tirto.id - Wajah Menko Perekonomian Darmin Nasution terlihat cerah. Ia hendak memberi kabar baik pada negeri ini. Pada Rabu (26/10/2016), Menko Darmin mengumumkan kenaikan peringkat Kemudahan Berbisnis 2017 atau Ease Doing Business 2017. Tak hanya kenaikan peringkat, Indonesia juga masuk di jajaran top reformer karena berhasil melakukan perbaikan di tujuh indikator dari total 10 indikator.
Kemudahan Berbisnis Indonesia ada di peringkat 91. Ini merupakan peningkatan dari peringkat 109 pada 2016. Peringkat Kemudahan Berbisnis Indonesia secara berturut-turut pada 2014 dan 2015 masing-masing 120 dan 114.
Yang istimewa dari pemeringkatan kali ini adalah masuknya Indonesia dalam 10 negara top reformer bersama dengan Brunei Darussalam, Kazakhstan, Kenya, Belarusia, Serbia, Georgia, Pakistan, Uni Emirat Arab, dan Bahrain.
Menurut Menko Darmin, masuknya Indonesia dalam top reformer karena ada perbaikan peringkat untuk 7 indikator yakni indikator memulai usaha, registrasi properti, perolehan sambungan listrik, pembayaran pajak, akses kredit, perdagangan lintas barang, dan penegakan kontrak.
Indonesia tidak mengalami kenaikan peringkat untuk tiga indikator yakni izin konstruksi, perlindungan investor minoritas, resolving insolvency (indikator untuk mengukur birokrasi kepailitan).
Bank Dunia mencatat, 137 negara di berbagai belahan dunia telah mengadopsi reformasi kunci untuk membuat UKM mudah dalam memulai dan mengoperasikan bisnisnya. Sepuluh besar negara paling efisien untuk berbisnis: Selandia Baru, Singapura, Denmark, Hong Kong, Cina, Korea, Norwegia, United Kingdom, Amerika Serikat, Swedia, dan Macedonia.
“Aturan sederhana yang mudah diikuti adalah tanda-tanda bahwa pemerintah memperlakukan rakyatnya dengan hormat. Mereka menikmati keuntungan ekonomi langsung – lebih berwirausaha, peluang pasar yang lebih banyak bagi wanita, kepatuhan terhadap hukum,” jelas Paul Romer, Kepala Ekonom dan Senior Vice President Bank Dunia.
Menuju Peringkat Investasi
Kenaikan peringkat Kemudahan Berbisnis Indonesia merupakan buah dari serangkaian perbaikan yang dilakukan pemerintah. Capaian ini memang masih jauh dari target Presiden Jokowi yang ingin peringkat Kemudahan Berbisnis Indonesia Masuk 40 Besar pada 2017. Target tersebut sebelumnya ditetapkan Presiden Jokowi dalam rapat terbatas mengenai Ease of Doing Business pada 9 Mei 2016 lalu.
“Langkah-langkah perbaikan diperlukan karena saya ingin agar peringkat ease of doing business bisa diturunkan dari peringkat yang sekarang adalah 109 menjadi peringkat yang ke-40,” urai Presiden Jokowi.
Paket Kebijakan XII dikeluarkan karena dianggap sebagai kebijakan yang bisa menjangkau 10 indikator tingkat kemudahan berusaha. Presiden Jokowi berpesan agar Paket Kebijakan XII benar-benar dijalankan. “Jangan sampai hanya di tertulisnya, tapi di lapangannya belum sesuai dengan apa yang kita inginkan,” jelas Presiden Jokowi.
Langkah-langkah perbaikan ini bukan hanya ditujukan untuk peringkat kemudahan berusaha, tetapi juga menggapai investment grade atau peringkat layak investasi. Saat ini, S&P memberikan peringkat BB+ dengan outlook Stabil untuk Indonesia. Sementara Moody’s memberikan peringkat Baa3 dengan outlook stabil, Fitch memberikan peringkat BBB- dengan outlook stabil. Japan Credit Rating Agency Ltd (JCR) memberikan peringkat BBB- dengan outlook stabil.
Presiden Jokowi menekankan pentingnya peringkat layak investasi agar akses Indonesia ke pasar keuangan internasional semakin luas, dengan biaya perolehan dana (cost of fund) yang lebih rendah. Juga biaya dana pasar internasional korporasi yang juga lebih murah, meningkatkan persepsi positif terhadap Indonesia yang artinya mendorong peningkatan arus modal masuk, arus uang masuk, arus investasi masuk ke Indonesia.
“Untuk itu saya minta dilakukan langkah-langkah perbaikan dari aspek institusional, ekonomi eksternal, fiskal, dan moneter sehingga kita betul-betul mencapai pada grade layak investasi,” jelas Presiden Jokowi.
Kemudahan Berbisnis dan Suku Bunga
Untuk menggaet banyak investor, pemerintah memang telah melakukan serangkaian perbaikan berbisnis, salah satunya adalah kemudahan perizinan. Andalan pemerintah yang diluncurkan Presiden Jokowi di awal pemerintahannya adalah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Hadirnya PTSP telah banyak memangkas birokrasi sehingga permulaan bisnis menjadi semakin mudah.
Berdasarkan indikator Kemudahan Berbisnis 2017, permulaan bisnis di Indonesia membutuhkan waktu selama 151 hari. Ini perbaikan dari Ease Doing Business 2016 selama 167 hari. Indonesia masih lebih baik ketimbang India (155) dan Filipina (171). Namun, kalah dari Malaysia (112) dan Cina (127). Peringkat pertama adalah Selandia Baru hanya 1 hari.
Catatan Indonesia itu juga masih jauh dari rata-rata memulai berbisnis di dunia yang kini hanya 21 hari. Ini peningkatan pesat dibandingkan 46 hari pada 10 tahun. Bank Dunia mencatat kemudahan berbisnis di dunia karena pemerintah banyak melakukan reformasi kunci-kunci bisnis.
Dari sisi Kemudahan Berbisnis, Indonesia memang sudah mengalami perubahan yang signifikan. Namun, pelaku usaha masih mendapatkan banyak hambatan dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia. Salah satunya adalah tingkat suku bunga kredit di Indonesia yang masih sangat tinggi.
Suku bunga kredit di Indonesia saat ini masih merupakan yang termahal. Malaysia, negara terdekat yang bisa menjadi pesaing Indonesia, suku bunga kreditnya hanya berkisar 4 persen. Sementara Thailand berkisar 3,9 – 8,9 persen. Bandingkan dengan Indonesia yang suku bunga dasar kredit mikronya masih berkisar 14,1 persen. Itupun adalah suku bunga dasar dari Bank Indonesia.
Tingginya suku bunga kredit ini memang sudah lama menjadi salah satu ganjalan. Di sejumlah forum, Wakil Presiden Jusuf Kalla kerap menyinggung soal bunga kredit yang tinggi. Wapres JK tampak geram dengan fakta bahwa suku bunga perbankan Indonesia masih merupakan yang tertinggi di Asia.
Tahun lalu misalnya, dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2015 di Balai Sidang Jakarta, Wapres JK menyebut tingginya suku bunga perbankan sebagai kelemahan Indonesia dalam persaingan bisnis dengan negara lain.
"Kalau tingkat suku bunga kita masih sekitar 11 persen, dan di Malaysia hanya 5 persen, maka kita kalah," katanya. Menurutnya, untuk meningkatkan pertumbuhan investasi di Indonesia, bank harus memberikan tawaran menarik bagi pelaku usaha. Suku bunga kredit rendah adalah salah satunya.
Pada 15 April lalu, BI mengumumkan penggunaan suku bunga acuan baru bernama BI 7-day Reverse Repo Rate (Repo Rate) yang berlaku mulai 19 Agustus. Ia menggantikan BI Rate yang sejak 2005 dijadikan suku bunga acuan. Suku bunga acuan ini diharapkan bisa membantu menurunkan suku bunga kredit, meski dalam jangka panjang.
Para pengusaha yang sudah mendapatkan kemudahan untuk memulai investasinya masih harus bersabar menantikan turunnya suku bunga kredit menjadi satu digit saja.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Suhendra