Menuju konten utama
Miroso

Teh Panas dan Romantisme Berbuka Puasa

Kultur minum teh di Jawa dekat dengan pengaruh budaya kolonial, yang meminum teh untuk bersantai dan acara sosial

Teh Panas dan Romantisme Berbuka Puasa
Header Miroso Berbuka Dengan Teh. tirto.id/Tino

tirto.id - Menjelang pukul 17.30, aroma teh nasgitel menyeruak dari dapur. Aroma yang ditunggu-tunggu, di antara suara mendesis minyak saat goreng-menggoreng hampir selesai. Di rumah saya, ini adalah tanda-tanda waktu berbuka puasa sudah dekat.

Ketika berpuasa, sekitar pukul 4 sore adalah masa yang berbahaya bagi saya. Apabila tidak pintar menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan, maka imajinasi tentang segala macam makanan akan hadir untuk menggoda. Akibatnya, badan yang tadinya baik-baik saja bisa tiba-tiba serasa ingin rebahan dan tidur, demi dapat mempercepat waktu.

Karena itulah saya berusaha sibuk sebelum jam empat. Atau menyempatkan tidur sejenak.

Tantangan dari berpuasa salah satunya memang imajinasi. Tepatnya imajinasi tentang makanan atau minuman. Ketika saya masih kecil, di sore hari yang tenang, saluran televisi akan menyiarkan iklan-iklan sirup berwarna-warni, dengan gelas-gelas berembun. Tampilan sirup jeruk, melon, dan cocopandan, dari berbagai jenama berlalu-lalang. Saat itu, mereka tampak begitu menggiurkan. Seorang kawan saat saya kecil bahkan pernah membatalkan puasanya karena iklan-iklan tersebut.

Namun, kini sirup-sirup itu tidak mengganggu saya. Justru, yang mengganggu adalah bayangan akan teh manis hangat yang tersaji di meja makan. Teh melati lokal dengan kekentalan dan rasa manis secukupnya.

Bagi saya, teh merupakan representasi dari rasa tenang. Ini berbeda dengan kopi, yang lekat dengan imej kerja dan minuman untuk meningkatkan produktivitas. Kopi diminum ketika sedang membutuhkan tambahan “tenaga” untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan, agar tak ngantuk ketika bekerja. Teh, sebaliknya. Ia adalah minuman yang menenangkan. Bahkan, saya kerap menikmatinya ketika ingin bersantai, menenangkan jiwa yang bergejolak.

Karena itulah saya selalu memesan es teh ketika akan bersantai di siang yang panas. Es teh tak hanya menghilangkan haus, tapi juga menenangkan jiwa yang kepanasan.

Akan tetapi, di bulan puasa, teh bukan hanya diminum untuk suasana yang tenang. Justru, panasnya, manisnya, dan sepetnya teh seakan membuat terjaga, menyegarkan diri sebelum menyantap makanan dengan serius. Ketika dalam kondisi berpuasa, pengaruh teh manis hangat ini terasa kuat di kepala, lidah dan perut. Kehangatannya menjalar ke seluruh badan.

Bisa jadi, ini karena ketika berpuasa, gula darah seseorang cenderung turun. Minuman manis yang hangat, selain ramah di tenggorokan, juga dapat mengembalikan gula darah tersebut, dan membuat badan merasa lebih segar.

Infografik Miroso Berbuka Dengan Teh

Infografik Miroso Berbuka Dengan Teh. tirto.id/Tino

Akan tetapi, dilihat dari sisi kesehatan, banyak yang menyebutkan bahwa meminum teh manis panas ketika berbuka memiliki berbagai dampak kurang baik. Kebanyakan ini muncul karena asupan gula yang terlalu banyak atau kelemahan teh yang dapat menghambat penyerapan zat besi dari makanan.

Terlepas dari pro dan kontra teh manis panas ini, kebiasaan minum teh telah ada di keluarga sejak saya belum lahir. Pada dasarnya, rujukan budaya nge-teh di masyarakat Indonesia sejak dulu lebih ke nge-teh ala kolonial, di mana teh tersaji umumnya untuk kegiatan sosial. Begitu pula di keluarga saya. Teh terhidang untuk suguhan tamu ataupun acara berbuka puasa tadi.

Secara singkatnya, dalam budaya teh yang dibawa oleh kolonial, teh merupakan tanaman industri yang ditanam untuk dijual. Teh juga dikonsumsi oleh Belanda, lalu juga dikonsumsi pula oleh keluarga kerajaan dan kemudian oleh masyarakatnya. Ini berbeda dengan rujukan teh ala Cina yang juga berfokus pada manfaat teh bagi kesehatan. Ini membuat teh tak hanya penting dari sisi rasa, tapi juga dari sisi kesehatan.

Sepanjang ingatan, di keluarga saya, sajian berbuka puasa umumnya dimulai dengan sajian teh hangat manis yang tersedia di meja, yang biasa diminum setelah membatalkan diri dengan meminum segelas air bening. Hingga kini, semua anggota keluarga kami masih menyuguhkannya di rumah masing-masing untuk berbuka. Semua suka, bahkan sampai ke keponakan terkecil. Camilan penyerta sajian ini adalah camilan yang memiliki rasa gurih. Seperti layaknya masyarakat Indonesia lainnya, aneka gorengan tersaji bergantian karena alasan selera dan kepraktisan.

Tempe goreng, tahu susur, risoles, misoa goreng, hingga bakwan jagung dan lumpia rebung terhidang di meja, bergiliran. Terkadang camilan seperti batagor, siomay, atau dimsum ikut muncul sesekali. Apapun camilan yang tersaji di meja, minumannya tentu saja, teh manis panas tadi. Walaupun, kerap kali, sirup yang disajikan menjadi sup buah atau minuman lainnya juga tersedia sebagai "tambahan".

Bagi penyuka hidangan manis, mungkin teh manis panas ini kurang cocok disandingkan karena membuat rasa manis semakin menari di lidah kita. Teh manis bisa diganti dengan teh tawar. Namun biasanya ketika sajian manis terhidang di meja kami, sajian manis inilah yang justru tidak banyak digemari. Kami lebih memilih teh manis dibandingkan dengan kue-kue manis.

Beberapa bulan terakhir ini saya berusaha mengurangi asupan teh lokal, atau teh Jawa, karena saran kesehatan. Saya mencoba menggantinya dengan teh-teh artisan, tisane, minuman sereh, hingga minuman telang. Meskipun banyak di antaranya yang saya suka dan rasanya pun enak, tapi semua minuman itu tidak dapat menggantikan posisi teh lokal tadi sepenuhnya.

Mungkin ini yang dinamakan kecanduan ya?

Bagaimanapun juga, saya sempat berhasil tidak menyentuh teh selama berbulan-bulan. Air putih menjadi penggantinya. Luar biasa, bukan? Namun memasuki bulan puasa, teh panas kembali saya rindukan walau hanya untuk satu-dua gelas saja, sebagai pendamping tahu susur yang masih hangat kemepul. Tak hanya untuk berbuka, teh manis panas ini juga kerap saya buat untuk membuka mata saat sahur di dini hari.

Menurut saya, berbuka dengan yang manis tidak lagi merujuk pada es sirup yang nikmat, tapi teh hangat yang kemepyar - meskipun itu hari yang panas.

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Rizkie Nurindiani

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Rizkie Nurindiani
Editor: Nuran Wibisono