tirto.id - Tanggal 17 Juli 2018 adalah permulaan dari hari-hari suram bagi suami-istri Pedri Permana dan Siti Badriah. Pada hari itu pasangan yang belum lama menikah ini mendapat kabar yang mengubah hidup mereka: PT Suryasukses Adi Perkasa, tempat mereka mencari uang, menurunkan status kepegawaian dari pekerja kontrak menjadi peserta magang.
PT Suryasukses Adi Perkasa berdalih penurunan status itu karena kondisi keuangan perusahaan memburuk sehingga perlu berhemat, aku Pedri.
Kabar yang disampaikan pada siang bolong itu di luar nalar Perdi. Ia sudah bekerja selama empat tahun sebagai asisten operator printing di pabrik itu; istrinya lima tahun jadi operator printing. Dilihat dari pengalaman, keduanya jelas sudah terampil. Semestinya mereka diangkat jadi pegawai tetap setelah bekerja lebih dari dua tahun dengan status kontrak--sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Karuan saja kabar ini membuat keduanya terpukul. Siti--yang berusia lebih muda dari Pedri--syok berat. Pedri sendiri mengaku stres. Namun pasangan ini hanya punya dua pilihan: tetap bekerja dengan status magang, atau keluar menjadi pengangguran. Mereka pilih nomor satu karena butuh makan.
“Saya memilih magang karena bagaimanapun membutuhkan uang untuk hidup,” kata Pedri kepada reporter Tirto, 5 Mei lalu.
Perdi dan Siti tidak sendirian. Ada 100an orang yang statusnya diturunkan menjadi peserta magang. Salah satunya adalah Medy, rekan kerja Perdi, yang telah bekerja selama tiga tahun. Bedanya Medy menolak penurunan status itu. Kontrak baru tak ia teken, sebab baginya tak ada masa depan bagi para peserta magang.
“Ini namanya tidak adil. Kami bekerja sudah lama, kenapa jadi magang?” tanya Medy.
Meski tidak teken kontrak baru, pada hari pertama setelah pengumuman magang itu Medy tetap masuk kerja seperti biasa. Ia berangkat dari rumahnya pukul tujuh pagi. Perjalanan ke pabrik hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit dengan sepeda motor.
Di pintu gerbang pabrik terdapat daftar nama pekerja yang tidak dibolehkan masuk, mungkin semuanya sama seperti Medy, memilih untuk tidak meneken kontrak baru. “Ada nama saya, tapi saya tetap saja mau masuk.” Ia lantas dihadang petugas keamanan, lalu diusir. Medy pun pulang ke rumah kontrakannya dan tak pernah lagi kembali ke pabrik. Ia lalu menjelaskan semua masalah ini pada istrinya.
“Mau bagaimana lagi? Saya minta istri bersabar. Saya bilang mau memperjuangkan hak. Untuk sementara saya narik ojek online saja.”
Nasib Pedri pun tak jauh berbeda dengan Medy meski terpaksa meneken kontrak magang. Sebelum jadi peserta magang Pedri dan Siti rutin piknik saban akhir pekan, sebagaimana banyak pekerja lain. Kadang ke mal atau sekadar makan. Keduanya jalan-jalan dengan Avanza yang mereka cicil bersama.
Bila sakit mereka tak khawatir, sebab ada asuransi kesehatan yang dibayar perusahaan.
Semua ini berubah bahkan sejak bulan pertama berstatus peserta magang. Mereka tak lagi memperoleh jaminan sosial dan kesehatan. Yang paling parah dari itu semua adalah mereka tidak lagi mendapat gaji, tapi uang saku.
Semula masing-masing dari mereka mendapatkan upah Rp3,8 juta per bulan. Upah ini belum termasuk uang lembur--Rp100 ribu per lembur. Setelah dimagangkan, mereka hanya menerima uang saku Rp3 juta dan lembur Rp10 ribu per jam.
“Duit itu cuma cukup buat kebutuhan sehari-hari sama membayar cicilan. Itu pun sudah ngepres banget,” ujar Pedri.
Pedri semula memperkirakan uang sakunya dan istri masih cukup buat hidup. Ditambah lagi, ia masih bisa bekerja sebagai pengendara ojek online. Sayangnya dia salah perhitungan. Di bulan kedua menjadi peserta magang, kondisi keuangan keluarga semakin kacau. Mereka akhirnya harus melepas Avanza.
“Sebenarnya bisa buat cicil mobil, tapi enggak makan. Pilih mana? Bisa makan atau punya mobil? Akhirnya mobil saya lepas.”
Pedri dan istrinya semakin stres. Mereka melihat masa depan dengan suram. Jika terus menjadi peserta magang, impian mereka untuk membeli rumah dan membangun keluarga kecil bahagia tidak akan pernah terwujud. “Kayaknya bakal suram, dan terus ada yang selalu mengganjal di hati.”
Pada bulan kedua itu Pedri dan istri memutuskan untuk berhenti menjadi peserta magang. Melepaskan diri dari magang itu arti siap menghadapi banyak risiko, mulai dari kehilangan penghasilan hingga sulit mendapat pekerjaan baru.
“Daripada makan hati, lebih baik keluar saja. Ya pasti enggak dapat penghasilan lagi, hanya mengandalkan ojek. Sementara istri di rumah mertua. Saya sudah 30 tahun, gimana lagi mau cari kerja? Enggak mungkin bisa dapat kerja baru dengan usia setua ini, masak mau magang lagi tapi di tempat lain?”
Perdi lantas memutuskan untuk membawa kasusnya itu ke meja hijau bersama 41 kawannya sesama pekerja kontrak, termasuk Medy. Mereka lapor ke Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi karena merasa kebijakan perusahaan tidak sesuai dengan maksud program magang itu sendiri.
Program magang yang dideklarasikan pada 2016 bertujuan--setidaknya di atas kertas--menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kompetensi para pencari kerja. Pesertanya adalah para pencari kerja. Masa magang pun dibatasi paling lama hanya satu tahun. Ini semua tertera dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri.
Nurhidayah, Kepala Bidang HI Syaker Disnaker Kabupaten Bekasi, membenarkan memanga da pengaduan dari para buruh dari PT Suryasukses Adi Perkasa. Namun dia enggan merinci apa persisnya.
“Kalau sudah ada pengaduan tugas kami melanjutkan. Jadi kalau sudah tidak bisa lagi bipartit, ya kami yang menangani,” kata Nurhidayah kepada reporter Tirto.
HRD PT Suryasukses Adi Perkasa, Victor, menolak memberikan konfirmasi terkait kasus magang ini. “Pak Victor tidak bersedia diwawancara,” kata Heru, staf HRD PT Suryasukses lewat sambungan telepon.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Rio Apinino