Menuju konten utama

Keyakinan Berbuah Kekayaan para Teknopreneur

Perkembangan dunia teknologi yang sangat pesat turut membawa para inovator menangguk kekayaan bernilai luar biasa. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, para miliarder teknologi mulai menghiasi berbagai daftar orang terkaya dunia. Apa resep kesuksesan mereka?

Keyakinan Berbuah Kekayaan para Teknopreneur
Pendiri dan CEO Facebook Mark Zuckerberg bersama Pendiri dan Ketua Eksekutif Alibaba Group Jack Ma di Beijing, Cina, 19 Maret 2016. [Foto/Reuters/Shu Zhang]

tirto.id - Dunia teknologi seakan menjadi tanah terjanji yang selama ini ditunggu-tunggu oleh manusia. Di tangan para pengguna, teknologi seakan menerabas batas dan mengubah cara kita berhubungan dengan orang lain. Sementara itu, bagi para penciptanya, “janji” itu terwujud dalam bentuk lebih nyata nan manis : kekayaan.

Hal itu bisa kita saksikan dari daftar-daftar orang terkaya dunia. Sebagian besar penghuni daftar tersebut dihiasi dengan para inovator teknologi. Nama-nama seperti Jeff Bezos, Mark Zuckerberg, Elon Musk, dan Sergey Brin telah begitu lekat di telinga kita.

Riset yang dilakukan oleh Bussiness Insider bekerja sama dengan Wealth-X pada 2016 mengungkapkan bahwa 25 persen dari 50 orang terkaya versi mereka datang dari perusahaan teknologi.

Sementara itu, dari daftar 10 besar Orang Terkaya Dunia 2016 versi Forbes, empat orang berasal dari industri teknologi: Bill Gates dari Microsoft di posisi 1 dengan kekayaan 75 miliar dolar AS, Jeff Bezos dari Amazon (posisi 5; 45,3 miliar dolar AS), Mark Zuckerberg dari Facebook (posisi 6; 44,6 miliar dolar AS), dan Larry Ellison dari Oracle (posisi 7; 43,6 juta dolar AS).

Komposisi hampir sama juga ditunjukkan oleh Bloomberg Billionaires Index (BBI). Daftar ini menempatkan Bill Gates di posisi 1, Jeff Bezos (#3), Mark Zuckerberg (#5), dan Larry Ellison (#9). Beberapa tingkat di bawahnya, muncul nama duo Google, Larry Page dan Sergey Brin, yang saling beriringan di posisi 11 dan 12. BBI turut mencatat, sejumlah 18 miliuner yang berhasil masuk ke 100 orang terkaya dunia versi mereka datang dari industri teknologi.

Salah satu hal menarik dari para inovator teknologi ini adalah status bisnis mereka yang didirikan sendiri (self-made). Bill Gates, Jeff Bezos, Mark Zuckerberg hingga duo Larry Page-Sergey Brin telah merintis usaha mereka sejak masih berstatus mahasiswa—seringkali dalam kondisi serba prihatin seperti menggunakan garasi rumah sebagai kantor. Hal ini berbeda dengan beberapa miliuner lainnya seperti kakak-beradik Charles dan David Koch (# 9 dan #10 versi Forbes) yang sebagian kekayaannya berasal dari warisan (inheritance).

Para miliuner dari bidang teknologi juga cukup banyak menghiasi daftar orang kaya termuda. Masih dari daftar Forbes, nama-nama miliuner termuda juga dipenuhi oleh pengusaha teknologi. Beberapa nama di antaranya adalah Evan Spiegel (26 tahun) dan Bobby Murphy (28 tahun) dari Snapchat, selain tentu saja duo Mark Zuckerberg-Dustin Moskovitz (32 tahun) dari Facebook.

Melesatnya kekayaan para pengusaha teknologi ini—meskipun telah dirintis sejak lama—namun relatif merupakan fenomena baru. Hal ini berjalan seiring dengan pesatnya pertumbuhan industri teknologi dalam kurun waktu sedekade terakhir.

Bloomberg mencatat, pada awal 2015, Mark Zuckerberg hanya berada nomor 13 dari daftar orang terkaya dengan kekayaan sebesar 34,5 juta miliar dolar AS. Pada waktu bersamaan, Jeff Bezos bertengger di nomor 20 dengan kekayaan sebesar 28,6 miliar dolar AS. Semuanya berubah seketika saat memasuki 2016. Zuckerberg mampu menambah hartanya hingga sebesar 7,9 miliar dolar AS per Juli 2016. Bezos bahkan mampu melesat mengungguli Warren Buffet dan tercatat sebagai orang terkaya ketiga versi Bloomberg pada Juli 2016.

