerja di Bristol, daerah tempatnya bekerja, menggelar lebaran bersama.
"Kebetulan ada rekan kerja dan kerabat di Bristol yang beragama muslim. Mereka punya agenda di lebaran nanti. Kalau enggak ada halangan dan jadwal pelayanan crew change or loading in selesai mungkin saya ikut merayakan bersama mereka," kata Adi.
Adi lantas bercerita beberapa momen berlebaran di tengah samudera. Momen pasti dalam lebaran adalah kerap menghubungi keluarga. Ia mengaku kemudahan teknologi lewat video call maupun group messenger memudahkannya dalam bersilaturahmi saat Idulfitri.
Perayaan lebaran yang dialami olehnya pun beragam. Ia mengatakan, setiap kapal maupun korporasi memiliki adat dalam merayakan momen hari keagamaan. Berdasarkan pengalaman selama ini, banyak perusahaan tidak mengenal istilah Idulfitri, melainkan Natal dan Tahun Baru.
Selain itu, mayoritas pekerja di atas kapal adalah nonmuslim. Meski mayoritas nonmuslim, para kru bertoleransi dengan makan bersama di atas kapal. Ia pun pernah menggelar takbiran di atas kapal.
"Pernah juga kerja di kapal yang kebetulan banyak kru muslimnya (dari beberapa negara), kita pernah takbiran dan melaksanakan salat Idulfitri berjemaah di atas kapal," kata Adi.
Sekali waktu, Adi juga pernah merayakan lebaran bersama komunitas muslim di Brisbane, Australia usai salat Id. Namun, hal itu sulit dilakukan jika tidak punya visa kerja. Di perusahaan tempat bekerja saat ini, Adi lebih banyak menjalani rutinitas di pantai karena minim aktivitas di tengah laut.
Momen lebaran tak selalu menjadi momen menyenangkan bagi pelaut. Bukan hanya karena jauh dari keluarga tetapi juga masalah THR yang tidak sesuai.
"Jadi kita sebenarnya sudah cukup sedih jauh dengan keluarga, ditambah lagi masalah Tunjangan Hari Raya (THR). Ini kan enggak semua perusahaan khususnya perusahaan-perusahaan pelayaran dalam negeri menaati aturan pemberian THR bagi awak kapalnya," kata Adi.
Di hati kecil Adi, ia berharap pemerintah mau mendorong perusahaan memberikan libur kepada para pelaut, setidaknya bagi pelaut yang bekerja di perusahaan dalam negeri. Ia berharap juga agar pelaut bisa mendapatkan hak dasar mereka sebagai pekerja.
"Terkait hak-hak dasar sebagai pekerja pun kita masih ambigu karena ego sektoral di dua kementerian. Semoga ke depan pelaut kita sudah tidak lagi meributkan istilah pekerja atau profesi sebagai awak kapal, baik niaga maupun perikanan," kata Adi.
Kisah Lain dari Pelaut Senior
Nasib lebih mujur dialami Rachmat Noor Yasin (51). Yasin yang sudah aktif di dunia perkapalan dan kelautan selama 29 tahun itu sudah 3 tahun terakhir berlebaran di rumah. Pria yang kini menjadi chef cook di salah satu kapal mengaku, lebaran kali ini memilih di kapal karena jadwal kerja.
"Tahun ini lebaran di kapal karena saat joint schedule saya mundurkan 2 bulan yang seharusnya bila tepat waktu joint bisa lebaran di rumah," kata Yasin kepada Tirto.
Yasin mengatakan, dirinya yang merupakan pelaut offshore memiliki rutinitas yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat di darat. Ia mengaku, ada yang membangunkan untuk sahur, melakukan sahur bersama, hingga buka puasa bersama. Jumlah minimal kru yang ada di kapal sebanyak 30 orang, cukup ramai, menjadikan Ramadhan di kapal hal yang biasa-biasa saja.
"Masuk hari raya kegiatannya sama. Ada takbir dan salat id, tapi untuk tahun ini sepertinya biasa-biasa saja. Hanya sebagus-bagusnya di kapal tetap lebih bagus hari raya di rumah," kata Yasin.
Pria yang tinggal di Tanjung Priok, Jakarta, ini mengaku momen lebaran saat ini lebih baik dibanding era 90-an. Kala itu, Yasin hanya bertukar foto dan menggunakan surat untuk berkomunikasi. Hal itu semakin sulit ketika dia tidak tahu agen pengiriman surat.
Yasin juga bercerita, tiga tahun berlebaran di rumah memang berkesan. Keluarga besar kerap mampir di kediamannya. Pria dua anak ini pun berkelakar anggota keluarganya bisa mencapai 40 orang.
"Sejujurnya kalau teman-teman yang bekerja di perusahaan Eropa banyak juga owner tidak mengerti apa itu Idulfitri. Yang mereka tahu hanya Natal dan Tahun Baru," kata Yasin.
Secara pribadi, Yasin tidak memiliki harapan muluk-muluk jelang pensiun. Ia hanya berharap agar nasib pelaut dalam negeri membaik. Ia bercerita banyak pelaut Indonesia masih dibayar dengan upah di bawah upah minimum baik tunjangan maupun kesejahteraan.
"Harapan dan keinginan saya adalah agar pelaut indonesia yang bekerja di luar negeri dapat merasakan apa yang (saya) rasakan karena mungkin masih banyak pelaut-pelaut yang kurang beruntung," kata Yasin.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Anggun P Situmorang