Menuju konten utama

Eksploitasi Mahasiswa di Taiwan & Magang Rentan Jadi Perbudakan

Kerja magang tidak memiliki payung hukum yang kuat, sehingga siswa rentan dieksploitasi.

Eksploitasi Mahasiswa di Taiwan & Magang Rentan Jadi Perbudakan
Ilustrasi Magang Kerja. iStockphoto/Getty Images

tirto.id - Akhir Desember 2018, situs berita Taiwan News mengabarkan adanya ratusan mahasiswa Indonesia yang mengalami eksploitasi kerja di Taiwan. Dalam berita itu, legislator Kuomintang (KMT) Ko Chih-en mengatakan bahwa ada mahasiswa-mahasiswa dari negara New Southbound Policy (NSP) yang berkuliah di enam universitas di Taiwan dieksploitasi sebagai buruh.

New Southbound Policy (NSP) adalah sebuah kebijakan luar negeri yang dibuat oleh pemerintah Taiwan untuk memperkuat hubungan Taiwan dalam hal budaya, pendidikan, teknologi, pertanian, dan ekonomi dengan negara-negara di Asia, termasuk Indonesia.

Ko Chih-en juga mengatakan bahwa para mahasiswa itu hanya diizinkan untuk mengikuti perkuliahan dua kali seminggu, dan satu hari beristirahat. Setiap hari, mahasiswa tersebut diwajibkan bekerja selama 10 jam dan mengepak 30.000 lensa kontak.

Dalam kasus ini, Ko mengatakan ada 300 siswa berusia kurang dari 20 tahun terdaftar di Universitas Hsing Wu di Distrik Linkou, Kota New Taipei. Mereka berasal dari kelas internasional khusus yang masuk melalui Departemen Manajemen Informasi pada pertengahan Oktober 2018.

Seperti diberitakan Taiwan News, sebenarnya Menteri Pendidikan Taiwan telah melarang magang bagi mahasiswa tahun pertama, dan setelah tahun pertama, mereka tidak boleh bekerja lebih dari 20 jam per minggu. Namun, mereka mengaturnya dengan sistem kerja kelompok. Tiap hari Minggu hingga Rabu, mereka diangkut menggunakan bus pariwisata ke sebuah pabrik di Hsinchu.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Armantha Natsir mengatakan bahwa kantornya telah menerima laporan dari Kantor Dagang Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei terkait permasalahan yang dihadapi sejumlah mahasiswa Indonesia peserta kuliah magang di Taiwan.

Untuk menindaklanjutinya, Armantha menyampaikan bahwa saat ini KDEI Taipei telah berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk mendalami implementasi kuliah-magang yang telah dilakukan mulai tahun 2017 dan meminta otoritas setempat untuk memberikan perlindungan keselamatan mahasiswa peserta kuliah magang.

“Indonesia akan menghentikan sementara perekrutan serta pengiriman mahasiswa skema kuliah-magang hingga disepakatinya tata kelola yang lebih baik,” ujar Armantha kepada Tirto.

Hingga Senin (7/1/2019) ada 6.000 mahasiswa Indonesia berada di Taiwan, 1.000 diantaranya mengikuti skema kuliah-magang di 8 universitas yang masuk di Taiwan pada periode 2017-2018.

Mengapa Magang Diminati?

Tak heran jika ada banyak mahasiswa di luar negeri yang ikut serta dalam program magang. Hingga kini, magang masih diminati, apalagi pada lulusan baru yang merasa belum punya fondasi kokoh. Dalam artikel berjudul “Internship: Inevitable Career Step or Exploitation”, Nick Chodrey di The Guardian menulis bahwa para siswa menganggap bahwa magang bisa memberikan pengalaman berharga yang belum pernah mereka dapatkan.

Menurut Henrietta O’Connor dan Maxine Bodicoat dalam “Exploitation or Opportunity? Student Perceptions of Internships in Enhancing Employability Skills” (PDF), lulusan baru menjadikan magang sebagai masa transisi setelah menempuh pendidikan tinggi ke pekerjaan yang lebih kompleks. Makanya, perusahaan menawarkan kepada lulusan baru sebuah jalan untuk memperluas akses pekerjaan mereka.

