Menuju konten utama

Kiara Ingatkan Soal Perbudakan Modern di Sektor Perikanan

Kompleksnya praktik perbudakan modern ini bukan hanya melibatkan industri perikanan yang besar, namun juga erat kaitannya dengan penangkapan ikan ilegal serta perdagangan manusia.

Ilustrasi. Seorang nelayan beraktivitas di atas kapal bantuan dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (9/11/2017). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra.

tirto.id - Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menginginkan agar sejumlah pemerintahan di Asia Tenggara (ASEAN), khususnya Indonesia benar-benar serius dalam melawan fenomena "perbudakan" modern di sektor kelautan dan perikanan.

“Tidak banyak yang tahu bagaimana cerita dan proses di balik makanan laut yang tersedia di meja makan mereka. Terungkapnya kasus perbudakan modern di Benjina menjadi titik poin penting bagi negara-negara di ASEAN untuk serius dalam menyelesaikan isu praktik perbudakan modern dalam sektor perikanan,” kata Susan dalam keterangan tertulis, Minggu (19/11/2017).

Susan yang juga menjabat sebagai Koordinator Regional Keadilan Perikanan Asia Tenggara (Seafish for Justice) mengemukakan, kasus perbudakan di Benjina, Maluku Tenggara hanya menjadi salah satu kasus perbudakan dari modern dari banyaknya praktik-praktik perbudakan modern di Asia Tenggara.

Menurut Susan, kompleksnya permasalahan praktik perbudakan modern ini bukan hanya melibatkan industri-industri perikanan yang besar, namun juga isu ini sangat erat kaitannya dengan permasalahan aktivitas penangkapan ikan ilegal serta perdagangan manusia.

Karena itu, kata Susan, Seafish for Justice mendorong negara-negara di Asia Tenggara untuk segera meratifikasi konvensi ILO No.188 tentang Pekerja di Sektor Perikanan, jika ingin menyudahi perbudakan modern di Asia Tenggara.

Pada tahun 2016, Susan menuturkan, Seafish for Justice mengadakan riset tentang pekerja perikanan dan menemukan fakta bahwa pekerja perikanan rentan menjadi korban pelanggaran HAM berat.

Berdasarkan hasil riset tersebut, Seafish for Justice menemukan fakta bahwa pekerja perikanan harus bekerja lebih dari 17 jam, terpaksa memakan makanan kadaluarsa, terikat kontrak yang merugikan pekerja, dan mendapatkan gaji di bawah standard upah minimum pekerja.

Susan berpendapat, butuh keseriusan dari setiap negara Asia Tenggara untuk menyudahi praktik perbudakan di atas kapal perikanan melalui ratifikasi konvensi ILO No 188.

“Kita harus bersolidaritas dan bekerja sama menyudahi praktik perbudakan di atas kapal perikanan,” kata dia.

Baca juga artikel terkait SEKTOR PERIKANAN

tirto.id - Sosial budaya
Sumber: antara
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz