tirto.id - Peneliti Center of Reform on Economics (CORE Indonesia), Yusuf Rendy Manilet, menyoroti adanya ketimpangan antarwilayah dalam data kemiskinan yang baru dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurut dia, kenaikan angka kemiskinan di beberapa provinsi, seperti Sumatra Utara, Jakarta, Kalimantan Utara, dan sejumlah wilayah di Papua, menunjukkan bahwa perbaikan ekonomi belum dirasakan secara merata.
"Wilayah-wilayah yang sudah tertinggal malah makin tertinggal, dan kota-kota besar menghadapi tekanan struktural dari sisi ketenagakerjaan dan biaya hidup," ungkap Rendy lewat pesan singkat kepada Tirto, Sabtu (26/7/2025).
Ia mengaku khawatir perihal kemiskinan yang terjadi sekarang bukan hanya soal jumlah, tetapi juga terkait penurunan kualitas hidup. Musababnya, data menunjukkan bahwa indeks kedalaman kemiskinan meningkat.
Menurut BPS, pada Maret 2025, Indeks Kedalaman Kemiskinan sebesar 1,365, meningkat dibandingkan September 2024 yang sebesar 1,364 dan menurun dibandingkan Maret 2024 yang sebesar 1,461.
"Artinya, mereka yang miskin kini semakin jauh dari garis kemiskinan. Ini diperkuat dengan perubahan pola konsumsi mereka: pengeluaran untuk makanan meningkat proporsinya, sementara untuk protein hewani dan kebutuhan non-makanan justru menurun," ujar Rendy.
Itu artinya, daya beli mereka makin tergerus oleh inflasi pangan, dan mereka terpaksa beradaptasi dengan konsumsi yang rendah gizi hanya untuk bertahan hidup.
Sementara itu data BPS menunjukkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 sebanyak 23,85 juta orang, setara 8,47 persen dari total penduduk pada September 2024. Angka itu turun 0,10 persen atau sekitar 200 ribu orang, jika dibandingkan dengan September 2024 yang mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 24,06 juta orang atau 8,57 persen dari total penduduk.
Selain terendah selama dua dekade terakhir, jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 juga mengalami penurunan, setelah sempat melonjak pada September 2022 lalu. Saat itu, sebanyak 26,36 juta orang atau setara 9,57 persen dari total penduduk masuk dalam kategori miskin.
Jika dirinci, jumlah penduduk miskin di perkotaan pada Maret 2025 sebesar 6,73 persen, naik dari posisi September 2024 yang hanya sebanyak 6,66 persen. Sementara itu, jumlah penduduk miskin di pedesaan turun dari September 2024 sebanyak 11,34 persen menjadi 11,03 persen.
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut Garis Kemiskinan.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id

































