tirto.id - Pemilu 1955 yang dianggap sebagai pemilu paling demokratis, nyatanya menghasilkan berbagai ketidakpuasan. Besarnya jumlah partai menyebabkan kerawanan politik. Akibatnya, seperti ditulis Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962: 464), setiap kabinet terpaksa bersandar pada koalisi yang menghimpun berbagai partai. Hal ini menyebabkan terbentuknya pemerintahan yang lemah dan tidak berlangsung lama.
Sejak tahun 1950 hingga 1956, tidak kurang dari lima kabinet koalisi berturut-turut memegang pemerintahan, dan ini menandakan periode parlementer sebagai “urutan krisis kabinet yang tak putus-putus,” kata Bernard Dahm dalam History of Indonesia in the Twentieth Century (1971: 160). Keadaan ini, imbuh Herbert Feith, merusak kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, partai-partai politik, dan parlemen, yang dianggap hanya memikirkan kepentingan sendiri dan mengorbankan kepentingan umum.
Pemilu 1955 tidak membawa perubahan pada kebobrokan tersebut. Jumlah partai dan golongan politik yang sangat besar dalam parlemen yang baru dipilih tidak berkurang. Pemenang empat besar pada pemilu 1955 yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak ada yang menguasai mayoritas untuk membentuk pemerintahan sendiri. Akibatnya, kabinet dibentuk atas dasar tawar-menawar politik.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II hasil pemilu 1955, yang dibentuk atas koalisi PNI-Masyumi-NU, menegaskan ketidakpuasan masyarakat. Meski didukung oleh lebih dari 60 persen anggota parlemen hasil pemilu, tetapi kabinet ini terlalu lemah untuk menangani pelbagai masalah yang dihadapinya. Ketika Masyumi menarik menteri-menterinya karena terjadi ketidaksepakatan, koalisi pun bubar, dan Kabinet Ali Sastroamidjojo II tak bisa diselamatkan. Menurut Daniel S. Lev dalam The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959 (1966: 11), jatuhnya kabinet ini “menandakan berakhirnya pemerintahan parlementer di Indonesia.”
Pada 21 Februari 1957, di hadapan para pemimpin partai politik, Panglima Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian, Presiden Sukarno mengumumkan konsepsi politik "Demokrasi Terpimpin". Konsep ini terdiri dari dua bagian: pertama, pembentukan sistem pemerintahan baru, yakni kabinet gotong royong yang akan memasukkan semua partai yang diwakili Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); kedua, pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari wakil-wakil “golongan fungsional” yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.
Sebelum mengumumkan konsep ini, Sukarno menunjukkan antipatinya terhadap sistem politik yang berlaku. Pada Oktober 1956, dia menyatakan bahwa semua partai politik sebaiknya dikubur karena merupakan sumber “penyakit” yang menyebabkan perpecahan bangsa. Sukarno juga mengusulkan Indonesia cukup memiliki satu partai massa tunggal, seperti yang dia saksikan dalam kunjungannya ke Uni Soviet dan Cina,
Juga pada November 1956, dalam pelantikan Konstituante, Sukarno menyatakan bahwa Indonesia memerlukan sistem politik baru yang sesuai dengan tradisi Indonesia. Menurutnya, sistem demokrasi parlementer Barat tidak cocok dengan “jiwa dan kepribadian rakyat Indonesia”. Konsep oposisi yang menjadi hakikat Barat, imbuhnya, merupakan penyebab kerawanan politik.
Sukarno kemudian menyebut peribahasa Belanda: Alle leden van de familie aan de eettafel en aan de werktafel, artinya "semua anggota keluarga di meja makan dan di meja kerja"--ini mencerminkan cita-cita perihal negara kekeluargaan, yang mengilhami pemikiran Soepomo tentang negara integralistik. Pemikiran ini juga memainkan peran yang amat penting dalam perdebatan Konstituante mengenai Dasar Negara.
Herbert Feith dan Lance Castle dalam Indonesian Political Thinking 1945-1965 (1970: 83-89), menjelaskan bahwa Dewan Nasional--sebagai bagian dari Konsepsi ini--akan dibentuk dari wakil-wakil rakyat seluruh Indonesia, terutama “golongan-golongan fungsional” seperti buruh, petani, cendekiawan, tokoh agama, wakil perempuan, pemuda, generasi 1945, pengusaha nasional, dan angkatan bersenjata.
Sebagai pemimpin populis, Sukarno mempunyai obsesi untuk menjadi pemimpin seluruh bangsa dan menjadi juru bicara yang sanggup mengungkapkan ketidakpuasan umum yang terjadi di mana-mana. Konsep Sukarno tentang Demokrasi Terpimpin dapat dianggap sebagai seruan dan sekaligus saluran bagi keluhan dan aspirasi rakyat Indonesia pada periode itu. Secara eksplisit Sukarno menyebut tiga unsur dari konsepsinya, yakni: (1) anti-demokrasi liberal; (2) kembali ke kepribadian Indonesia; dan (3) meneruskan revolusi.
Jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang disusul dengan pemberlakuan hukum darurat perang, memberi kesempatan bagi Sukarno untuk meneruskan konsepnya tentang Demokrasi Terpimpin. Pelbagai batasan yang menghambatnya sebagai presiden konstitusional yang tidak memegang kekuasaan eksklusif telah berhasil diterobos. Sejak saat itu, Sukarno mengabaikan prosedur konstitusional, memperkuat kekuasaan eksekutif, dan menegakkan kembali “legalitas revolusioner”.
Pertama-tama, Sukarno menunjuk Suwirjo, ketua PNI, untuk membentuk kabinet yang sesuai dengan pemikiran Sukarno mengenai kabinet gotong royong, yang memberi tempat bagi keempat partai terbesar (PNI, Masyumi, NU, dan PKI). Namun ketika Suwirjo gagal membentuk kabinet gotong royong, Sukarno mengangkat dirinya sendiri sebagai warga negara "biasa" menjadi formatur untuk membentuk kabinet zaken--kabinet yang terdiri dari para ahli dan bukan representasi partai politik.
Kabinet Djuanda dan Dewan Nasional
Tindakan Sukarno banyak menuai kecaman, termasuk dari Masyumi yang menolaknya karena dianggap tidak konstitusional. Akan tetapi, protes ini tidak berpengaruh karena Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro, membenarkannya sebagai tindakan pemerintah dalam keadaan darurat perang yang bisa saja menyimpang dari konstitusi.
Pada 9 April 1957, tepat hari ini 64 tahun lalu, Sukarno membentuk kabinet yang diketuai oleh Djuanda Kartawidjaja. Menurut Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin dalam Subversi sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia (1997: 83), Djuanda adalah tokoh yang tidak terikat pada partai manapun dan sebelumnya telah beberapa kali menjadi menteri.
Walaupun kabinet ini tidak memperoleh kepercayaan dari parlemen, tetapi partai-partai besar mendukungnya. Hanya Masyumi, Partai Katolik, dan Partai Rakyat Indonesia yang secara terbuka menentangnya. Posisi parlemen kemudian menjadi sangat lemah. Pemerintah tidak lagi dapat dijatuhkan karena Presiden Sukarno dan Angkatan Bersenjata pada hakikatnya telah menempatkan diri sebagai kekuasaan independen di luar kendali parlemen.
Menurut Adnan Buyung Nasution dalam Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (1995: 307), pada 6 Mei 1957, berbekal Undang-Undang Darurat No. 7/1957, Kabinet Djuanda membentuk Dewan Nasional yang dipimpin oleh Presiden Sukarno dan Roeslan Abdulgani yang masing-masing sebagai ketua dan wakil ketua.
Terdapat tiga tujuan pokok Dewan Nasional. Pertama, memperkuat wewenang lembaga eksekutif, khususnya kabinet, dengan mengaitkannya dengan wibawa Presiden Sukarno. Kedua, menyediakan forum dan prosedur kelembagaan bagi Sukarno untuk memperoleh dukungan politik dalam kaitannya dengan kekuatan-kekuatan politik lain. Ketiga, Dewan Nasional yang beranggotakan wakil-wakil golongan fungsional, dimaksudkan sebagai penyeimbang sistem partai.
Menurut Farabi Fakih dalam Authoritarian Modernization in Indonesia’s Early Independence Period The Foundation of the New Order State 1950-1965 (2020), selain berfungsi mendampingi dan memberi marwah kabinet, Dewan Nasional juga sebagai jembatan antara masyarakat dengan pemerintah.
Ketika pergolakan di daerah semakin kuat dan keadaan ekonomi semakin kacau akibat situasi politik yang tidak stabil, Dewan Nasional mengusulkan agar mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) sebagai upaya menghindari perpecahan nasional dan menyelesaikan masalah antara pusat dengan daerah.
Sayangnya, Munas yang berlangsung pada 9-14 September 1957 di Jakarta ini belum menciptakan kerukunan nasional, karena wakil-wakil daerah lebih menekankan pada masalah pemulihan kepemimpinan Dwitunggal Sukarno-Hatta. Namun upaya tersebut sia-sia karena perbedaan pandangan dan sikap kedua pemimpin itu sudah terlalu jauh.
Setelah gagal di Munas, upaya masih terus berjalan dengan digelarnya Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Namun lagi-lagi berakhir dengan tiada arti. Hal ini justru malah menyulut pembangkangan daerah-daerah kian memuncak.
Menurut Audrey R. Kahin dalam Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity, 1926-1998 (1999), para panglima pemberontak di Sumatra dan Sulawesi bertemu dengan para pemimpin politik seperti Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan tokoh lainnya pada Januari 1958. Mereka berencana membentuk pemerintahan alternatif. Sjafruddin ditunjuk sebagai Perdana Menteri.
Mereka lantas menuntut agar Kabinet Djuanda dibubarkan dan membentuk kabinet kerja nasional yang akan bekerja sampai pemilu mendatang. Namun usul itu tak digubris. Mereka akhirnya membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Arkian, perdebatan tatanan ideologi terus berlangsung. Sampai akhirnya Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang akan memberlakukan kembali UUD 1945. Hal ini membuat Kabinet Djuanda yang berdiri di atas konstitusi UUD Sementara 1950 otomatis bercempera.
Editor: Irfan Teguh