Menuju konten utama
GWS

Candu Video Pendek Bikin Otak Salah Ambil Keputusan

Kecanduan menonton video pendek yang sekarang begitu menjamur di berbagai media sosial dapat berdampak buruk terhadap kemampuan pengambilan keputusan.

Candu Video Pendek Bikin Otak Salah Ambil Keputusan
Ilustrasi video pendek. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pernahkah Anda merasa ingin menonton satu video TikTok sebelum tidur tetapi tiba-tiba saja satu atau dua jam telah berlalu begitu saja? Atau mungkin, niat awal Anda cuma sekadar melepas penat dengan membuka Reels atau YouTube Short tetapi tanpa sadar aktivitas itu telah Anda lakukan berjam-jam?

Ini adalah fenomena yang cukup lumrah. Sejak awal, platform video pendek memang dirancang untuk membuat penggunanya tak berhenti nge-scroll. Namun, sadarkah Anda dengan menonton video-video pendek itu selama berjam-jam, itu berarti Anda sudah kecanduan?

Short-Video Addiction (SVA), itulah nama kecanduan tersebut. Dan, seperti halnya adiksi-adiksi lainnya, SVA juga berpengaruh negatif bagi penderitanya. Membuang-buang waktu? Itu sudah jelas. Akan tetapi, menurut studi terkini, SVA bahkan bisa berdampak pada cara seseorang mengambil keputusan.

Dalam banyak kasus, otak kita mulai lebih memprioritaskan kesenangan jangka pendek dibanding risiko jangka panjang. Hasilnya? Kita cenderung lebih impulsif, lebih berani mengambil risiko, dan lebih sulit mempertimbangkan akibat yang mungkin datang kemudian. Perubahan ini pun tidak hanya terlihat dari perilaku, tapi juga dari aktivitas otak yang bisa diukur secara ilmiah.

Loss Aversion: Mekanisme Otak yang Membuat Kita Takut Rugi

Sebelum membahas lebih jauh soal kecanduan video pendek, ada satu konsep penting dalam psikologi yang perlu dipahami: loss aversion.

Secara sederhana, loss aversion adalah kecenderungan manusia untuk lebih merasa sakit saat mengalami kerugian dibanding rasa senang saat mendapat keuntungan dengan nilai yang sama. Contohnya, kehilangan Rp50.000 terasa lebih menyakitkan dibanding kesenangan saat mendapat Rp50.000. Mekanisme ini mendorong kita untuk berhati-hati, mempertimbangkan risiko, dan menghindari keputusan yang merugikan.

Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky lewat prospect theory pada tahun 1979, dan sejak itu menjadi dasar dalam banyak penelitian tentang pengambilan keputusan, ekonomi perilaku, dan psikologi kognitif.

Kenapa ini penting? Karena loss aversion adalah rem alami dalam otak yang menjaga kita dari keputusan gegabah. Namun, rem ini bisa melemah, dan salah satu faktor yang berpotensi merusaknya adalah kecanduan, termasuk kecanduan video pendek.

Ilustrasi video pendek

Ilustrasi video pendek. FOTO/iStockphoto

Dalam studi yang diterbitkan di jurnal NeuroImage (2025), para peneliti menemukan bahwa individu dengan skor kecanduan video pendek yang tinggi cenderung memiliki tingkat loss aversion yang lebih rendah. Artinya, mereka lebih berani mengambil risiko, meskipun kemungkinan rugi lebih besar dibanding untung.

Temuan serupa juga terlihat dalam penelitian sebelumnya terhadap penderita kecanduan judi dan alkohol. Dalam jurnal Scientific Reports (2017), ilmuwan menunjukkan bahwa penderita dua jenis kecanduan ini juga mengalami penurunan sensitivitas terhadap kerugian. Mereka lebih fokus pada potensi keuntungan dan cenderung mengabaikan risiko.

Ketika Otak Mulai Memilih Risiko

Apa jadinya jika sistem alarm dalam otak—yang biasanya membuat kita berpikir dua kali sebelum ambil risiko—mulai melemah? Itulah yang ditemukan para peneliti saat mengamati perilaku pengguna yang kecanduan video pendek.

Dalam studi di jurnal NeuroImage, partisipan dengan gejala kecanduan video pendek diminta mengikuti uji coba keputusan menggunakan simulasi perjudian. Hasilnya jelas: mereka lebih sering memilih opsi yang berisiko tinggi, meskipun potensi kerugiannya besar. Bahkan ketika keputusan itu melibatkan risiko kehilangan uang, mereka tetap cenderung mengambil langkah impulsif.

Para peneliti menggunakan model drift-diffusion. Yakni, sebuah metode untuk mengukur seberapa cepat seseorang mengambil keputusan. Hasil analisis menunjukkan bahwa individu dengan skor kecanduan tinggi memiliki laju akumulasi bukti yang lebih cepat. Artinya, mereka membuat keputusan dengan lebih sedikit pertimbangan, bahkan dalam situasi yang menuntut evaluasi risiko.

Gejala ini mencerminkan pola yang juga ditemukan pada pecandu judi. Dalam studi yang dilakukan oleh Genauck et al., para penjudi patologis menunjukkan kecenderungan serupa: mereka lebih fokus pada potensi kemenangan dan mengabaikan kerugian, bahkan ketika peluang objektif tidak menguntungkan.

Dengan kata lain, semakin kuat kecanduan terhadap video pendek, semakin besar kecenderungan seseorang untuk mengambil keputusan secara tergesa-gesa, dan semakin kecil kemungkinan mereka menimbang akibatnya secara rasional.

Penting dicatat bahwa, dalam studi ini, keputusan-keputusan berisiko tersebut dibuat bukan karena peserta tidak tahu risikonya. Mereka tahu. Namun, otak mereka cenderung mengabaikan risiko tersebut dan ini semakin menegaskan kesamaan antara kecanduan video pendek dengan kecanduan lainnya.

Ketika Keputusan Berisiko Mulai Masuk ke Dunia Nyata

Kecanduan video pendek tidak hanya hidup di layar ponsel. Ia perlahan menyusup ke berbagai aspek kehidupan nyata dengan membentuk kebiasaan baru dan mengganggu prioritas seseorang. Bahkan, bukan mustahil ia bisa membuka pintu ke risiko-risiko yang lebih besar lagi.

Salah satu dampak paling umum adalah hilangnya waktu dan tidur. Banyak pengguna terus menonton video hingga larut malam, bahkan saat tahu mereka harus bangun pagi keesokan harinya. Rasa lelah sudah pasti akan dirasakan dan ini bakal sangat berpengaruh pada bagaimana mereka menjalani aktivitas harian.

Akan tetapi, yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana otak mereka jadi terbiasa meremehkan konsekuensi jangka panjang demi rasa puas sesaat. Ucapan “satu video lagi” menjadi alasan yang terus diulang, hingga malam berakhir tanpa istirahat yang cukup dan pagi disambut dengan kantuk yang terpaksa ditahan.

Ilustrasi video pendek

Ilustrasi video pendek. FOTO/iStockphoto

Dampak lain muncul dalam bentuk risiko akademik dan finansial. Ketika otak semakin sering mengejar kepuasan instan, kemampuan untuk menunda kesenangan demi tujuan jangka panjang ikut melemah. Akibatnya, seseorang jadi lebih mudah menunda tugas penting, mengabaikan pekerjaan, atau bahkan melakukan pembelian impulsif. Dalam banyak kasus, prioritas utama—seperti belajar, bekerja, atau menabung—mulai tergeser oleh keinginan untuk mendapat gratifikasi instan.

Yang paling mengkhawatirkan, pola ini bisa menyebar ke perilaku lain. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang terbiasa mengambil keputusan berisiko dalam satu domain bisa menjadi lebih rentan terhadap bentuk kecanduan lain. Ini bisa berupa judi online, kecanduan belanja, hingga penyalahgunaan zat terlarang. Ketika otak mulai terbiasa dengan pola pikir “nikmati sekarang, pikir nanti,” batas antara hiburan dan bahaya bisa menjadi kabur.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Dalam dunia digital saat ini, platform video pendek seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts dirancang untuk membuat pengguna terus menonton, terus menggulir, dan terus terjebak dalam pola gratifikasi instan.

Inilah sebabnya mengapa isu ini lebih dari sekadar gangguan sepele. Ketika desain platform secara sistematis mengeksploitasi celah dalam mekanisme pengambilan keputusan otak, kita sedang menghadapi tantangan yang jauh lebih dalam. Bukan hanya soal kontrol diri, tetapi tentang bagaimana teknologi modern bisa secara aktif membentuk ulang cara kita menilai risiko, waktu, dan prioritas hidup.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Salah satu langkah awal adalah pendidikan literasi digital yang lebih serius, terutama untuk generasi muda—khususnya generasi yang tumbuh besar dengan gawai dan internet. Di sini edukasi bukan sekadar mengingatkan agar jangan terlalu lama di depan layar, tapi menjelaskan bagaimana sistem algoritmik bekerja dan mengapa kita cenderung kecanduan. Pengetahuan adalah langkah pertama untuk membentuk kebiasaan yang lebih sehat.

Selain itu, intervensi berbasis psikologi seperti pelatihan kendali kognitif juga sebenarnya sudah dikembangkan untuk kecanduan internet. Tujuannya adalah untuk melatih otak agar lebih tahan terhadap godaan instan, serta mampu kembali menilai risiko secara proporsional. Ini serupa dengan pendekatan yang digunakan dalam rehabilitasi pecandu judi dan zat adiktif.

Dari sisi teknologi, para peneliti dan pengembang mulai mengeksplorasi desain aplikasi yang menyisipkan “titik gesekan” atau friction points dalam penggunaan—misalnya dengan memberi jeda paksa setelah durasi tertentu, atau menyisipkan pertanyaan reflektif sebelum pengguna bisa lanjut menggulir. Meskipun belum populer, pendekatan ini mencoba memberi kendali lebih kepada pengguna.

Namun, semua solusi ini masih bergantung pada satu hal penting: riset jangka panjang. Banyak studi yang ada saat ini masih bersifat korelasional. Artinya, kita tahu ada hubungan antara kecanduan video pendek dan penurunan kemampuan mengambil keputusan, tapi belum tahu pasti mana yang datang lebih dulu. Oleh karena itu, studi longitudinal sangat dibutuhkan untuk mengungkap apakah perubahan pada otak disebabkan oleh kebiasaan digital, atau justru terjadi sebelumnya.

Yang jelas, kita tidak bisa lagi menganggap enteng fenomena ini. Sebab, di balik jutaan video lucu berdurasi 30 detik, tersembunyi bom waktu psikologis dan neurologis yang bisa membentuk masa depan seseorang baik dalam berpikir, memilih, maupun menjalani hidup.

Baca juga artikel terkait KECANDUAN atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - GWS
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi