Menuju konten utama

Bisnis Teh Artisan, Primadona Baru Industri Teh

Teh, minuman yang sudah berusia ribuan tahun kini kembali berevolusi dengan lahirnya bisnis teh artisan.

Bisnis Teh Artisan, Primadona Baru Industri Teh
Header side job Peluang bisnis teh artisan. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Bisnis makanan dan minuman kembali merebak di Indonesia seiring dengan kembali normalnya aktivitas masyarakat. Salah satu ide bisnis yang saat ini banyak digandrungi adalah bisnis teh. Daun sederhana yang telah diseduh selama ribuan tahun itu, kini sedang mengalami revolusi.

Industri teh tradisional yang didominasi oleh beberapa perusahaan besar dengan produk yang diproduksi secara massal mulai membuka jalan bagi tren baru, yakni craft tea atau artisan tea.

Fenomena ini muncul seiring dengan perubahan perilaku konsumsi masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya hidup sehat. Hal ini menyebabkan adanya kenaikan permintaan terhadap bahan-bahan alami dan organik.

Minat terhadap teh dengan kualitas premium serta ciri khas rasa tertentu juga mengalami peningkatan, khususnya di pasar Eropa yang banyak merasakan manfaat kesehatan dari konsumsi teh.

Sebuah perusahaan riset pasar, InsightAce Analytic Pvt. Ltd mengumumkan bahwa pasar teh artisan diperkirakan akan tumbuh hingga USD524,92 juta pada tahun 2031

Industri teh artisan diprediksi akan mencatatkan tingkat pertumbuhan per tahun sebesar 4,8%. Tidak hanya itu studi InsightAce Analytic juga menggarisbawahi fakta di mana bisnis ini menawarkan pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis usaha minuman lainnya.

Indonesia sebagai negara dengan kondisi geografis yang mendukung budidaya perkebunan teh tentu tidak bisa melewatkan prospek bisnis ini begitu saja. Terlebih lagi, teh artisan telah menarik banyak minat generasi milenial dan gen Z, pangsa pasar paling potensial.

Industri teh sejatinya merupakan komoditas yang sudah cukup lama diperdagangkan, bahkan pernah menjadi primadona ekspor era kolonial. Merujuk hasil analisa Statista, pada kurun waktu 2006 hingga 2019, Indonesia tercatat sebagai negara ke-5 dengan produksi teh tertinggi. Walau kemudian peringkatnya turun.

Indonesia juga dikenal sebagai negara yang memiliki perkebunan teh dengan ketinggian tertinggi ke-2 di dunia. Berada di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut, perkebunan yang dimaksud terletak di Kayu Aro, Jambi, dan dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara VI (Persero) sejak tahun 1996.

Peluang Bisnis Teh Artisan

Praktik minum teh memiliki sejarah panjang yang sudah ada sejak 4.000 tahun silam. Banyak sumber menunjukkan bahwa teh pertama kali diminum sebagai obat dan kemudian bertransformasi jadi minuman rekreasi di Cina. Lalu, pada pertengahan abad ke-8 teh menyebar ke kawasan Asia lainnya, termasuk Korea, Jepang dan Vietnam.

Minuman ini kemudian diperkenalkan ke Eropa pada abad ke-16 dan berhasil memikat hati orang-orang Barat. Kala itu, teh tergolong sebagai barang premium karena langka dengan harga yang mahal, dan baru mulai terjangkau pada akhir abad ke-18.

Meskipun bukan lagi komoditas langka, namun teh artisan kembali membangkitkan sisi premium teh melalui cara pengolahan dan komposisinya yang menjamin kualitas dan keunikan rasa tersendiri.

Istilah artisan muncul karena teh yang dihasilkan layaknya hasil racikan personal para penciptanya. Berbeda dengan teh tradisional yang diproduksi massal.

Teh tetap menjadi hiburan yang menyenangkan bagi konsumen berpenghasilan tinggi di negara maju, sehingga mendorong permintaan akan peningkatan penyesuaian, karena konsumen mencari jenis teh yang dipersonalisasi – Euromonitor

Menurut Asosiasi Artisan Teh Indonesia (ARTI), teh artisan adalah jenis teh yang menggunakan teh berkualitas tinggi sebagai bahan dasar, setidaknya 50%, dan dicampur dengan tisane yakni sejenis herbal dan rempah. Gabungan ini menghasilkan teh dengan karakteristik yang autentik.

Saat ini, bisnis teh artisan sudah menjamur di Indonesia, bahkan di daerah yang notabenenya bukan daerah penghasil teh seperti Pekalongan.

Pemerintah Kabupaten Pekalongan memberikan dukungan pemberian mesin kepada para petani untuk mengembangkan teh premium. Alhasil, petani dan pemetik teh jadi lebih bisa bersaing. Bahkan, petani berhasil menaikkan tingkat kesejahteraan hidup mereka.

Tak hanya di masing-masing daerah, secara nasional Kementerian Perindustrian pun mencoba mengakomodir tren ini. Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) mengembangkan beberapa inovasi seperti workshop, pendampingan, pembinaan penerapan dan sertifikasi, serta fasilitasi pameran nasional dan internasional.

Selama ini, industri teh artisan masih belum terekspos dengan baik. Masyarakat Indonesia berpatokan bahwa teh artisan hanya bisa diimpor, tidak dapat diproduksi dalam negeri. Padahal teh di setiap negara memiliki karakteristik dan keunggulan yang menarik dan dapat menjadi daya jual tersendiri.

Belajar dari Pelopor

Memulai bisnis teh artisan tidaklah mudah. Musababnya bisnis ini tidak sekedar membutuhkan pengetahuan mumpuni terkait teh dan bahan pelengkapnya. Namun juga memadukan tradisi, seni dan teknologi. Alhasil, produk yang dihasilnya memiliki harga yang di atas rata-rata, sehingga cukup sulit menjualnya.

Oleh karena itu promosi dan branding menjadi salah satu strategi yang krusial, terutama jika target pasarnya adalah kawula muda. Laporan dari McKinsey tahun 2020 menyebutkan bahwa sebagian besar Gen Z di Asia adalah konsumen yang sadar akan merek. Maka dari itu penting sekali untuk membangun brandpersonality.

Salah satu pelopor teh artisan yang berhasil membangun karakteristik merek dengan nuansa mewah dan kesan eksklusif adalah The Wellbeing Group (TWG) Tea. Di Indonesia kita kerap memanggilnya dengan sebutan “teh twinings.”

TWG adalah bisnis teh yang dikembangkan pengusaha asal Moroko pada tahun 2008 di Singapura. Pendiri TWG, Taha Bouqdib, percaya bahwa banyak pelanggan yang mengingkan pengalaman unik dan mewah, serta penasaran akan asal mula teh yang mereka minum di rumah.

TWG kemudian menawarkan pengalaman itu di kedai teh mereka yang memiliki tampilan elegan, dipenuhi buku dan ornamen terkait teh, serta dikelilingi dinding megah yang memajang ratusan teh dalam kaleng buatan para artisan. Mereka menjadi pemain pertama yang menawarkan konsep ini.

Kunci dari kesuksesan mereka adalah fokus pada menawarkan nilai simbolis yang tinggi pada pangsa pasar yang sangat selektif, di mana pelanggan lebih mengutamakan asosiasi status dibandingkan dengan harga. Pangsa pasar itu dijuluki niche market.

Apa yang disebut sebagai niche marketsebenarnya? Praktik niche market ini membidik pasar dengan jumlah yang lebih kecil, tetapi diharapkan memberikan keberhasilan yang lebih besar. Dari sisi perusahaan, hal ini tentunya memberikan kesempatan agar lebih fokus kepada pasar spesifik tersebut.

TWG juga turut mengembangkan apa yang disebut sebagai signature product. Mereka membuat suatu produk khusus yang hanya dijual di negara tempat gerai mereka dibuka.Hal ini dilakukan agar TWG dianggap memiliki eksklusivitas dibanding dengan produsen teh lainnya. Dengan kata lain mereka menciptakan “kelangkaan” bahkan di pasar mereka sendiri.

Para pelaku bisnis teh artisan baiknya mengikuti jejak TWG, namun dengan pendekatan nilai tambah yang berbeda. Pelaku bisnis teh artisan harus mencari tahu terlebih dahulu siapa target pasar mereka. Kemudian mulai menganalisa nilai simbolis atau nilai tambah apa yang bisa ditawarkan.

Nilai simbolis inilah yang nantinya akan membedakan hasil akhir produk teh artisan. Sebagai contoh, ada teh artisan yang mengedepankan aspek kesehatan, ada yang menawarkan keunikan rasa dan wangi, ada yang fokus pada keistimewaan cara pengolahan, dst.

Hambatan Dalam Negeri

Di samping potensinya yang besar, ada tantangan yang harus diselesaikan. Berdasarkan laporan riset yang berjudul “Indonesian Tea Development Outlook: Challenges and Opportunities” : industri teh Indonesia justru mengalami masalah dikarenakan penurunan lahan produksi, aplikasi teknologi yang kurang, dan produktivitas.

Penurunan lahan produksi terjadi karena faktor iklim dan petani yang beralih ke usaha hortikultura karena dipercaya memberikan lebih banyak keuntungan. Hasil studi menyebutkan biaya produksi teh domestik yang cukup tinggi.

Lalu, rendahnya produktivitas dan mutu seiring dengan budidaya teh yang kurang memanfaatkan benih yang berkualitas dan teknologi yang mumpuni.

Mengapa permasalahan teh ini kian terjadi? Sebagian besar manajemen dan pengelolaan industri teh dilakukan oleh smallholder atau keluarga petani kecil.

Dilansir dari Direktur Jenderal Perkebunan tahun 2021, sekitar 45% dikelola oleh petani kecil, 34.5% dikelola oleh negara, dan 20% dikelola oleh swasta. Petani kecil inimemiliki akses pengembangan sumber daya manusia dan pengetahuan praktik pertanian yang minim, sehingga kualitas yang dihasilkan sulit untuk dijaga.

Lebih lanjut, bisnis teh artisan juga akan kesulitan mencari ceruk pasar karena konsumsi teh dalam negeri yang cenderung minim.

Terlebih lagi, didorong oleh budaya konsumsi yang tidak terlalu mengapresiasi kualitas karena lebih mengutamakan harga yang terjangkau, mengutip hasil studiCompetitiveness of Indonesian Tea in International Market

Baca juga artikel terkait TEH atau tulisan lainnya dari Arindra Ahmad Fauzan

tirto.id - Mild report
Kontributor: Arindra Ahmad Fauzan
Penulis: Arindra Ahmad Fauzan
Editor: Dwi Ayuningtyas