tirto.id - Bak mencari jodoh, para pejuang kesehatan mental pasti paham betul sulitnya mencari tenaga kesehatan yang cocok dan memberi hasil terapi signifikan bagi mereka. Rasanya langka bisa menemukan konselor yang tepat hanya dalam satu kali sesi konseling.
Setidaknya begitulah yang dirasakan narasumber-narasumber kami. Pengalaman N.N. (29 tahun) misalnya, ia sudah pergi ke dua psikolog untuk membantunya membereskan depresi akibat perselingkuhan. Tapi baru pada kunjungan ketiga di psikolog yang berbeda ia merasa nyaman.
“Psikolog yang pertama kurang oke, mungkin karena belum menikah jadi belum punya perspektif berumah tangga. Terasa lebih pasif. Aku merasa kurang mendapat solusi,” katanya.
Saat itu N.N. memutuskan pergi ke psikolog karena merasa hancur setelah ia memergoki suaminya bermain aplikasi kencan. Tak cuma satu, tapi tiga aplikasi dengan serentetan pesan teks romantis kepada lawan jenis. Saat itu ia tengah hamil satu bulan.
Kepada N.N. sang suami mengaku salah dan meminta maaf. Singkat cerita mereka sepakat memperbaiki hubungan, namun ternyata luka perselingkuhan itu tak mudah hilang. N.N. selalu menyalahkan diri sendiri atas peristiwa itu, menangis setiap waktu, bahkan sempat terbesit bunuh diri.
Karena awam, N.N. tak melakukan seleksi saat pertama kali memilih psikolog. Ia mampir ke salah satu platform kesehatan mental yang menyediakan jasa konsultasi psikolog, membayar jasa, kemudian membuat janji tatap muka. Penyedia jasa memilihkan psikolog secara general.
“Saat itu hanya ditanya oleh admin, mau konsultasi masalah apa. Aku bilang masalah keluarga, dan mereka yang carikan konselornya,” ujarnya.
Karena merasa tak ada perbaikan, ia kembali mencari psikolog dari platform kesehatan mental lain. Kali ini N.N. menyeleksi konselornya, ia meminta daftar nama psikolog yang fokus menangani masalah keluarga. N.N. kemudian memilih satu nama psikolog laki-laki. Pikirnya, supaya punya sudut pandang dari lawan jenis.
Tebakannya benar, konselor kali ini memang memiliki perspektif sebagai seorang pria, tapi jadinya malah kurang berempati terhadap kondisinya sebagai perempuan. Sang psikolog seperti mengesampingkan faktor lain yang membuat N.N. tambah depresi, yakni kehamilan.
Untung pencarian ketiga N.N membuahkan hasil. Selain konsultasi pribadi, ia juga melakukan konsultasi bersama pasangan. Konselor terakhir N.N. membantu mereka memahami bahasa cinta masing-masing, berdamai dengan masalah, dan memperbaiki hubungan di masa depan.
“Ia tidak menghakimi saya atau suami, fokus saja menggali kebaikan dan hal-hal yang satu sama lain kami kurang suka. Ia banyak mendengarkan tapi juga menuntun pemecahan solusi,” ujar N.N.
Mengapa Sulit Menemukan Terapis yang Tepat?
Kisah lain dituturkan T.W. (27 tahun), pertengahan 2019 lalu ia pergi ke salah satu puskesmas yang menyediakan fasilitas kesehatan mental. Ia didiagnosis depresi tingkat menengah, selama tiga bulan masa pengobatan, T.W. tidak banyak berinteraksi dengan dokternya.
Aktivitas konsultasinya hanya berkisar menanyakan kabar, gejala kecemasannya, dan meresepkan obat. Tak ada obrolan timbal balik, persis konsultasi dokter umum di fasilitas kesehatan tingkat pertama--yang kita tahu selalu tergesa-gesa dan melakukan pemeriksaan alakadarnya.
“Suatu ketika dia bilang sama gue buat lawan rasa malas karena gue cerita jadi sering tidur dan makan, sementara kerjaan jadi terbengkalai. Di situ gue merasa terpukul, merasa percuma berobat, trauma untuk melanjutkan pengobatan,” tutur T.W.
Selama ini T.W. tak pernah mencari tahu latar belakang sang dokter, sampai kemudian ia mengetahui dokternya bukanlah psikiater ataupun psikolog, tapi dokter umum.
Kami yakin pengalaman bertemu terapis kesehatan mental yang mengecewakan dan tidak profesional bukan hanya dirasakan T.W. Mengapa sulit sekali menemukan konselor kesehatan mental yang bagus?
Seperti pengalaman N.N. dan T.W. butuh pengetahuan dasar mengenai latar belakang konselor dan pemahaman terhadap spesialisasi mereka. Lazimnya tiap konselor memiliki keahlian dalam menangani masalah tertentu.
Ada psikolog yang fokus pada isu keluarga, relationship, karier, tapi kurang ahli mendampingi kasus kekerasan seksual, begitu juga sebaliknya. American Psychological Association (APA) menyebut ada lebih dari 40 persen praktisi kesehatan mental yang punya pengalaman terapi kecemasan. Hanya 5 persen dari mereka yang fokus mengatasi kecanduan, dan 5 persen menangani gangguan obsesif kompulsif.
Konselor dengan spesialisasi tertentu punya pemahaman lebih baik dalam berkomunikasi, merespons, dan memberi terapi di bidangnya. Masalah lain yang membuat konsultasi kesehatan mental tidak maksimal adalah kekeliruan memilih tenaga kesehatan mental, biasanya antara psikolog dan psikiater.
Meskipun terlihat mirip, kedua profesi ini memiliki spesialisasi berbeda. Psikolog merupakan lulusan berlisensi di bidang psikologi. Mereka mendiagnosis gangguan mental dan dapat melakukan perawatan psikoterapi. Umumnya memiliki spesialisasi pada jenis masalah serta terapi tertentu, namun tidak dapat meresepkan obat.
Sementara psikiater adalah lulusan kedokteran yang mendiagnosis dan mengobati gangguan mental dengan obat-obatan. Tidak seperti psikolog, interaksi mereka dengan pasien lebih evaluatif dan terfokus pada pemilihan obat sesuai dengan gangguan.
Pilihan konselor tanpa pengetahuan dasar tersebut dapat menjadi cikal bakal terapi yang mengecewakan, tidak efektif, bahkan memperburuk masalah dan rasa putus asa, seperti pengalaman T.W.
Sebisa mungkin cari informasi sebanyak-banyaknya sebelum memilih layanan konsultasi. Setelah itu di tahap memulai pendaftaran pastikan lagi dengan memberi pertanyaan soal latar belakang konselor. Jangan sungkan untuk bertanya dan meminta respons balik saat berkonsultasi, ingat Anda membayar jasa dan berhak atas fasilitas tersebut.
Kerentanan Konselor Memengaruhi Terapi
Memiliki profesi sebagai tenaga kesehatan mental bukan berarti bebas dari tekanan hidup. Sama seperti kita, mereka individu biasa yang memiliki masalah pribadi, punya pemicu dan batas maksimal saat terpapar cerita dari permasalahan orang lain.
Tenaga kesehatan mental juga rentan menghadapi gangguan kesehatan jiwa karena dituntut menyeimbangkan kehidupan pribadi dengan profesional. Setiap hari mereka berinteraksi dengan beragam pasien dengan masalah berbeda, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap stres.
Survei oleh New Savoy menemukan bahwa 70 persen psikoterapis mengaku bahwa pekerjaan mereka membikin stres. Sebanyak 25 persen dari jumlah tersebut memiliki kondisi kronis jangka panjang, sementara 46 persen lainnya melaporkan depresi.
Tirto menanyakan langsung perihal kerentanan kerja ini kepada psikolog dan seksolog klinis, Zoya Amirin. Ia mengamini bahwa kasus-kasus yang ia tangani sedikit banyak berpengaruh pada kondisi mentalnya sebagai individu.
“Meskipun kita sudah diajarkan berempati, bukan bersimpati, melihat masalah klien lewat helicopter view, tapi namanya manusia perasaan ini kadang terguncang, sedih. Betul, banyak menahan diri dan air mata,” katanya.
Bagi Zoya, kekerasan seksual menjadi kasus yang paling menguras energi sebagai konselor kesehatan mental. Kelelahan emosional semacam ini jika tak ditangani secara serius akhirnya dapat berpengaruh pada proses terapi pasien.
American Psychological Association APA menyebut kerentanan emosi dari tenaga kesehatan mental berpeluang menjadi malpraktek, pemicu bunuh diri pasien, hilangnya kepercayaan pada terapi, salah diagnosa, gejala eksaserbasi (linglung, detak jantung cepat, ngantuk berlebihan), hingga rasa putus asa.
“Ya kita harus tahu kapan waktunya cukup untuk menampung, harus istirahat dan peka juga untuk menangani masalah pribadi.”
Zoya punya cara sendiri untuk mengantisipasi peluang kerentanan tersebut. Ia sengaja meluangkan waktu rehat sehari dalam seminggu untuk melakukan aktivitas yang ia suka, tanpa menyalakan gawai. Selain itu Zoya juga punya konselor yang ia bayar untuk menangani masalah pribadinya.
“Kalau kasusnya terlalu dekat dengan kehidupan kita, saya memilih tidak ambil karena kalau memaksakan takut jadi sensitif dan kurang objektif. Jadi biasanya akan saya alihkan ke yang lain.”
Editor: Irfan Teguh Pribadi