Generasi muda di Australia bahkan ada yang bersedia melakukan apa pun demi memperoleh karier yang mereka inginkan meski tak dibayar. Artikel berjudul “Smart, Educated and Exploited: How ‘Internships’ Help Lock the Young Out of Jobs” yang ditulis Mike Newton di The Guardian menceritakan ihwal ini.

Alasannya, beberapa perusahaan menginginkan karyawan yang sudah berpengalaman dalam bidang yang sama setidaknya selama tiga tahun.

Sebenarnya, banyak perusahaan yang benar-benar menawarkan kesempatan magang yang baik bagi lulusan-lulusan baru, meski tanpa bayaran. Namun, tak sedikit pula perusahaan yang memanfaatkan untuk melakukan eksploitasi dengan mempersempit waktu istirahat mereka, serta bekerja overtime.

Bahkan tak jarang, peserta magang tak mendapatkan hal yang mereka harapkan. Masalahnya, pihak kampus tak banyak membantu memberikan jaminan kepada murid-muridnya.

Magang Bisa Meleset Jadi Perbudakan

Magang tanpa upah dan eksploitasi telah mendapat kecaman Organisasi Buruh Internasional (ILO). Seperti ditulis Andrew Stewart dalam artikel “Are Unpaid Internship Unlawful” di The Conversation, aktivitas itu mengancam standar perburuhan. Apalagi program itu tak memiliki payung hukum yang jelas.

Mekanisme pengawasan juga penting. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, kasus yang terjadi di Taiwan tersebut disebabkan karena tidak adanya kontrol terhadap proses penempatan.

“Proses magang itu di semua tempat itu blur, wilayahnya abu-abu karena memanfaatkan status magang. Bisa diupah tidak penuh, tapi jam kerja penuh. Ini saya kira wilayah abu-abu yang selalu dimanfaatkan untuk proses eksploitasi,” tutur Wahyu.

Infografik Magang Kerja

Infografik Magang Kerja

Untuk menyelesaikan masalah itu, Wahyu mengatakan seharusnya pemerintah Indonesia membentuk tim independen untuk memastikan adanya dugaan tersebut, karena skema kuliah magang memiliki kerentanan terjadinya eksploitasi. Tim itu terdiri dari tiga kementerian: Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Apalagi kata Wahyu, pemerintah Indonesia sudah pernah mengalami kejadian hampir serupa pada tahun 2016 lalu. Saat itu, 130 siswi SMA/SMK di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur mengalami perbudakan di Malaysia.

Kala itu, melalui bursa kerja di sekolah, ratusan siswa dijanjikan oleh PT Sofia bekerja di PT Kiss Produce dengan gaji 900 RM atau setara Rp3,1 juta. Namun, ternyata, mereka hanya dibayar Rp700 ribu sebulan. Jam kerja yang diterapkan pun tak manusiawi. Setiap hari mereka harus bekerja 14 jam, dengan uang lembur sebesar 50 sen.

“Habis sekolah langsung bisa kerja, habis lulus langsung bisa kerja. Itu yang selalu jadi iming-iming seperti itu. Padahal kriteria di Indonesia tidak hanya dia bekerja dapat upah, tapi juga ada jaminan, ada kepastian, tidak overtime seperti itu,” tuturnya.

Wahyu menyarankan pemerintah Indonesia untuk menutup permanen program magang atau bursa kerja kursus. Sebab hingga kini, pemerintah Indonesia belum memiliki kepastian terhadap jaminan sosial pekerja magang.

“Namanya magang, tidak ada kepastian apakah dia mendapatkan jaminan sosial seperti asuransi. Yang namanya magang juga enggak mungkin dapat gaji penuh, tapi juga dipastikan apakah selama dia magang itu jam kerja juga tidak penuh,” kata Wahyu.

Baca juga artikel terkait MAGANG atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani