tirto.id - Saya tengah membolak-balik majalah Gadis keluaran 11 Maret 1976, lalu mendapati sebuah iklan jamu pada salah satu halamannya. Dengan ilustrasi seorang perempuan berkacak pinggang di depan laki-laki berkumis, iklan tersebut menjual produk herbal yang mampu membuat wajah menjadi segar, berseri-seri, dan menawan. Tidak hanya itu, tertulis berikutnya dalam iklan tersebut bahwa jamu khusus perempuan ini bisa membuat gadis dikagumi kekasih dan istri lebih dicintai suami.
Iklan tersebut mendorong saya mengulik sedikit lebih jauh mengenai jamu. Berdasarkan catatan dari Kementerian Perdagangan 2014, jamu dianggap sebagai warisan budaya bangsa yang patut dilestarikan. Khasiat jamu sebagai obat herbal didasarkan pada pengalaman empirik yang telah berlangsung sejak lama.
Pengolahan jamu yang sudah berumur ratusan tahun di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh bangsa-bangsa asing sejak masa prakolonial. Hans Pols dari Department of the History and Philosophy of Science at the University of Sydneymenulis dalam Inside Indonesia bahwa para pedagang Tionghoa dan Arab berkontribusi terhadap tradisi jamu di Indonesia yang notabene berlokasi di persimpangan rute perdagangan internasional kala itu. Para pedagang ini memperkenalkan tanaman herbal dan bumbu-bumbu dari tanah kelahiran mereka, komplet dengan pengetahuan dari tradisi Ayurveda India, pengobatan tradisional Cina dan Arab, serta Yunani kuno.
Dalam jurnal ilmiah yang ditulis Sudibyo Supardi (2011), dicantumkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mengenai konsumsi jamu oleh masyarakat Indonesia. Sebanyak 4,4% populasi mengaku mengonsumsi jamu setiap hari, 45% mengonsumsinya pada waktu-waktu tertentu, 9,7% hanya pernah menjajalnya, dan 40,9% mengaku tidak pernah mencoba meminum jamu. Statistik ini menunjukkan masih banyaknya masyarakat yang percaya terhadap khasiat obat-obat tradisional sekalipun akses terhadap pengobatan modern lebih dimungkinkan, terlebih di kota-kota besar.
Secara khusus, saya juga mencari tahu seputar jamu khusus perempuan yang pernah beredar di Indonesia. Temuan pertama saya adalah Djamu Habis Branak dan Galian Prawan buatan Nyonya Meneer. Khasiat Djamu Habis Branak yang tertulis dalam iklan yang saya amati adalah “tubuh berasa lebih ringkas dan enteng, cahaya muka kelihatan lebih muda dan gembira”, sementara dalam keterangan iklan Galian Prawan yang hanya menampilkan potret seorang perempuan yang wajah berseri-seri dan bergembira, kulit bersih, halus, dan terang, serta membuat badan selalu kelihatan segar, molek, dan kencang.
Jamu untuk Perempuan
Kedua iklan yang masih menggunakan ejaan lama tersebut mengisyaratkan adanya standar kecantikan dan relasi dengan kesenangan laki-laki. Jamu yang dikonsumsi perempuan ini kerap kali diiklankan menggunakan narasi meningkatkan kemesraan dengan pasangan atau memenuhi representasi tubuh perempuan ideal ala media massa arus utama.
Setelah melakukan penelusuran lebih lanjut, hal ini tampaknya tidak banyak berubah di era modern seperti sekarang ini. Masih jamak ditemukan produk khusus perempuan yang mengusung standar kecantikan lawas seperti ramping dan kulit cerah. Tilik saja produk-produk jamu pelangsing aneka jenama, mulai dari bentuk kapsul hingga teh yang memenuhi rak-rak obat di supermarket atau kedai-kedai jamu pinggir jalan.