Menuai Hasil untuk Keyakinan

Dunia teknologi memang sedang memberikan kemewahan bagi mereka yang mampu melihat masa depan. Mereka sudah merintisnya sejak beberapa tahun lalu, ketika banyak orang masih tidak yakin akan bagaimana teknologi akan bekerja bagi manusia. Salah satunya adalah Jack Ma. Ia sebelumnya hanyalah seorang guru bahasa Inggris. Intuisinya mampu melihat hal yang akan besar di masa depan: e-commerce. Melihat jumlah penduduk yang besar, dan perekonomian Cina yang sedang melaju, Jack Ma berhasil mempertemuan produsen dan konsumen melalui situs e-commerce buatannya.

Demikian pula Jeff Bezos melalui Amazon. Karier suksesnya sebagai bankir ternyata tak mampu memuaskan hasratnya untuk merintis bisnis e-commerce. Awalnya, banyak yang tidak yakin dengan apa yang dirintis oleh Bezos itu. Namun, ia mampu menunjukkan bahwa pesimisme mereka tidak beralasan. Amazon kini adalah e-commerce nomor satu di dunia. Usaha Bezos terbayar dengan pundi-pundi kekayaan dan kesuksesan.

Lain lagi dengan Elon Musk. Melalui Tesla dan Space X, Elon Musk ingin "membeli" masa depan umat manusia. Ia membantu mewujudkan mimpi manusia dengan mobil listrik dan jalan-jalan keluar angkasa. Ia merasa yakin bahwa apa yang dirintisnya akan menjadi masa depan umat manusia ke depannya.

Banyak lagi para teknopreneur yang menuai hasil dari keyakinannya. Di tengah pesimisme, mereka tetap membangun mimpi meski melalui jalan yang berliku. Tak hanya itu, mereka mampu mendobrak dunia dengan cara yang unik.

Etos Kerja Unik Perusahaan Teknologi

Keberhasilan para inovator teknologi dalam menangguk pundi-pundi keuntungan bagaikan sebuah kisah manis yang diimpikan banyak orang. Mereka merintis usahanya sejak muda, berkolaborasi dengan sahabat dekat, seringkali diawali dengan bermain-main, menuai sukses besar, dan akhirnya menjadi kaya dalam usia muda. Gambaran seperti itu memang menggoda, tetapi pertanyaan paling besar harus diajukan : apa sebenarnya kiat sukses mereka?

Profesor Yossi Feinberg dari Stanford University punya jawabannya. Dengan mengambil contoh dari kesuksesan perusahaan-perusahaan teknologi di Silicon Valley, ia mengajukan tiga kunci sukses perusahaan teknologi : target yang jelas, sistem pengambilan keputusan yang solid, serta mengedepankan mentalitas “should-do” daripada “can-do”.

Target yang jelas, menurut Feinberg, dapat membantu para perusahaan untuk keluar dari melimpahnya ide-ide tanpa adanya realisasi nyata. Sistem pengambilan keputusan berguna untuk menjamin target tercapai di tengah berbagai tekanan. Sementara itu, mentalitas “should-do” akan berguna untuk menentukan model bisnis yang paling tepat untuk perusahaan.

Perusahaan raksasa teknologi seperti Google juga tidak pernah lupa untuk memikirkan para pekerjanya. Mereka ingin supaya para pekerja tidak kehilangan sisi manusiawi mereka lewat pola kerja yang nyaris seperti mesin. Untuk itu mereka merancang sebuah konsep kantor yang sangat fleksibel.

Para pekerja di Google diperbolehkan untuk merancang sendiri meja kerja mereka. Kreativitas mereka dapat dituangkan sebebas mungkin tanpa ada batasan dari Google. Selain itu, Google juga selalu menyiapkan beragam makanan kecil di hampir tiap sudut kantor.

“Kami berusaha untuk menembus batasan-batasan yang biasanya meliputi sebuah kantor,” jelas juru bicara Google, Jordan Newman, kepada New York Times. Lewat strategi ini, Google sekaligus menyasar para fresh graduate berusia muda yang lebih tertarik dengan suasana kerja yang informal. Para lulusan baru inilah yang selanjutnya akan menyuplai perusahaan dengan beragam inovasi dan terobosan baru sekaligus energi kerja yang tinggi.

Google, Facebook, Microsoft, Amazon, Tesla, Alibaba, Snapchat, merupakan segelintir bukti bahwa inovasi tanpa henti, disertai dengan keyakinan terhadap pertumbuhan di masa depan, tidak akan mengkhianati hasil.

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Teknologi
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti