Menuju konten utama

Jelang Satu Abad Njonja Meneer yang Berakhir Pailit

Salah satu perusahaan jamu tertua, PT Njonja Meneer  dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, Jawa Tengah.

Jelang Satu Abad Njonja Meneer yang Berakhir Pailit
Buruh perusahaan jamu PT Njonja Meneer membawa poster saat berunjuk rasa di depan pabriknya di Semarang, Jateng, Rabu (15/6). Mereka menuntut perusahaan agar segera memberikan upah kepada ratusan karyawannya yang selama tiga bulan lebih belum dibayarkan. ANTARA FOTO/R. Rekotomo/pd/16

tirto.id - "Seluruh tubuh berasa lebih muda dan enteng, tjahaja muka kelihatan lebih muda dan gembira, kesehatan bertambah-tambah, dan anak yang mungil itu mendjadi montok dan sehat betul. Semua ini njoja akan dapat buktikan, setelah njonja minum Djamu Habis Beranak."

Lauw Ping Nio alias Njonja Meneer atau Nyonya Meneer berpromosi dalam iklan koran yang terbit setelah tahun 1940-an. Saat itu, tertera dalam iklan Djamu Habis Beranak hanya dibanderol Rp75 dengan isi yang cukup dikonsumsi selama 40 hari.

Djamu Habis Beranak yang kemudian berganti nama menjadi Djamu Habis Bersalin bukan satu-satunya produk Njonja Meneer. Perusahaan asal Semarang itu memiliki berbagai produk jamu seperti Jamu Sakit Kencing, Jamu Galian Rapet, Jamu Mekar Sari, Jamu Pria Sehat, Jamu Gadis Remaja, dan banyak lagi.

Pendirian perusahaan jamu oleh Lauw Ping Nio diawali oleh penyakit yang diderita suaminya akibat penyiksaan oleh tentara selama pendudukan Belanda di Jawa. Berbekal sedikit pengetahuan tentang obat-obatan tradisional, ia meracik ramuan rempah dan tumbuhan dan untuk diminum suaminya. Ramuan itu mujarab.

Sejak itu, setiap ada orang-orang terdekatnya yang sakit ringan seperti demam, sakit kepala, atau masuk angin, Njonja Meneer dengan senang hati meracik ramuan. Pada 1919, ia lalu membuka usaha bernama Jamu Cap Potret Njonja Meneer di Semarang. Awalnya, hanya usaha kecil-kecilan.

Usaha itu lalu berkembang. Pada 1940, bisnis jamu yang semula hanya menyasar konsumen di Semarang, merambah ke Jakarta. Saat itu, Nonnie, anak Njonja Meneer pindah ke Jakarta dan membuka gerai di Jalan Juanda, Pasar baru.

Pada 1967, Njonja Meneer menjadi direktur utama di perusahaannya. Anaknnya, Hans Ramana juga ikut mengurus perusahaan. Sementara tiga anak lainnya, Marie Kalalo, Hans Pangemanan, dan Lucy Saerang diangkat menjadi komisaris.

Sejak 1970-an, persaingan bisnis di industri jamu mulai dirasakan Njonja Meneer. Pesaing utamanya waktu itu adalah PT Air Mancur dan PT Sido Muncul. Kedua perusahaan ini juga memproduksi jamu-jamuan yang klaim khasiatnya tak jauh berbeda.

Pada 1978, Njonja Meneer tutup usia. Bisnis jamu yang sudah semakin besar itu dilanjutkan oleh anak-anaknya. Namun, proses transisi itu tak berjalan mulus. Dalam tulisan berjudul The Downfall of Chinese family Businesses, Ong Mia Farao Karsono dan Widjojo Suprapto menyebutkan Njonja Meneer sebagai contoh keretakan keluarga yang disebabkan oleh bisnis keluarga. Tulisan itu terbit dalam International Journal of Academic Research pada 2014.

Ong dan Widjojo merincikan tiga konflik internal di PT Njonja Meneer yang terjadi setelah si pendiri meninggal dunia. Pertama, konflik antarsaudara kandung yang disebabkan ketidakseimbangan proporsi manajemen di pabrik. Kedua, konflik paman dan keponakan terkait perencanaan suksesi. Terakhir, terjadi konflik antara bibi dan keponakan karena ketidaksepakatan untuk menjual kepemilikan saham kepada pihak luar.

“Setelah pertempuran panjang di pengadilan, semua ahli waris menjual kepemilikan mereka kepada Charles Saerang,” tulis Ong dan Widjojo. Charles adalah cucu dari Njonja Meneer. Ia juga Ketua Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional (GP Jamu)

Infografik Nyonya Meneer

Sampai 2000-an, bisnis jamu Njonja Meneer terus berkembang. Pada 2006, Njonja Meneer berhasil memperluas pemasaran hingga ke Taiwan. Sebelumnya, perusahaan telah mengekspor ke Malaysia, Australia, Brunei Darussalam, hingga Amerika Serikat.

Dalam perjalanannya, Njonja Meneer mencoba mengikuti perkembangan zaman. Pada 2012, Charles Saerang mengumumkan rencana perusahaan untuk membuka minimarket yang khusus menjual jamu bernama Meneershop. Sebanyak 14 gerai dibuka tahun itu.

Sekitar 250 item produk jamu dipasarkan lewat gerai Meneershop. Tak hanya produk eceran, produk-produk yang biasa diekspor ke Taiwan juga tersedia di Meneershop.

Sayangnya, ekspansi dan gebrakan bisnis itu tak mampu membawa Njonja Meneer terus bertumbuh. Pada 8 Januari 2015, perusahaan jamu itu menghadapi perkara penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diajukan dua krediturnya, yaitu PT Citra Sastra Grafika dan PT Nata Meridian Investara.

Njonja Meneer memiliki utang jatuh tempo yang belum dibayarkan senilai Rp89 miliar kepada kedua kreditur tersebut. Majelis hakim lalu mengabulkan permohonan kedua kreditur dan menyatakan Njonja Meneer dalam PKPU.

Dalam masa PKPU, seluruh kreditur dikumpulkan, lalu Njonja Meneer selaku debitur menyusun proposal perdamaian untuk pelunasan utang. Setelah semua utang didaftarkan, ternyata debitur memiliki total utang hingga Rp267 miliar. Jika para kreditur tak setuju dengan proposal perdamaian, maka perusahaan akan dinyatakan pailit.

Untungnya, waktu itu, PKPU Njonja Meneer berujung damai dan perusahaan selamat dari kepailitan. Namun, dalam prosesnya, ia gagal menjalankan apa yang telah tertuang dalam perjanjian perdamaian. Utang kepada para kreditur gagal dibayar.

Alhasil, perjanjian perdamaian itu kembali digugat untuk dibatalkan oleh salah satu kreditur konkurennya, Hendrianto Bambang Santoso, dari serikat buruh pabrik. Gaji buruh-buruh pabrik ini tak dibayar selama lebih dari empat bulan.

Menurut data pengadilan, pada Kamis, 3 Agustus 2017, majelis hakim Pengadilan Niaga Semarang, Jawa Tengah yang dipimpin Nani Indrawati mengabulkan permohonan pembatalan perdamaian. Secara otomatis, Njonja Meneer dinyatakan pailit. Usaha yang telah dimulai sejak 1919 itu tutup usia di usia ke-98 atau jelang satu abad.

Baca juga artikel terkait NYONYA MENEER atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Suhendra