Menuju konten utama

Kenapa Perusahaan Teh Sariwangi Bisa Pailit?

Perusahaan perkebunan teh Sariwangi dinyatakan pailit oleh pengadilan, Sariwangi yang dimaksud bukanlah perusahaan pemegang merek teh celup SariWangi.

Ilustrasi: Petani memetik teh untuk bahan baku teh hitam dengan menggunakan mesin di perkebunan teh milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII di Sukawana, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (25/1/2018). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

tirto.id - Produsen teh PT Sariwangi Agricultural Estates Agency (Sariwangi A.E.A) dan anak usahanya yaitu PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung (Indorub), akhirnya dinyatakan pailit oleh pengadilan setelah terjerat utang maha besar.

Majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan dua perusahaan tersebut melakukan ingkar janji atau wanprestasi terhadap perjanjian perdamaian atau homologasi dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terdahulu.

Menurut Hakim Ketua Abdul Kohar dalam pertimbangannya, wanprestasi karena kedua perseroan lalai melakukan pembayaran cicilan utang bunga. Sampai dengan jatuh waktu pada 20 Maret 2017, Sariwangi A.E.A dan juga Indorub, tidak bisa membuktikan telah menunaikan kewajibannya kepada PT Bank ICBC Indonesia (ICBC) selaku pemohon. Sariwangi A.E.A tidak menjalankan kewajiban membayar utang bunga senilai $416 ribu dan Indorub senilai $42 ribu kepada ICBC.

“Mengabulkan permohonan pembatalan perdamaian atau homologasi dari pemohon (ICBC). Menyatakan perjanjian homologasi batal, menyatakan termohon 1 (Sariwangi) dan termohon 2 (Indorub) pailit dengan segala akibat hukumnya,” tutur Abdul Kohar saat membacakan amar putusan di ruang sidang Mudjono, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Selasa (16/10).

Ketidakhadiran Sariwangi sepanjang proses persidangan turut menjadi pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara. Sebab tanpa jawaban dari Sariwangi, maka permohonan pembatalan perjanjian perdamaian yang dilakukan ICBC, benar adanya. Selama proses persidangan berlangsung, hanya pihak Indorub yang hadir.

Namun, pihak Indorub mengaku menolak dan akan segera melayangkan kasasi. Sebabnya, anak usaha Sariwangi ini mengaku melakukan pembayaran utang bunga. Dana yang telah dibayarkan tidak sedikit. Anak usaha Sariwangi ini mengklaim telah mencicil utang Rp500 juta sejak Desember 2017 sampai dengan Agustus 2018, sehingga total mencapai Rp4,5 miliar.

Iim Zovito Simanungkalit, kuasa hukum Indorub mempertanyakan ihwal pembayaran yang sudah dilakukan kliennya tapi tidak dianggap dalam proses keputusan di pengadilan. “Kami putuskan melanjutkan proses hukum supaya bisa mendapat kejelasan bagaimana kedudukan debitur yang masih dalam keadaan membayar kewajiban utang dengan jumlah yang signifikan. Itu menunjukkan kami tidak wanprestasi atau ingkar janji,” jelas Iim dari Kantor Hukum Iim Zovito & Rekan kepada Tirto.

Sementara itu, kuasa hukum pihak pemohon atau ICBC, mengaku putusan pailit tersebut sudah sesuai ketentuan hukum. Tindakan ingkar janji yang dilakukan Sariwangi dan Indorub, bukan sekadar lalai pada kewajiban pembayaran utang bunga melainkan juga tenggat waktu pembayaran utang tersebut. Menurut Swandy Halim, Kuasa Hukum ICBC, meski ada pembayaran yang dilakukan Indorub tapi anak usaha Sariwangi itu tidak memenuhi tenggat waktu yang ditentukan saat membayar utang.

“Permasalahan wanprestasi bukan hanya tentang nominal akumulasi pembayaran, tapi waktu pembayaran juga penting. Kalau waktu pembayarannya tidak memenuhi, maka itu disebut wanprestasi juga,” jelas Swandy Halim kepada Tirto.

