Menuju konten utama

Keppres Pengangkatan Penjabat Gubernur Rentan Digugat ke PTUN

Aturan turunan pengisan penjabat gubernur diperlukan agar prosesnya tidak diwarnai nuansa 'gelap'.

Keppres Pengangkatan Penjabat Gubernur Rentan Digugat ke PTUN
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (ketiga kiri) berfoto bersama (kiri ke kanan) Pj. Gubernur Papua Barat Paulus Waterpauw, Pj. Gubernur Gorontalo Hamka Hendra Noer, Pj. Gubernur Sulawesi Barat Akmal Malik, Pj. Gubernur Bangka Belitung Ridwan Jamaludin dan Pj. Gubernur Banten Al Muktabar usai pelantikan lima penjabat gubernur di Kemendagri, Jakarta, Kamis (12/5/2022). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Keputusan Presiden (Keppres) tentang pengangkatan penjabat gubernur rentan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal tersebut terjadi karena presiden dan jajarannya abai untuk membuat aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Iya (rentan digugat). Bukan masalah basis Keppresnya. Tapi karena belum ada PP yang dibuat oleh pemerintah, terkait sistem pemilihan penjabat ini," kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil kepada Tirto, Rabu (18/5/2022).

Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021 mengamanatkan pemerintah membuat aturan pelaksana pasal 201 UU 10/2016 tentang Pilkada. Aturan pelaksana tersebut menjadi rambu dalam pengisian penjabat gubernur. Pada halaman 34 putusan tersebut dijelaskan bahwa alasan pembuatan aturan turunan juga dalam rangka memastikan prinsip demokrasi tetap berlaku.

"Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi

pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah," demikian bunyi poin 3.14.3 halaman 34 Putusan MK 67/2021.

"Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif," lanjut isi putusan tersebut.

Sebagai tindak lanjut dari putusan MK tersebut, pemerintah seharusnya segera membuat PP tentang pengisian penjabat gubernur. Jangan sampai penjabat yang sudah dilantik menjadi terganggu kinerjanya karena amburadulnya proses pengangkatan mereka.

"Kemendagri sebagai leading sector untuk persoalan ini, mestinya bisa memgambil inisiatif," tegas Fadli.

Ahli hukum tata negara Universitas Bengkulu, Beni Kurnia Illahi memandang pengisian penjabat gubernur dengan menggunakan Keppres adalah salah. Ia beralasan, Keppres merupakan kategori keputusan tata usaha negara yang berisi tindakan hukum yang bersifat konkret, individual dan final.

"Persoalannya pengisian jabatan penjabat gubernur semestinya memiliki tahapan prosedur yang tidak bisa sekali selesai atau final karena menyangkut jabatan politik maka perlu ruang yang ketat dalam pengisian jabatan tersebut," kata Beni kepada Tirto.

Kedua, Beni melihat pilihan Mendagri Tito Karnavian melantik penjabat gubernur melalui Keppres tidak sesuai putusan MK nomor 15/PUU-XX/2022. Putusan tersebut menjelaskan bahwa pemerintah diminta membuat peraturan pelaksana berupa peraturan pemerintah terkait pengisian penjabat kepala daerah yang diamanatkan Undang-Undang Pilkada.

Imbasnya, SK pengangkatan penjabat gubernur itu disebut rentan untuk digugat dan dibatalkan oleh PTUN. Pasalnya, prosedur yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan hukum. Padahal, putusan MK wajib dilaksankan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Ketiga, pemerintah seharusnya menyusun PP terkait pengisian penjabat gubernur guna membuktikan bahwa proses pengangkatan penjabat kepala daerah berjalan transparan dan akuntabel.

Ia menilai materi muatan PP itu nantinya bisa nanti mengatur secara komprehensif, mulai dari proses pemilihan, syarat-syarat, hak dan kewajiban hingga batas-batas kewenangan yang diperbolehkan selama menjabat, termasuk yang tak kalah pentingnya yaitu pelibatan partisipasi masyarakat dalam proses pengisian jabatan tersebut.

Keempat, bila pemerintah mengambil skema Keppres dalam pengangkatan penjabat gubernur maka dikhawatirkan jabatan tersebut tidak punya rambu-rambu yang jelas dan tanpa batas dalam menjalankan kewenangannya. Alhasil, potensi penyalahgunaan kewenangan dan konflik kepentingan tidak dapat terhindarkan.

Mendagri Tito Karnavian telah melantik lima penjabat gubernur pada Kamis 13 Mei 2022 kemarin. Mereka adalah Sekretaris Daerah Banten Al Muktabar ditunjuk menjadi Penjabat Gubernur Banten. Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi, dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin ditunjuk menjadi Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung.

Kemudian, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik ditunjuk menjadi Penjabat Gubernur Sulawesi Barat. Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga Hamka Hendra Noer ditunjuk menjadi Penjabat Gubernur Gorontalo, dan terakhir Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan BNPP Kementerian Dalam Negeri Komjen (Purn) Paulus Waterpauw ditunjuk menjadi Penjabat Gubernur Papua Barat.

Baca juga artikel terkait PENJABAT GUBERNUR atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Fahreza Rizky