Menuju konten utama

Keluarga Korban Kasus Paniai Tidak Mau Terlibat dalam Persidangan

Mereka tidak mau terlibat dalam proses pengadilan pelanggaran HAM berat perkara Paniai lantaran mengadili tersangka yang tidak sesuai fakta.

Keluarga Korban Kasus Paniai Tidak Mau Terlibat dalam Persidangan
kendaraan melintas dekat seni mural bertema hak asasi manusia (ham) di jalan letjen s. parman, depan kampus universitas trisakti, jakarta, rabu (8/6). mural tersebut untuk terus mengingatkan dan tidak lupa akan kasus pelanggaran ham yang hingga kini belum tuntas pengusutannya. antara foto/aprillio akbar/foc/16.

tirto.id - Keluarga korban, saksi, dan pendamping enggan terlibat dalam proses pengadilan pelanggaran HAM berat perkara Paniai di Pengadilan Negeri Makassar. Salah satu pendamping perkara, Yones Douw mengklaim sejak awal pengadilan hanya satu tersangka, seorang purnawirawan TNI yang diadili.

“Kami tidak akan mengikuti proses pengadilan tersebut sejak awal sampai akhir, karena tersangka yang diadili hanya satu orang purnawirawan TNI,” kata salah satu pendamping perkara, Yones Douw, dalam keterangan tertulis dikutip Sabtu (17/9/2022).

Dia menjelaskan kasus ini hanya mengadili tersangka yang tidak sesuai fakta dan negara dianggap tengah melindungi para pelaku pelanggaran HAM berat Paniai. "Kami keluarga korban 4 siswa dan 21 korban luka-luka, saksi dan pendamping menyatakan bahwa tidak ada yang menyelesaikan kasus HAM berat Paniai di Makassar. Hanya ada pengadilan sandiwara,” sambung Yones.

Jika dalam persidangan ada saksi yang mewakili keluarga korban, maka para penolak mengklaim itu merupakan permainan pemerintah lantaran mereka tak memberikan surat kuasa. Sementara, Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro mengungkapkan bahwa Pengadilan HAM yang berada di Pengadilan Negeri Makassar akan segera menggelar kasus Paniai, Rabu, 21 September 2022.

Adapun terdakwa ialah Mayor Infanteri (Purn.) Isak Satu. Sementara itu, Mahkamah Agung juga telah menetapkan beberapa majelis hakim yang akan mengadili kasus Paniai.

“Perkara tersebut akan disidangkan oleh majelis hakim yang terdiri dari Sutisna Sawati sebagai ketua majelis, dengan didampingi Abdul Rahman Karim, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu dan Sofi Rahma Dewi masing-masing sebagai hakim anggota," ucap Nganro, Senin (12/9/2022).

Pada 3 Februari 2020, Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM memutuskan peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014 sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Pada proses pengusutan perkaranya, salah satu pihak yang menilai penyelidikan dan penyidikan kasus ini ada kejanggalan adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Kejanggalan pertama, Kejaksaan Agung hanya menetapkan satu satu terdakwa yakni Isak Sattu yang dianggap bertanggung atas peristiwa Paniai. Padahal Komnas HAM sebagai penyelidik telah menyebutkan beberapa kategori pelaku yang perlu diusut, yakni Komando Pembuat Kebijakan, Komando Efektif di Lapangan, Pelaku Lapangan, dan Pelaku Pembiaran.

Kedua, Kejaksaan Agung tidak menyelenggarakan penyidikan yang transparan dan akuntabel lantaran tidak melibatkan Penyidik Ad Hoc (dimungkinkan dengan diatur dalam Pasal 21 ayat 3 UU 26/2000) dan juga minim melibatkan para penyintas dan keluarga korban sebagai pihak yang seharusnya didampingi dan diperjuangkan keadilannya.

Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti menyatakan dalih Kejaksaan Agung malah menunjukkan posisi negara yang mengabaikan suara korban dan publik sejak peristiwa terjadi. Ketiga, Kejaksaan Agung belum memenuhi hak para korban, penyintas dan keluarga korban Paniai. Koordinasi seharusnya dibangun antara Kejaksaan Agung, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam memberikan perlindungan dan memperjuangkan hak para penyintas dan keluarga korban.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM DI KASUS PANIAI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Intan Umbari Prihatin