Menuju konten utama

Kesaksian Warga dan Sejarah Masjid Berkubah Emas

Dian Djuriah Rais telah berpulang, tetapi kisah tentang Masjid Kubah Emas selalu melekat diingatan warga. 

Kesaksian Warga dan Sejarah Masjid Berkubah Emas
Pekerja merapikan tanaman di taman depan Masjid Dian Al Mahri atau dikenal dengan Masjid Kubah Emas di Jalan Raya Maruyung, Depok, Jawa Barat, (26/1/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Bang Mul (43) masih ingat betul ketika Dian Djuriah Rais dan bapaknya berbincang-bincang di ruang tamu rumahnya di Meruyung, Depok, Jawa Barat. Ketika itu tahun 1995, bapaknya masih menjabat sebagai ketua Rukun Tetangga 01/0, Kelurahan Meruyung.

Saat itu, Bang Mul masih tercatat sebagai siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan ia tak jelas benar dengan isi perbincangan dua orang yang lebih tua darinya itu. Ia hanya sedikit tahu, bahwa akan ada masjid yang akan dibangun tepat di atas rawa yang biasa ia jadikan tanding sepak bola saat sore hari.

"Di sana itu dulunya rawa-rawa. Orang-orang sini nyebutnya Rawa Cina," ujarnya ketika saya temui di Meruyung, Depok, Jumat (29/3/2019).

Ia tak paham betul kenapa lokasi tersebut diberi nama Rawa Cina. Sudah sejak turun temurun warga lokal menamainya demikian.

Sekitar tahun 1997, barulah Bang Mul paham dengan apa yang akan terjadi dengan Rawa Cina tersebut. Sebuah masjid megah dengan kubah berlapis emas akan menggantikan lahan bermainnya.

"Saya juga lihat itu siapa yang ngerjain [kubah emas masjid]. Orang bule, dari Italia. Kalau kerja pakai celana pendek terus oblongan. Tinggalnya di apartemen, kalau pagi, ada yang antar lagi ke sini," tuturnya.

Masjid itu rampung pada 2006, diberi nama Masjid Dian Al Mahri, pemiliknya adalah Dian Djuriah Rais binti Muhammad Rais.

"Karena pertama datangnya ke rumah, Bu Dian kalau lagi ke masjid suka mampir ke rumah saya," ujarnya.

Bang Mul yang kini berjualan rokok di jalan akses masuk II masjid, juga sering diundang ke rumah kedua Dian Djuriah Rais, yang bertepat persis di seberang utara Masjid Kubah Mas.

"Apalagi kalau lagi lebaran, Bu Dian suka open house. Orang sini pada ke rumah dia. Berjejer, ngantre. Pulang-pulang lumayan bawa amplop isi cepe [Rp 100 ribu]," ujarnya.

Lanjutnya, "kadang malah kita [Bang Mul dan keluarga] yang diundang ke rumahnya [Dian yang pertama] di Petukangan."

Kehadiran Masjid Membawa Berkah

Kemunculan Masjid Dian Al Mahri pada 2006 membawa berkah bagi warga sekitar. Termasuk bagi Mpok Arya (43) yang sudah menetap di daerah tersebut sejak 1976.

Ketika Masjid pertama kali dibuka untuk umum, tak terbayangkan olehnya bahwa Soto Betawi dagangan Ibunya akan laris manis.

Satu momen yang tak terlupakan baginya, ketika K.H. Zainuddin MZ menjadi penceramah di Masjid Kubah Mas. Parkiran penuh dan dagangannya laris manis.

"Waktu itu saya masih bantu Ibu. Orang [pembeli] kayak enggak habis-habis. Baru selesai nyuci [piring], eh ada lagi yang mau makan," ujarnya pada Tirto.

Kala itu, pendapatannya naik drastis. Saking naiknya, ia tak bisa menyebutkan nominalnya.

"Pokoknya uang itu pada ngampar [tergeletak begitu saja] nih di meja," ujarnya.

Sejak 2009, Mpok Arya mengambil alih usaha Soto Betawi milik Ibunya tersebut. Sejak itu pula, menurutnya dagangannya tak selaris dulu.

Penurunan pendapatan tersebut, ditaksir lantaran intensitas pengajian di Masjid Kubah Emas yang tak sesering dulu.

"Sekarang ramainya kalau lagi Maulid Nabi, atau enggak Sabtu Minggu. Hari biasa mah, kayak begini, sepi," tuturnya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MASJID atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Alexander Haryanto