Sengketa Utang

Sengketa utang-piutang Sariwangi dan Indorub dimulai ketika proses PKPU keduanya berakhir damai pada 9 Oktober 2015. Sariwangi memiliki tagihan senilai Rp1,05 triliun, sedangkan Indorub punya tagihan sebesar Rp35,71 miliar. Mengutip salinan putusan pengadilan, restrukturisasi utang pokok Sariwangi dan Indorub baru akan dibayar setelah waktu tenggang atau grace period selama enam tahun pasca-homologasi. Sedangkan utang bunga harus langsung dibayar per bulan, selama delapan tahun pascahomologasi.

Rinciannya, utang bunga denominasi dolar AS sebesar 2 persen dan utang bunga mata uang rupiah sebesar 4,75 persen selama dua tahun pertama. Untuk tahun ketiga dan keempat, dikenakan utang bunga sebesar 3 persen untuk dolar AS dan sebesar 5,5 persen untuk mata uang rupiah.

Beban bunga sebesar 4 persen dan 6,5 persen masing-masing dibebankan untuk utang valas dan rupiah di tahun kelima dan keenam. Sedangkan tahun ketujuh dan kedelapan, Sariwangi dan Indorub dibebankan membayar utang bunga sebesar masing-masing 5 persen dan 7,5 persen untuk denominasi dolar AS dan mata uang garuda.

Nah, kewajiban senilai $416 ribu dan $42 ribu milik Sariwangi dan Indorub, hanyalah baru utang bunga pada tahun pertama terhadap ICBC. Tagihan utang bunga ini seharusnya dicicil tiap bulan pasca-homologasi. Namun, dalam perjanjian perdamaian sekaligus juga disepakati bahwa pembayaran dapat ditangguhkan selama 12 bulan dan bisa dilunasi pada 9 Oktober 2016.

Namun, Sariwangi maupun Indorub tidak pernah melakukan pembayaran utang bunga bahkan sampai dengan tahun berikutnya yaitu 9 Oktober 2017. Pembayaran baru dilakukan pada Desember 2017 sebesar Rp500 juta dan berlangsung secara berkala sampai dengan Agustus 2018. Ini pun hanya datang dari pihak Indorub, tanpa ada kepatuhan dari Sariwangi.

Pada perjanjian utang berdasarkan cross default yaitu perjanjian tanggung-menanggung alias tanggung renteng, maka jika Sariwangi tidak membayar utang bunga, Indorub terkena getah untuk membayar. Sehingga, ketika Sariwangi tidak bayar dan melakukan wanprestasi, maka Indorub juga dinyatakan demikian.

Catatan ICBC, hingga 24 Oktober 2017, setelah ditambahkan bunga total nilai tagihan Sariwangi senilai Rp288,932 miliar dan Indorub sebesar Rp33,827 miliar. Rincian kewajiban senilai Rp1,05 triliun untuk tagihan Sariwangi berasal dari 5 kreditur separatis (kreditur yang memegang jaminan) senilai Rp719,03 miliar, 59 kreditur konkuren (kreditur yang tak memegang jaminan) Rp334,18 miliar, dan kreditur preferen (kreditur yang haknya jadi prioritas) senilai Rp1,21 miliar.

Untuk Indorub, kewajiban utang senilai Rp35,71 miliar dengan rincian 5 kreditur separatis senilai Rp31,50 miliar, 19 konkuren senilai Rp3,28 miliar, dan preferen sebesar Rp922,81 juta.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/08/23/sejarah-sari-wangi-aea--mild--fuad-01.jpg" width="860" alt="Infografik sejarah sari wangi" /

Proses Panjang Sebelum Pailit

Sebelum permohonan pailit dilayangkan ICBC, Sariwangi dan Indorub pernah menerima permohonan yang sama dari PT Bank Pan Indonesia Tbk atau Bank Panin pada November 2016. Kala itu, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan tidak dapat menerima gugatan lantaran permohonan pembatalan perdamaian tersebut kekurangan pihak. Sariwangi pun lolos dari ancaman kepailitan.

Andrew T. Supit, yang dalam dokumen putusan pengesahan perjanjian perdamaian (PDF) yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 22 September 2015, disebut bertindak sebagai Presiden Direktur Sariwangi AEA, mengaku sudah tidak menjadi bagian dari manajemen lagi sejak 30 Oktober 2015.

"Saya yang menandatangani perjanjian perdamaian di mana saat itu saya masih menjabat sebagai Direktur Utama PT Sariwangi A.E.A. Namun sejak 30 Oktober 2015, saya sudah tidak lagi menjadi bagian dari manajemen PT Sariwangi A.E.A," tulis Andrew T. Supit melalui pesan singkat kepada Tirto.

Kuasa hukum Sariwangi ketika proses PKPU yaitu Aji Wijaya dari Kantor Hukum Aji Wijaya & Co, menyatakan belum menerima kuasa atau belum ditunjuk untuk menangani perkara gugatan pembatalan perdamaian alias homologasi ini. "Saya belum menerima kuasa untuk gugatan pembatalan perjanjian ini," kata Aji kepada Tirto.

Nama Sariwangi memang terkenal sebagai produsen teh celup di Indonesia dan merupakan pemain besar. Perusahaan yang pada awalnya berkecimpung di bidang perdagangan teh dan berkembang menjadi produsen teh ini didirikan oleh Johan Alexander Supit pada 1962. Perseroan juga sukses memperkenalkan format teh celup dengan merek "SariWangi" pada 1973.

Medio 1989, Unilever Indonesia kemudian mengakuisisi merek dagang teh Sari Wangi. Pasca-akuisisi merek oleh Unilever, pihak PT Sariwangi AEA meminta izin untuk tetap menggunakan nama Sariwangi sebagai nama perusahaan kepada pihak Unilever. Namun, entitas merek dagang teh Sari Wangi dengan PT Sariwangi sebagai perusahaan perkebunan teh sudah terpisah sama sekali.

“Kami hanya mengakuisisi brand Sari Wangi dan bukan perusahaannya. Tetapi PT Sariwangi memang meminta izin untuk tetap menggunakan nama tersebut,” jelas Sancoyo Antarikso, Sekretaris Perusahaan PT Unilever Indonesia Tbk kepada Tirto.

Awalnya, Sariwangi AEA masih memproduksi teh untuk Unilever Indonesia dan juga perusahaan lainnya. Namun saat ini, Sariwangi AEA sudah tidak lagi memproduksi kebutuhan teh untuk Unilever Indonesia. “Unilever sudah memproduksi teh sendiri. Kami memenuhi kebutuhan teh dari pasar lelang di Indonesia,” imbuh Sancoyo.

Head of Corporate Communication PT Unilever Indonesia Tbk Maria Dewantini Dwianto dalam keterangan resminya juga menegaskan "PT Sariwangi Agricultural Estate Agency dan PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber

Wadung keduanya bukan merupakan bagian ataupun anak dari PT Unilever Indonesia Tbk."

Maria menjelaskan PT Sariwangi Agricultural Estate Agency memang pernah menjadi rekanan usaha Unilever untuk

memproduksi merek teh celup SariWangi, "Namun saat ini Unilever sudah tidak memiliki kerja sama apapun dengan PT Sariwangi Agricultural Estate Agency."

Kasus yang menimpa perusahaan perkebunan teh Sariwangi menyisakan pertanyaan, terutama soal pemicu utang piutang, apakah karena faktor industri secara keseluruhan yang sedang lesu atau mismanajemen internal perusahaan. Bila melihat sisi industri secara umum, perkebunan teh di Indonesia memang sedang dalam tren yang kurang baik. Luas areal perkebunan teh di Indonesia berada dalam tren penyusutan.

Sehingga produksi maupun volume ekspor teh juga menurun, di sisi lain impor teh Indonesia justru berada dalam tren kenaikan sejak tahun 2007 dari hanya 10.366 ton menjadi 18.886 ton pada 2016 dengan nilai masing-masing $11,85 juta dan $24,67 juta.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI TEH atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra
-->