Selain produk jamu pelangsing atau perawatan kulit saja yang ditujukan bagi pasar perempuan. Marak pula diedarkan jamu-jamu yang konon berkhasiat merawat organ kewanitaan. Dalam situs Aneka Jamu misalnya, dipasarkan jamu empot-empot asli Madura yang dapat membuat area kewanitaan seseorang terasa seperti gadis kembali. Produk ini juga diklaim dapat menjadi kunci keharmonisan dan kebahagiaan bersama suami karena diklaim mengandung khasiat mengencangkan vagina, menghilangkan aroma tidak sedap pada area kewanitaan, serta mencegah keputihan dan gatal-gatal. Masih dalam situs yang sama, produk berbeda memasarkan jamu dengan klaim khasiat serupa bagi perempuan dengan tambahan narasi menambah gairah batin untuk yang sudah berumah tangga.
Martha Tilaar (1999) dalam buku Kecantikan Perempuan Timur menuliskan lebih rinci lagi kategorisasi jamu untuk perempuan berdasarkan usia. Untuk siklus akil balig misalnya, ada jamu Galian Remaja Putri yang berkhasiat membuat tubuh tetap singset dan menarik, jamu jerawat, dan jamu Galian Montok yang membuat tubuh padat berisi. Jamu untuk menghilangkan bau badan, keringat dan napas tak sedap juga tersedia bagi remaja. Sementara untuk siklus dewasa, Martha Tilaar menyebutkan beberapa jamu yang bisa dikonsumsi seperti jamu Pembayun untuk memperindah bentuk payudara serta jamu Pamor yang selain bisa memperlancar peredaran darah, diklaim berkhasiat membuat wajah cerah dan menarik.
Perkara nyata atau tidaknya khasiat jamu-jamuan ini bisa bervariasi bagi tiap individu yang pernah mencobanya, tetapi yang lebih menarik disoroti adalah bagaimana produk-produk ini melanggengkan gagasan dominan mengenai bagaimana perempuan seharusnya menjadi atau merawat diri yang lagi-lagi, tidak bisa terlepas dari relasi dengan pandangan atau demi kepentingan laki-laki.
Dewasa ini, pemasarannya jamu-jamu pun tidak lagi mengandalkan media cetak atau siar saja, tetapi juga internet yang dianggap lebih efektif dan efisien baik bagi penjual maupun pembeli. Media anyar ini juga dianggap mampu menimbulkan efek persuasif lebih tinggi lantaran dimungkinkannya pencantuman testimoni para pembeli.
Dalam sebuah studi terhadap 250 responden beragam latar belakang demografi oleh Kementerian Perdagangan lainnya yang diselenggarakan pada 2009, ditemukan data preferensi terhadap jenis-jenis jamu yang pernah dikonsumsi. Sebanyak 59% responden lebih memilih meminum jamu dalam sediaan cair, 30% lebih menyenangi sediaan puyer/serbuk, sementara 11% mengaku lebih suka sediaan pil/kapsul.
Terkait preferensi perempuan, Tirto pun menanyai pendapat enam perempuan usia 23-36 tahun yang mengaku pernah meminum jamu dan beberapa di antaranya masih rutin mengonsumsinya. Mayoritas narasumber yang diwawancara mengaku lebih senang mengonsumsi sediaan cair, baik yang diolah secara manual maupun buatan pabrik. Dina (36) misalnya, mengaku menyenangi jamu beras kencur dan kunyit asam yang diolah secara tradisional.
Menurut Dina, jamu kunyit asam yang pernah dikonsumsinya membawa dampak positif untuk kesehatan, khususnya ketika ia sedang haid atau pada saat menjelang kelahiran anaknya. Dina dan sang suami meyakini, dengan mengonsumsi kunyit asam, bayi yang lahir kelak kulitnya akan lebih bersih.
Perempuan lulusan ITB ini mengaku terbiasa meminum jamu sejak kecil, bahkan ibunya pun kerap meracik sendiri minuman itu untuk keluarga. Dari situ, ketertarikan meracik jamu untuk konsumsi pribadi dan untuk dipasarkan pun muncul. Bersama sang suami, Dina memperdagangkan jamu racikan manual mereka ke teman-teman dengan pemasaran dari mulut ke mulut.
Dina mengaku tidak begitu menyenangi jamu-jamu kemasan karena tidak begitu yakin akan kandungan dan khasiat yang dibawanya. Keengganan untuk sering-sering mengonsumsi jamu kemasan pun dirasakan oleh Rara (26), Galuh (24), dan Maria (23).
“Kalau aku dulu sering dibawain Mama jamu racikan yang sudah siap minum, jenisnya kunyit. Katanya untuk menghilangkan bau badan,” ujar Rara.
Kunyit tampaknya merupakan bahan racikan jamu yang menjadi primadona di kalangan perempuan. Sudah jadi rahasia umum bahwa jamu memberikan khasiat kesehatan alat reproduksi kaum Hawa dengan campuran tanaman asam. Galuh dan Maria menyatakan masih sering mengonsumsi jamu ini untuk mengurangi rasa nyeri saat haid sebagaimana diaku Dina.
Sebagai tambahan, Galuh mengatakan ia menyenangi kunyit asam karena rasanya yang enak.Terkait kesehatan alat reproduksi, sekali waktu Maria mengaku pernah menjajal jamu kemasan sediaan kapsul karena jadwal menstruasinya yang tidak teratur.
“Kalau nggak terpaksa, gue nggak minum jamu itu, sih, apalagi sering-sering,” kata Maria.
Bila ketiga perempuan tadi mengaku tidak pernah atau jarang sekali mengonsumsi jamu kemasan, berbeda dengan cerita Ayu (23) dan Ida (26). Sejak kelas 4-6 SD, Ayu kerap dibelikan jamu oleh ibunya. Ia pun sempat mengonsumsi jamu Galian Putri pada masa awal menstruasi. Tahun berikutnya, Galian Singset tak luput dijajal Ayu karena menurut informasi yang diperolehnya, jamu tersebut bisa mencegah badan mekar tak diharapkan. Ketika ditanya apakah Ayu mengalami efeknya secara nyata, mahasiswa jurusan Kajian Budaya tahun pertama ini pun mengaku tidak merasakan perubahan signifikan.
“Buktinya dulu badan gue tetap gendut juga.”
Sebagian orang bersepakat bahwa jenis pengobatan apa pun, baik tradisional maupun modern, memberikan efek sugestif sehingga orang-orang kembali mengonsumsinya. Ayu bisa jadi merupakan salah seorang konsumen yang sempat percaya kepada efek sugestif tersebut meski pada akhirnya justru tidak menemukan hasil apa-apa dari jamu yang dikonsumsinya. Efek sugestif juga tertanam di benak Ida yang kala itu disarankan ibunya meminum jamu Paitan Resik karena mengalami gatal-gatal.
“Yang gue tahu, khasiatnya untuk membersihkan darah kotor. Gue nggak yakin betul sih itu berefek langsung ke sakit gue atau nggak. Lebih ke nurutin kata ibu gue aja,” jelas Ida.
Dari pendapat-pendapat para perempuan di Jakarta ini, dapat disimpulkan bahwa konsumsi jamu lebih didasari kepentingan kesehatan dibanding kecantikan. Mereka yang pertama kali menjajalnya pun tidak terlepas dari pengaruh atau sugesti orang tua yang lebih dulu percaya akan khasiat ramuan tradisional.
Bisa jadi popularitas produk-produk berbahan kimia di media massa sekarang ini lebih memengaruhi pilihan mereka untuk merawat kecantikan. Pun jika mereka mengonsumsi jamu, mereka lebih memilih yang alami karena diyakini lebih segar dan mereka tak begitu percaya dengan deretan khasiat yang tertera pada kemasan. Bukan tidak mungkin juga bahwa minimnya kepercayaan terhadap produk jamu kemasan dengan iming-iming membuat lebih menarik, disenangi laki-laki karena tingkat kesadaran akan konstruksi budaya yang tak selamanya mesti mereka ikuti.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Suhendra