tirto.id -
Chief Digital Transformation Office (DTO) Kementerian Kesehatan RI Setiaji, menyampaikan bahwa pihaknya tengah merancang untuk menambahkan fitur pantauan kualitas udara di aplikasi Satu Sehat.
“Next-nya, kita sedang susun sampai dengan 2029 data tersebut adalah One Health. Tidak hanya dari sisi kesehatan, tapi juga polusi lingkungan,” kata Setiaji di Kantor Kementerian Kesehatan, Selasa (30/5/2023).
Hingga 2024, kata Setiaji, aplikasi Satu Sehat akan berfokus membenahi pondasi dan standar aplikasi terlebih dahulu.
Ia menyatakan bahwa nantinya penting agar ada tambahan fitur monitoring lingkungan, karena itu merupakan bagian dari faktor penyebab penyakit.
“Makanya penting kita connect dengan sistem kesehatan atau pun data lain lingkungan dan sebagainya,” lanjut Setiaji.
Mengenai detail fitur tersebut, Setiaji belum bisa berkomentar banyak karena masih sebatas rancangan. Namun, ia menyampaikan bahwa ada kemungkinan data pantauan kualitas udara diambil dari Dinas Lingkungan Hidup.
”Misalnya, data polusi di wilayah Jakarta yang diproduksi dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH), itu akan kita consume sehingga kita bisa berikan aware terhadap orang-orang yang tinggal di sana. Misalnya, dari sisi penyakit paru-paru dan sebagainya,” jelas Setiaji.
Sedangkan kualitas udara, khususnya di DKI Jakarta atau Jabodetabek menjadi sorotan karena memunculkan indeks kualitas yang buruk.
Dari pantauan Tirto melalui laman IQAir sore ini, konsentrasi PM2,5 di udara Jakarta pada Selasa pukul 16.00 WIB, mencapai 56µg/m³ atau sama dengan 11,2 kali di atas ambang aman kualitas udara tahunan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Tjandra Yoga Aditama, ada tiga kemungkinan dampak polusi udara pada kesehatan.
Pertama, menimbulkan penyakit infeksi akut seperti ISPA, dalam bentuk radang tenggorok atau bronkitis. Kedua, juga menyebabkan perburukan dari penyakit kronik.
“Misalnya, seseorang yang memang punya asma akan lebih mudah dapat serangan asma kambuh, begitu juga pasien PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) akan lebih mungkin eksaserbasi akut,” kata Tjandra kepada reporter Tirto, Selasa (30/5/2023).
Tjandra menambahkan, jika polusi udara terjadi terus menerus selama berkepanjangan maka secara teoritis dapat menimbulkan penyakit paru kronik, namun karena polusi udara di Jakarta berfluktuasi, jadi yang terjadi bukan dampak berkepanjangan.
“Jadi dampak terjadinya penyakit paru kronik sampai mungkin kanker paru dan lain-lain bukan lah terjadi akibat polusi udara yang memburuk hanya dalam beberapa hari atau minggu saja seperti sekarang ini,” sambung Tjandra.
Baca juga artikel terkait KUALITAS UDARA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur
tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri