Menuju konten utama

KemenPPPA: Stigmatisasi Anak dengan HIV/AIDS Masih Tinggi

Stigmatisasi pada ADHA memiliki dampak besar pada kehidupan anak seperti dampak kekerasan dan pengucilan.

KemenPPPA: Stigmatisasi Anak dengan HIV/AIDS Masih Tinggi
Pendiri dan pengasuh tempat singgah dan panti asuhan Rumah Aira, Maria Magdalena bermain dengan seorang anak balita yang terinfeksi HIV/AIDS, di Rumah Aira, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (21/11/2019). ANTARA FOTO/R. Rekotomo/ama.

tirto.id - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan masih banyak tantangan dalam melakukan pemenuhan hak terhadap Anak dengan HIV/AIDS (ADHA).

Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus KemenPPPA Elvi Hendrani, menilai stigmatisasi terhadap ADHA masih tinggi di Indonesia.

“Masih rendahnya pemahaman masyarakat Indonesia mengenai pemenuhan anak dengan HIV/AIDS itu sendiri menjadi tantangan dalam upaya memenuhi perlindungan terhadap mereka,” ujar Elvi dalam webinar yang diikuti secara daring, Senin (10/4/2023).

Anak dengan HIV/AIDS (ADHA) termasuk salah satu dari lima belas anak yang mendapatkan kategori perlindungan khusus yang telah diatur pada pasal 59 Undang-Undang 35 tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2021.

“Anaknya sendiri kelompok rentan dan menjadi tambah rentan lagi karena HIV/AIDS,” kata Elvi.

Ia menemukan banyak stigmatisasi pada ADHA yang memiliki dampak besar pada kehidupan anak tersebut. Elvi menekankan bahwa kondisi HIV/AIDS pada anak bukan kesalahan mereka.

“Dari sisi mereka menerima intervensi kesehatan dari jarum suntik misalnya, dari transfusi darah atau dari orang tuanya. Artinya mereka ini bukanlah kesalahan mereka tapi mereka terdampak dari perilaku salah orang dewasa,” sambung Elvi.

Elvi menyampaikan, Orang dengan HIV yang ditemukan pada Januari-Maret 2022 sebanyak 10.552 kasus. Sementara jumlah bayi yang masuk ke dalam kelompok terkena HIV kurang lebih ada 20 kasus dari 328 bayi yang dites.

“Sebagian besar bayi/anak yang terkena karena ibu saat kehamilan, dan ibu pun banyak yang tertular dari Ayah atau lingkunganya,” kata Elvi.

Selain itu, menurut Elvi, kurang dari 10 persen anak-anak tertular melalui jarum yang terkontaminasi.

“Atau pun yang ini lebih miris lagi, karena kekerasan dari orang dewasa, kekerasan seksual yang dilakukan orang dewasa terhadap anak,” tuturnya.

Stigmatisasi pada ADHA salah satunya berdampak pada akses pendidikan yang terputus sehingga anak-anak tersebut tidak bisa melanjutkan sekolah.

“Dampak dari stigma ini adalah dampak kekerasan juga yang mereka terima, pengucilan dan sebagainya,” tambah Elvi.

Elvi menilai masih terdapat masalah akses pada obat dan pengobatan yang sulit dijangkau bagi seluruh ADHA. Ia menilai obat-obatan ini tidak merata sehingga ADHA terpaksa harus mengkonsumsi obat orang dewasa.

Selain itu, alat tes untuk HIV/AIDS untuk anak-anak masih terdapat kesulitan akses atau kekurangan akses, sehingga masih memakai alat untuk orang dewasa.

“Sangat mahal atau tidak tersedia atau tidak tercover BPJS, semoga ini sudah tercover ini kita sudah komunikasi,” tutup Elvi.

Baca juga artikel terkait HIV AIDS atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri