tirto.id - Di masa-masa pencarian identitas, banyak hal yang mulanya tak tampak dari remaja menjadi kasat mata di hadapan orangtua dan lingkungan sekitarnya. Perubahan sikap kerap ditemui dalam diri mereka. Yang mulanya dekat dengan keluarga dan cenderung terbuka, perlahan menjunjung tinggi privasi. Cekcok antara remaja dan orangtua pun sudah menjadi hal yang hampir pasti terjadi.
Bukanlah hal yang tak lazim bila remaja mulai mengenal cinta dan berkencan sejak duduk di bangku sekolah atau kampus. Berbagai momen jatuh-bangun semasa mereka menjalin relasi romantis pun jamak ditemui. Ini adalah bagian dari fase pertumbuhan seseorang, demikian asumsi banyak orang.
Namun, menjadi tidak biasa saat peristiwa-peristiwa terkait percintaan seorang remaja mulai mengganggu aktivitasnya sehari-hari, atau bahkan lebih jauh lagi membuatnya depresi, pendek akal hingga akhirnya memutuskan menuntaskan hidupnya.
Busakorn, seorang gadis 19 tahun di Thailand ditemukan tewas setelah gantung diri di apartemennya. Pada 31 Januari 2017, Malaysian Digestmenulis fenomena bunuh diri Busakorn sedikit berbeda dari bunuh diri remaja yang sebelumnya terjadi karena gadis itu meninggalkan serangkaian wasiat yang ditujukan kepada pemilik apartemen yang ia tinggali, nenek, dan mantan pacarnya. Pada awal surat untuk Mind, mantan pacarnya, Busakorn menyatakan bahwa ia sangat mencintainya dan tidak bisa mencari penggantinya.
“Lakukan apa yang aku katakan atau aku akan menghantuimu setiap malam sepanjang hidupmu. Saat aku mati, kamu harus datang ke pemakamanku,” demikian isi surat Busakorn kepada Mind. “Kamu harus mengenakan kaus hitam dengan foto kita yang tercetak di atasnya yang pernah aku berikan, tinggal di tempatku, setidaknya pada hari pertama dan terakhir upacara pemakaman. Kamu juga harus membuat video tentang diriku dan unggah di akun Facebook-ku. Kamu harus melakukannya. Kamu juga mesti memasukkan lagu ‘The Last Thing of You that I own’ dalam video itu.”
Sementara di India, pada tanggal yang sama, Daily News& Analysis India melaporkan seorang gadis ditemukan tak bernyawa di gorong-gorong di Mainaguri, Bengal Barat setelah mantan pacarnya mempublikasikan foto intim mereka di Facebook. Hal ini menjadi perkara besar bagi gadis yang duduk di kelas 11 ini lantaran ia sudah dijodohkan dengan laki-laki lain dari desanya oleh keluarga.
Sang mantan pacar kemudian mengancamnya akan menyebarluaskan foto-foto kemesraan mereka setelah tahu gadis itu menyetujui pertunangan yang diatur keluarganya. Ayah si gadis mengatakan, “Dia pasti takut pertunangannya batal dan hal ini bisa mencoreng nama baik keluarga.”
Kasus-kasus ini menambah panjang daftar remaja yang melakukan bunuh diri akibat depresi menghadapi problem-problem yang kerap terabaikan oleh orang-orang dewasa. Situs The Telegraph memberitakan bahwa secara khusus, remaja putri lebih rentan terjerat depresi dibanding laki-laki.
Menurut data dari Departemen Pendidikan di Inggris yang meneliti 30.000 remaja usia 14-15 tahun, satu dari tiga remaja putri menderita kecemasan atau depresi. Dibanding sepuluh tahun silam, jumlah remaja penderita kecemasan dan depresi di sana naik 10 persen sehingga peneliti menyebutnya sebagai ‘epidemik yang bertumbuh lambat.’
Lebih lanjut, sebanyak 37 persen remaja putri yang disurvei mengaku mengalami gejala tekanan psikologis seperti perasaan tak berharga atau kesulitan berkonsentrasi, sementara remaja putra yang mengalami hal ini hanya 15 persen.
Manajer kampanye lembaga Young Minds, Nick Harrop, menyatakan kepada The Telegraph, “Remaja putri dewasa ini menghadapi banyak sekali tekanan, mulai dari sekolah, kecemasan terkait citra tubuh, seksualisasi dini, perundungan di ranah offline dan online, serta ketidakpastian akan masa depan selepas sekolah.”
Ia juga menambahkan, media sosial memegang peranan pula dalam memicu tekanan yang dialami remaja putri. Mereka dituntut untuk menciptakan personal branding sejak usia muda dan mencari penguatan dari orang sekitar dalam bentuk likes dan shares.
Penelitian terhadap remaja di Amerika pun menunjukkan tren yang serupa dengan di Inggris. Seperti dikutip The New York Times, sejak 2005 hingga 2014 tingkat depresi remaja usia 12-20 tahun yang menanjak terdapat dalam temuan riset The National Surveys on Drug Use and Health. Lebih jauh lagi dalam hasil riset mereka, remaja usia 18-20 tahun menunjukkan kenaikan depresi yang signifikan.
Akibat terburuk dari sebuah depresi yang dialami siapa pun adalah keinginan bunuh diri. Banyak studi yang telah meneliti mengenai kecenderungan remaja untuk bunuh diri ketika tidak bisa menyelesaikan masalah. Center for Disease Control and Prevention mengumumkan pada November 2016 silam bahwa berdasarkan data tahun 2014, tingkat bunuh diri pada remaja usia 10-14 tahun meningkat hingga angkanya mampu menyaingi jumlah kematian remaja akibat kecelakaan lalu lintas.
Mengenali Tanda Depresi pada Remaja
Saat melihat remaja tiba-tiba berubah air muka atau sering menangis, orang kerap mengabaikan hal ini dan mengasumsikannya sebagai dampak dari perkembangan hormonal yang salah satunya berpengaruh pada suasana hati. Situs Newport Academy mengutip Nemours Foundation yang menyatakan bahwa kebanyakan perubahan suasana hati pada remaja merupakan dampak fluktuasi estrogen, progesteron, dan testosteron.
Ketiga hormon ini adalah hormon seks yang memicu ketertarikan seseorang dengan orang lain. Remaja menjadi begitu tertarik pada seks, bahkan tak jarang sampai terobsesi. Pada remaja putri yang baru mengalami menstruasi, emosi yang meledak-ledak kerap kali ditemukan dan diasosiasikan dengan pre-menstrual syndrome (PMS). Cap semacam ini yang pada akhirnya membuat orang luput mencari tahu lebih jauh apa yang sebenarnya sedang dialami remaja, yang sangat mungkin pula adalah gejala depresi.
Dalam situs Helpguide tercantum beberapa gejala depresi yang dialami oleh remaja. Hal yang paling umum ditemui adalah perasaan sedih dan putus asa. Mudah tersinggung dan sering menangis menjadi gejala lain yang kerap ditemukan dalam diri mereka. Depresi pada remaja juga menyebabkan performa mereka menurun di sekolah, mengalami perubahan nafsu makan dan kebiasaan tidur, dan kesulitan berkonsentrasi.
Di samping itu, remaja pun merasa kurang antusias dan termotivasi dalam menjalani hari serta sering kali terganggu rasa nyeri dan kelelahan tak beralasan. Gejala terakhir yang berisiko paling berbahaya adalah munculnya keinginan untuk bunuh diri.
Pendekatan Orangtua terhadap Remaja yang Depresi
Kepala divisi psikiatri anak dan remaja dari NorthShore University Health System, Dr. Benjamin Shain mengungkapkan kepada The Telegraph bahwa orangtua cenderung memberikan nasihat secara impulsif saat berhadapan dengan anak remaja yang bermasalah atau depresi.
“Seharusnya dalam perbincangan orangtua dan remaja, 90%nya diisi dengan orangtua mendengarkan masalah mereka,” ujarnya. Selebihnya menurut Shain, orangtua tidak sepatutnya memberi solusi langsung atas permasalahan mereka, tetapi membimbing anak remajanya menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.
Media sosial disebut sebagai salah satu penyebab remaja depresi, dan yang sering kali orangtua lakukan ketika mendapati hal ini adalah serta merta menyita ponsel mereka. Dalam pandangan Dr. Shain, hal ini malah memperburuk keadaan.
“Remaja cenderung merasa lebih trauma ketika orangtua membatasi aktivitas mereka di media sosial dibanding berhadapan dengan suatu masalah di luar konteks keluarga yang membuat depresi. Media sosial adalah cara mereka terhubung dengan teman-teman, cara mereka mendapat dukungan dan berkomunikasi dengan dunia luar. Orangtua yang merebut kebebasan anak untuk mengakses media sosial hanya akan menciptakan anak yang terisolasi," kata Stain.
Penting untuk diingat bahwa dalam keadaan depresi, remaja menjadi lebih sensitif dari biasanya. Pendekatan yang berbeda pun perlu dilakukan oleh orangtua, misalnya melalui cara berkomunikasi. Alih-alih menghakimi dan menggunakan bahasa lugas, orangtua bisa memilih cara yang lebih halus untuk memotivasi anak remajanya.
Menurut Stephanie Dowd, PsyD dalam tulisannya di situs Child Mind Institute, dibanding menyuruh secara langsung anak yang sedang depresi untuk berhenti mengurung diri dan mulai melakukan sesuatu, orangtua dapat mengatakan, “Saya akan pergi ke mal membeli beberapa hal. Kabari saya kalau kamu mau ikut dan mungkin kita bisa makan siang bersama.”
Kehadiran dan kesediaan orangtua untuk menerima kondisi anak remaja yang sedang depresi dipandang Dowd lebih penting dan mampu menguatkan relasi orangtua dan anak remaja.
====================
Hotline layanan kesehatan jiwa (termasuk dorongan untuk bunuh diri): 500-454
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani