tirto.id - Menonton drama mikro atau yang populer di kalangan masyarakat Indonesia sebagai Drama Cina (dracin), menjadi candu baru bagi Bintang (30). Hampir di setiap waktu, saat berada di perjalanan pulang-pergi kantor, makan siang, hingga sesaat sebelum tidur, dirinya seakan tak bisa lepas dari layar ponsel yang menampilkan drama tersebut.
“Awalnya nonton cuplikan-cuplikan videonya di Tiktok. Dari sini mulai tertarik sama alur ceritanya. Lama-lama kepancing, mau gak mau, kaya download platform video berbayar gitu buat nonton episode-episode selanjutnya,” ujarnya saat dihubungi langsung oleh Tirto, Senin (27/10/2025).
Berbeda dengan film, yang biasanya berdurasi 1-2 jam, Bintang menyebut durasi tayangan drama yang cenderung singkat, membuat pengalaman menonton terasa ringan dan tak memberatkan. Selain itu, ia menyebut faktor yang membuatnya menjadi ketagihan untuk menonton mikro drama ada pada alur ceritanya.
Menurutnya, kekuatan utama alur cerita dracin terletak pada kemampuannya menghadirkan cerita yang menggambarkan dunia yang ”ideal” bagi penonton.
“Banyak orang di kehidupan nyata hidupnya berat dan berkhayal bisa hidup kaya di dalam drama-drama itu. Drama Cina menyuguhkan itu, menyuguhkan kemakmuran buat orang yang di real life-nya agak sengsara, menyuguhkan cinta dan ekspektasi yang kebanyakan orang gak bisa dapetin. Itu yang bikin kita jadi candu nontonnya,” ceritanya.
Bintang tak sendiri, laporan The Micro-Drama Economy 2025 yang dirilis oleh Media Partners Asia (MPA) menunjukkan bahwa industri drama mikro mulai berkembang pesat di kawasan Asia Tenggara. Total pendapatan pada tahun 2025 saja diperkirakan mencapai 189 juta dolar Amerika Serikat (AS).
Indonesia tercatat sebagai pasar terbesar di kawasan ini. Dengan proyeksi pendapatan 66 juta dolar AS pada tahun 2025, diperkirakan nilainya akan meningkat menjadi 311 juta dolar AS pada tahun 2030.

Pertumbuhan Pesat Global
Drama mikro atau yang dalam bahasa mandarin disebut “duanju” umumnya berdurasi antara satu setengah menit sampai dua menit tiap episodenya. Genre ini awalnya populer di Tiongkok karena memanfaatkan tren video pendek yang berkembang pesat melalui aplikasi seperti Douyin dan Kuaishou.
Tak hanya berkembang di Asia Tenggara, kepopuleran drama mikro juga telah merambah ke tingkat global. Di negara asalnya, Tiongkok, industri drama mikro terus menunjukkan tren pertumbuhan yang sangat pesat.
Laporan berjudul "The Development of China’s Micro Drama Industry" (2024) memprediksi perkembangan signifikan industri ini. White paper yang dirilis oleh China Netcasting Services Association mencatat, nilai pasar drama mikro diperkirakan akan melampaui total pendapatan box office film di daratan Tiongkok pada tahun 2024. Nilai pasar tersebut mencapai 50,44 miliar yuan atau sekitar 6,9 miliar dolar AS, meningkat 34,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, berdasarkan Laporan Statistik ke-54 tentang Perkembangan Internet Tiongkok yang diterbitkan oleh China Internet Network Information Center (CNNIC), jumlah penonton drama mikro di Tiongkok telah mencapai 576 juta orang per Juni 2024. Angka ini setara dengan sekitar 52,4 persen dari total pengguna internet di negara tersebut, lansir Global Times.
Dari sisi produksi, pertumbuhan industri dracin juga sangat pesat. Laporan Tencent News, tahun 2024, seperti yang dikutip dari China Daily, menyebut ada lebih dari 3.000 drama mikro telah diproduksi atau dijadwalkan tayang sepanjang tahun tersebut. Dari jumlah tersebut lebih dari 700 judul telah dirilis secara daring.
Tak hanya itu, dari sisi bisnis, industri ini pun mengalami ekspansi besar. Terdapat 16.100 perusahaan baru yang bergerak di bidang produksi dan distribusi drama mikro terdaftar sepanjang tahun 2024. Jumlah ini meningkat sekitar 80 persen dibandingkan tahun 2023.
Kesuksesan drama mikro juga merambah Amerika Serikat. Data dari Sensor Tower, sebut CNBC menunjukkan aplikasi ReelShort, DramaBox, dan GoodShort menjadi aplikasi drama mikro yang paling banyak diunduh di AS pada tahun 2025. Pangsa pasar tiga aplikasi itu mencapai 50 persen.
Mengapa Drama Mikro Kian Populer?
Profesor dari East China University, Tang Yonghua, menyebut pergeseran pola konsumsi media menjadi faktor utama di balik kepopuleran drama mikro. Salah satu daya tarik utama drama mikro adalah, “kepuasan emosional instan,” yang ditawarkannya. Alih-alih mengeksplorasi konflik batin tokoh utama, drama mikro menyajikan karakter dengan kepribadian yang konsisten dan emosi yang sederhana.
“Beberapa drama berlatar masa lampau menampilkan kisah, 'mendadak sukses lalu kembali ke kehidupan sederhana'. Sementara drama kantor memperlihatkan pekerja biasa yang kaya mendadak lewat jalan pintas,” ujarnya, mengutip laporan Think China.
Lebih jauh, Yonghua menyimpulkan pertumbuhan industri drama mikro yang begitu pesat didorong oleh tiga faktor utama: biaya, pasar, dan sumber daya.
Biaya produksi yang rendah menjadi salah satu kunci, karena berkat tenaga kerja yang relatif murah, satu episode drama mikro dapat dibuat hanya dengan biaya beberapa ratus ribu yuan.
Skala pasar yang besar turut mendukung ekspansi industri ini. Pada tahun 2025, tercatat lebih dari 100.000 perusahaan terlibat dalam produksi drama mikro, dengan 80 persen di antaranya baru berdiri dalam lima tahun terakhir.
“Basis penonton domestik, Tiongkok, memiliki 1,1 miliar pengguna internet, dan nilai pasar drama mikro diproyeksikan menembus 100 miliar yuan pada 2027,” ujarnya.
Terkait kepuasan emosioanl instan, juga disebut Seema Shah. Wakil Presiden Riset dan Analisis di Sensor Tower itu, sepakat menilai daya tarik utama drama mikro terletak pada alur cerita yang cepat, adiktif, dan mampu memberikan kepuasan emosional hanya dalam hitungan menit. Formatnya yang pendek dan mudah ditonton berulang kali sangat sesuai dengan pola konsumsi masyarakat modern yang serba mobile, karena dapat dinikmati kapan saja dan di mana saja.
“Mereka memanfaatkan perilaku masyarakat yang mencari kepuasan instan,” ujar Shah, dikutip dari CNBC.
Transformasi Budaya Komunikasi di Era Digital
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, Firman Kurniawan, melihat maraknya drama mikro asal Tiongkok sebagai bagian dari transformasi budaya komunikasi di era digital. Menurutnya, budaya digital kini terbentuk oleh apa yang ia sebut sebagai first mobile culture–yakni kebiasaan masyarakat yang mengutamakan perangkat ponsel dalam konsumsi informasi sehari-hari.
“Misalnya ketika kita berada di transportasi publik atau di angkot dan sebagainya. Nah, di situ informasi harus dikemas dalam bentuk yang ringkas, padat, tapi lengkap. Satu-satunya jalan keluar adalah bentuk audio-visual, dalam bentuk video,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (27/10/2025).
Menurut Firman, industri hiburan Negeri Tirai Bambu, menangkap peluang tersebut. Mereka mengemas narasi panjang menjadi cerita-cerita pendek berdurasi singkat, yang tetap menghadirkan daya emosional kuat. Formula ini, menurut Firman, menciptakan efek ketagihan karena penonton bisa menikmati tontonan di mana saja tanpa membutuhkan ruang khusus.
“Tiongkok ini mengambil format itu. Jadi narasi yang panjang dikemas dalam bentuk audio-visual, cerita-cerita pendek yang ditambah dengan daya tarik emosional. Itu menyebabkan orang seperti ketagihan. Mereka dapat menikmati di mana saja tanpa membutuhkan ruang khusus. Faktor ini yang menaikkan popularitas drama Tiongkok ini,” ujarnya.

Fenomena ini, sambung Firman, juga menandai adanya pergeseran pola komunikasi digital. Masyarakat kini lebih menyukai tontonan yang instan dan cepat dibanding film berdurasi panjang atau serial bersambung.
“Sebenarnya kalau kita lihat sekitar lima atau tujuh tahun yang lalu, bahkan kalau nonton Netflix itu orang sudah mencari ringkasannya. Orang yang penting tahu ceritanya. Nah, sekarang cukup dengan satu sampai sepuluh menit film, orang sudah tahu cerita dan naratifnya. Itu akan lebih disenangi,” ujarnya.
Selain karena formatnya yang sesuai dengan ritme kehidupan modern, Firman menilai kesuksesan drama mikro Tiongkok juga dipengaruhi oleh kekuatan tematiknya. Sebagian besar cerita mengangkat isu pertentangan kelas–antara si kaya dan si miskin, si kuat dan si lemah–yang menjadi tema universal dan mudah diterima lintas budaya.
“Penonton menjadi katarsis: ketika melihat tokoh kecil ditindas, mereka merasa ingin marah, ingin membela yang tertindas. Dan ternyata di cerita film itu, tokoh kecil tersebut berhasil memenangkan persaingan. Penonton merasa lega,” ujarnya.
Kendati demikian, Firman menilai popularitas drama mikro tidak akan bertahan selamanya. Ia memperkirakan dalam dua hingga tiga tahun ke depan, tren ini akan menghadapi kejenuhan. Pergeseran bisa terjadi karena pengulangan tema, perubahan selera, maupun kemunculan format hiburan baru.
“Saya melihat mungkin sekitar dua atau tiga tahun lagi akan muncul kejenuhan. Bisa karena temanya, atau karena ada format baru yang lebih menarik.Nah, ini antara lain bisa berasal dari format-format yang diajukan oleh artificial intelligence (AI) yang membaca algoritma penonton. Itu nanti bisa menjadi penggeser demam yang terjadi hari ini,” ujarnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































