tirto.id - Upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempailitkan PT Asuransi Bumi Asih Jaya akhirnya tuntas, setelah sempat tertahan selama beberapa waktu. Tahun lalu, OJK mengajukan permohonan pailit atas perusahaan asuransi jiwa yang izin usahanya telah dicabut itu. Sayangnya, permohonan OJK waktu itu ditolak oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Majelis hakim yang dipimpin Titik Tedjaningsih menilai permohonan OJK tak memenuhi salah satu syarat dikabulkannya permohonan pailit, yakni debitur memiliki utang yang bisa dibuktikan dengan sederhana. Menurut Titik, masih adanya perkara yang belum selesai di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) membuat perkara di Pengadilan Niaga tersebut menjadi tidak sederhana. Oleh karenanya, tak dapat dikabulkan.
Tidak terima dengan putusan itu, OJK kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 10 Juni tahun lalu. Dua bulan kemudian, MA mengabulkan kasasi dan menyatakan Bumi Asih Jaya dalam pailit. Putusan MA itu sebenarnya sudah dibacakan sejak 28 Agustus 2015, tetapi pemberitahuan resmi dari kurator baru diumumkan 13 Juni lalu dan rapat kreditur akan digelar 19 Juli nanti.
Tiga tahun lalu, tepatnya 18 Oktober 2013, OJK telah mencabut izin operasional perusahaan asuransi jiwa ini. Saat itu, Bumi Asih Jaya tercatat memiliki utang klaim jatuh tempo yang belum dibayar senilai Rp85,6 miliar dari 10.584 pemegang polis.
Jika diurai, sampai pada saat izinnya dicabut, Bumi Asih Jaya menanggung 103.584 polis asuransi perorangan dan 544 asuransi kumpulan. Sebagai sebuah perusahaan asuransi yang sudah berdiri sejak 1967, jumlah pemegang polisnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Sampai kuartal II 2013, empat bulan sebelum izin usahanya dicabut, nilai tanggungan aktif klaim berjalan Bumi Asih mencapai Rp3,4 triliun dengan rincian Rp1,3 triliun untuk asuransi perorangan dan Rp2,1 untuk kumpulan.
Saat ini, jumlah klaim jatuh temponya tentu bertambah. Utang klaim kepada pemegang polis tentu bukan satu-satunya utang. Sebagai sebuah perusahaan, Bumi Asih tentu memiliki perjanjian utang-piutang dengan perusahaan lain seperti perbankan.
Tak hanya Bumi Asih, perusahaan asuransi lain yang juga sudah dicabut izinnya dan dinyatakan pailit adalah Asuransi Jiwa Nusantara. Lalu, ketika perusahaan asuransi pailit, apa yang akan terjadi kepada para pemegang polis? Apakah mereka akan mendapatkan haknya? Apa yang kemudian harus mereka lakukan?
Dalam banyak kasus pailit, aset debitur seringkali tak cukup untuk membayar seluruh utang kepada para kreditor. Sampai akhir 2012, aset Bumi Asih tercatat hanya Rp522 miliar. Dari sini saja sudah tampak jelas bahwa kalaupun seluruh aset berhasil dijual oleh tim kurator, nilainya tak akan mampu membayar seluruh nilai tanggungan aktif klaim para pemegang polis.
Terlebih, para pemegang polis ini masuk pada kategori kreditor konkuren yang merupakan prioritas terakhir dalam pembayaran utang ketika satu perusahaan pailit. Meskipun kecil, harapan tagihan para pemegang polis dibayarkan tentu tetap ada. Oleh karena itu, para pemegang polis sebaiknya tetap mendaftarkan tagihannya kepada kurator dan mengkuti setiap rapat kreditor yang digelar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Setelah tagihan didaftarkan, tim kurator biasanya melakukan pencocokan utang. Jika nilai utang sudah dipastikan, selanjutnya kerja kurator adalah menelusuri aset-aset milik debitur. Peran kurator dalam penelusuran ini sangat penting. Tak jarang debitur melakukan kecurangan-kecurangan dalam bentuk menjual atau membalik nama aset. Kurator boleh melakukan gugatan perdata jika menemukan bukti-bukti kecurangan tersebut.
Setelah seluruh aset didata, yang selanjutnya dilakukan adalah memperkirakan nilai aset. Tugas ini dilakukan tim appraisal. Apabila nilai aset sudah diketahui, maka kurator akan melelang aset-aset yang ada. Hasil penjualan lelang ini lah yang dipakai untuk membayar utang.
Prioritas pertama tentu membayar fee kurator, selanjutnya membayar utang kepada kreditur preferen yang terdiri dari karyawan dan Kantor Pajak. Jika masih ada sisa, prioritas selanjutnya adalah para kreditor separatis, yaitu kreditor yang memegang jaminan. Pemegang polis, berada di urutan terakhir.
Menanti Lembaga Penjamin Polis
Dalam rantai ini, pemegang polis tentu yang paling dirugikan. Alih-alih mendapatkan proteksi dan hasil investasi yang dijanjikan, premi yang mereka bayarkan malah hangus begitu saja. Di titik ini, sebuah lembaga seperti LPS tentu dibutuhkan. Ini penting untuk melindungi para pemegang polis dan penting bagi citra industri asuransi itu sendiri.
Undang-undang tentang Perasuransian yang baru direvisi pada 2014 lalu sebenarnya sudah mengamanatkan pembentukan lembaga penjamin polis itu. Pasal 53 ayat 1 UU No. 40/2014 itu berbunyi, “Perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis.”
Akan tetapi, UU itu tak menjelaskan siapa atau lembaga seperti apa yang akan menjamin polis asuransi. Dalam ayat selanjutnya dikatakan bahwa penyelenggaraan program penjaminan polis ini akan diatur dalam undang-undang yang baru. Pengesahan UU yang baru itu harus dilakukan paling lama tiga tahun sejak UU Perasuransian diundangkan. Itu artinya, paling lama tahun 2017, UU yang mengatur penjaminan polis harus sudah ada.
Metode penjaminan pada perusahaan perbankan tentu akan berbeda dengan perusahaan asuransi. Sebab tabungan berbeda dengan premi. Namun, belum ada kejelasan seperti apa penjaminan yang akan dilakukan lembaga penjamin polis nantinya. Semuanya masih menunggu UU penjamin polis diundangkan.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti