tirto.id - Bayangkan Anda adalah seorang pemilik perusahaan. Sialnya, ada mitra bisnis Anda yang mengajukan kepailitan terhadap perusahaan karena Anda belum memenuhi kewajiban.
Keadaan pailit jadi ancaman yang sangat mungkin terjadi bagi siapa saja yang mengelola usaha. Ancaman itu tidak hanya berlaku bagi perusahaan yang baru didirikan, tapi juga yang sudah puluhan tahun berdiri bisa mengalami kepailitan.
PT Njonja Meneer adalah salah satu contoh terkini perusahaan yang berdiri lama juga bisa mengalami kepailitan. Pengadilan Niaga Semarang memutus pailit PT Njonja Meneer melalui sidang pada 3 Agustus 2017.
Pengadilan Niaga Semarang sempat menyetujui permintaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari Njonja Meneer di 2015. Sayangnya, pabrik jamu berumur hampir seabad itu tetap tidak mampu membayar utangnya kepada 35 kreditur.
Setelah dinyatakan pailit, sebanyak 1.104 karyawan PT Njonja Meneer menuntut pembayaran hak-haknya.
Pailitnya suatu perusahaan memang sangat disayangkan. Namun, kepailitan adalah hal yang bisa terjadi dalam dunia usaha. Jumlah perusahaan yang mengalami permohonan pailit pun trennya meningkat. Setidaknya dari data Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang bisa jadi contohnya.
Tren permohonan pailit dalam empat tahun terakhir ini cenderung meningkat setiap tahun. Pada 2017, permohonan pailit tercatat 73 perkara, naik 43 persen dari 51 perkara pada 2014.
Pada dasarnya, kepailitan adalah suatu keadaan atau kondisi seseorang atau badan hukum yang tidak mampu lagi untuk membayar kewajiban atau utang kepada kreditur.
Namun, menurut UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU, kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitur yang pailit, di mana pengurusan dan penyelesaiannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.
Dengan kata lain, hanya pengadilan niaga yang dapat memutuskan suatu perusahaan pailit atau tidak. Tentunya, untuk dapat mempailitkan perusahaan, ada syarat dan prosedur yang harus dipenuhi.
Sesuai pasal 2 ayat (1) jo. pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan, permohonan pailit yang diajukan kepada pengadilan niaga harus memenuhi sejumlah ketentuan, di antaranya adalah pertama, adanya debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau UU yang dapat ditagih di muka pengadilan.
Kedua, terdapat utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Utang atau kewajiban yang dimaksud adalah dapat karena telah diperjanjikan, percepatan waktu penagihan, sanksi atau denda, maupun putusan pengadilan dan arbiter.
Untuk debitur tertentu, UU Kepailitan juga mengatur syarat pengajuan pailit. Apabila debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan Badan Pengawas Pasar Modal.
Jika debitur adalah perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak untuk kepentingan publik, permohonan hanya diajukan Menteri Keuangan. Adapun, apabila debitur adalah bank, maka permohonan hanya diajukan Bank Indonesia.
Selain permohonan pailit, debitur atau kreditur juga bisa memohon adanya PKPU. Langkah ini masih memberikan kesempatan bagi debitur—yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih—bisa dengan mengajukan rencana perdamaian, misalnya membayar utang sebagian atau secara penuh kepada kreditur.
Apabila permohonan PKPU dikabulkan, pengadilan niaga akan memberikan waktu maksimal selama 45 hari untuk memberikan kesempatan kepada debitur untuk mengajukan rencana perdamaian.
Jika pada hari ke-45 belum ada kreditur yang memberikan suara terkait rencana debitur, maka pengadilan akan memberikan waktu lagi maksimal selama 270 hari. Namun, apabila rencana perdamaian ditolak, maka pengadilan akan langsung menetapkan pailit.
Penyebab Pailit
Banyak faktor yang membuat suatu perusahaan terpaksa berakhir pailit. Namun, yang paling sering terjadi adalah ketidakmampuan pemilik perusahaan dalam mengelola perusahaannya agar dapat relevan dengan perkembangan zaman.
“Jangan berpikir secara garis lurus ke depan. Bahwa kalau melakukan ini, maka lima tahun akan balik modal. Nah, kalau ada kerikil dalam perjalanannya bagaimana?” kata Rhenald Kasali, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia kepada Tirto.
Ia mengungkapkan kebanyakan perusahaan yang mengalami pailit selama ini biasanya baru berusia kurang dari lima tahun. Menurut Rhenald, mereka cenderung kurang berhati-hati ketika membentuk PT, padahal belum memiliki pendapatan yang kuat.
Meski begitu, perusahaan yang berusia di atas 25 tahun juga ternyata juga memiliki peluang mengalami pailit. Pasalnya, semakin tua perusahaan, semakin sulit untuk dapat menangkap permintaan konsumen.
“Kalau perusahaan tua itu memang agak kurang bergairah. Apalagi kalau SDM-nya banyak yang tua. Susah kalau untuk dapat relevan dengan kebutuhan konsumen. Beda dengan yang muda, mereka lebih relevan,” tuturnya.
Selain kepekaan dengan kebutuhan konsumen, hal lainnya sering terjadi di suatu perusahaan adalah berhenti melakukan inovasi. Kebutuhan konsumen bisa berubah dengan cepat. Apalagi dengan perkembangan teknologi informasi saat ini. Tren atau produk baru bisa muncul kapan saja.
Apabila produk baru itu sesuai atau relevan dengan permintaan konsumen. Barang lama tentunya siap-siap akan ditinggalkan. Sehingga akan berdampak pada pendapatan, laba, hingga kemampuan keuangan perusahaan seperti kewajiban-kewajiban. Perusahaan tidak boleh berhenti berinovasi agar tetap eksis tanpa kejadian pailit yang bisa menimpa usaha siapa saja.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra