tirto.id - Polemik soal larangan rapat di hotel yang diprotes pengusaha yang tergabung dalam Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) berlanjut. Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar Baharuddin bahkan menyebut berita itu hoaks dan mendiskreditkan lembaga.
“Kami sampaikan hingga saat ini Mendagri atau pejabat di lingkungan Kemendagri tidak pernah membuat larangan rapat-rapat aparatur di hotel-hotel,” kata Bahtiar melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (14/2/2019).
Bahtiar bahkan mengklaim institusinya seringkali dalam kegiatan yang melibatkan banyak peserta selalu digelar di hotel, baik di wilayah Jakarta maupun di sejumlah daerah lainnya.
“Termasuk kegiatan Rapat Koordinasi Nasional Bidang Kehumasan dan Hukum yang dilaksanakan di Hotel Bidakara Jakarta pada Senin, 11 Februari 2019 dan Selasa, 12 Februari 2019 Rapat Koordinasi jajaran Kesbangpol di Hotel Clarion Jalan Pettarani Makasar Sulawesi Selatan,” kata Bahtiar.
Karena itu, kata Bahtiar, informasi soal larangan rapat di hotel yang dikeluhkan PHRI tidak berdasar dan menyesatkan.
Sebab, kata dia, Mendagri Tjahjo Kumolo hanya memberikan arahan kepada staf internal agar menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP), khususnya terkait pelayanan konsultasi evaluasi rancangan Perda APBD sebagai respons atas kasus dugaan penganiayaan pegawai KPK, di Hotel Borobudur Jakarta beberapa waktu lalu.
Pernyataan Bahtiar itu menjawab keluhan Ketua Umum PHRI, Haryadi Sukamdani saat acara “HUT ke-50 PHRI” di Jakarta, Senin (11/2/2019) malam.
Hariadi dalam acara yang dihadiri Presiden Joko Widodo itu menilai kebijakan melarang rapat di hotel mengancam keberlangsungan industri perhotelan di tanah air.
“Ini akan memukul perusahaan perhotelan. Bila ingin efisiensi biaya maka solusinya adalah mengelola anggaran dengan lebih cermat,” kata Hariyadi dalam pidatonya di HUT ke-50 PHRI.
“Bukan dengan melarang kegiatan di hotel. Seolah menjadikan hotel kambing hitam,” kata Haryadi.
PHRI Bantah Sebar Hoaks
Hariyadi Sukamdani pun membantah bila keluhan yang ia sampaikan disebut sebagai hoaks. Sebab, kata Hariyadi, informasi itu ia peroleh dari berita media online yang sudah terlebih dahulu terbit pada 6 Februari 2019.
Hariyadi menyatakan tuduhan hoaks yang disampaikan Kemendagri sudah seharusnya diarahkan pada kantor berita yang membuatnya.
“Kalau itu tidak benar, ya kantor beritanya yang enggak benar. Kami, kan, enggak terlibat. Apa urusan kami menyebarkan info seperti itu,” kata Hariyadi ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (14/2/2019).
Namun, ketika ditanya lebih jauh soal pidatonya waktu perayaan HUT PHRI, Hariyadi tak banyak berkomentar.
Hariyadi berharap permasalahan ini tidak diperpanjang karena sudah ada kabar bahwa larangan itu memang tidak ada.
“Ini udah case close. Itu kalau memang enggak ada, ya sudah. Kami menyambut baik informasi itu,” kata Hariyadi.
Hariyadi hanya menginginkan bahwa larangan penggunaan hotel untuk kegiatan aparat pemerintahan tidak terulang. Menurut dia, selama Desember 2014 hingga Maret 2015, pengaruh yang dirasakan industri perhotelan besar.
Ia mengklaim secara nasional, industri perhotelan mengalami penurunan okupansi yang signifikan saat pemerintah melarang aparatur pemerintah rapat di hotel pada Desember 2014 hingga Maret 2015.
“Kami ada pengalaman pahit di 2015. Ada hotel yang okupansinya di bawah 10 persen dan hampir tutup,” kata Hariyadi mengenang kejadian itu.
"Kebanyakan tamunya dari pemerintahan,” lanjut Hariyadi.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya memandang wajar bila terdapat pelaku usaha yang mengharapkan adanya alokasi anggaran yang diarahkan ke sektornya.
Namun, kata Berly, pemerintah tak seharusnya melupakan prinsip dari anggaran itu sendiri yang notabene memberikan manfaat untuk masyarakat luas. Menurut Berly, dalam kasus ini negara bisa saja memberikan sejumlah alokasi, tapi tidak boleh jadi yang utama.
"Jadi bukan peranan pemerintah untuk menyubisidi sektor tertentu secara permanen, kecuali rakyat miskin,” kata Berly kepada reporter Tirto usai konferensi pers bertajuk "Tawaran Indef untuk Agenda Strategis Pangan, Energi, dan Infrastruktur" di ITS Tower, Kamis (14/2/2019).
“Pelaku usaha tidak bisa memaksa pemerintah,” kata Berly.
Sebaliknya, Berly melihat industri perhotelan perlu mencari target pasar di luar kegiatan pemerintah. Misalnya masyarakat atau pengusaha yang sedang dalam perjalanan bisnis, maupun turis lokal dan asing.
Dengan demikian, Berly menilai, selain mampu meningkatkan daya saing, pengelolaan hotel di Indonesia dapat dipacu menaikkan standarnya karena menyasar kalangan pebisnis. Termasuk di dalamnya kalangan kelas menengah dan menengah atas.
“Perlu diubah [target pasar]. Harusnya hotel bukan target utamanya ke pemerintah. Bukan peran pemerintah untuk menyubsidi sektor mana pun,” ucap Berly.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz