Menuju konten utama

Kelahiran Mesin Penerjemah dan Masa Depan Google Translate

Mesin penerjemah lahir dari proses yang panjang hingga adanya Google Translate dan terkini adanya Google Pixel Buds.

Kelahiran Mesin Penerjemah dan Masa Depan Google Translate
Ilustrasi Google Translate. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Satu hari Sergey Brin menerima surat dari seorang fans. Google sebagai perusahaan teknologi memang punya banyak fans dari berbagai belahan dunia. Namun, sialnya surat itu berbahasa Korea, bahasa yang tak dikuasai oleh salah seorang pendiri Google tersebut.

Brin sangat penasaran dengan isi keseluruhan surat sang penggemar. Brin lantas menerjemahkan surat itu melalui mesin penerjemah yang ia punya. Sepenggal surat itu kemudian tertulis: “The sliced raw fish shoes it wishes. Google green onion thing!”

Brin harus mengernyit setelah membaca hasil mesin pembaca itu. Dari sinilah inspirasi membuat mesin penerjemah yang andal, hingga akhirnya lahir Google Translate. Dengan kemampuan yang belum sempurna, Google Translate cukup sukses mengisi ceruk layanan penerjemah di dunia internet.

Pada Kamis (5/9/2017) malam waktu Indonesia, Google Translate bakal melaju lebih jauh saat usianya menginjak 11 tahun. Google Translate terintegrasi secara langsung dengan produk terbaru Google bernama Google Pixel Buds.

Google Pixel Buds merupakan earbuds buatan Google. Ia hampir serupa dengan Apple Earpods. Namun Pixel Buds bukanlah sembarang earbuds. Ia lebih cocok dipanggil “smartbuds.” Bekerja selayaknya Google Home, dan dapat langsung menerjemahkan suatu percakapan hingga 40 bahasa berbeda.

Tentu, Pixel Buds hanyalah sebuah perangkat semata. Google Translate merupakan mesin utama sesungguhnya atas kemampuan Pixel Buds tersebut. Merujuk klaim Google melalui blog resminya, Google Translate telah digunakan oleh sekitar 500 juta pengguna dengan lebih dari 100 miliar kata per hari diterjemahkan. Kegiatan menerjemahkan di Google Translate paling populer adalah dari Inggris ke Spanyol, Arab, Rusia, Portugal, dan Indonesia.

Kuatnya bahasa Inggris dalam dunia menerjemahkan bukanlah sesuatu yang mengherankan. Kai L. Chan dalam laporannya bertajuk “Power Language Index” mengungkapkan bahwa atas 2.000 bahasa yang dituturkan orang-orang di seluruh dunia, bahasa Inggris didaulat sebagai bahasa paling perkasa di dunia. Selepas bahasa Inggris, bahasa terkuat lainnya secara berurutan ialah Mandarin, Perancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jerman, Jepang, Portugal, dan India.

Infografik Google Translate

Sebelum Google Translate

Layanan semacam Google Translate tak bisa dipungkiri menjadi jembatan penghubung antara orang-orang dari berbagai bahasa di dunia. Besarnya jumlah pengguna dan kata yang diterjemahkan oleh Google Translate merupakan bukti betapa mesin ini menjadi kebutuhan warganet, dan lahir dari proses yang panjang.

Cikal bakal mesin penerjemah sudah ada sejak 1951. Massachusetts Institute of Technology (MIT) menjadi yang pertama melakukan penelitian soal teknologi ini. Setelahnya, tim peneliti dari Georgetown University melangkah lebih jauh. Mereka sukses membuat mesin penerjemah bilingual otomatis yang bekerja secara sederhana mirip seperti seseorang mencari kata terjemahan menggunakan kamus. Input kata dalam bahasa A menghasilkan output padanan kata itu dalam bahasa B. Kemudian, kata-kata tersebut disusun dengan urutan persis sama dengan kalimat yang di-input.

Dari sisi teoritis cikal bakal mesin penerjemah bisa ditarik lebih jauh dari apa yang dilakukan peneliti MIT maupun Georgetown University. Pada 1949, Warren Weaver dalam tulisannya berjudul “Translation” mencetuskan sebuah ide mesin penerjemah yang menggunakan model statistik. Translasi menggunakan pemodelan statistik terinspirasi dari kekuatan neural network versi awal.

Penggunaan pemodelan statistik tersebut, konon mampu mengatasi permasalahan logika-logika bahasa seperti apa yang terjadi pada mesin-mesin penerjemah otomatis awal yang bekerja selayaknya kamus. Uniknya, pemikiran inilah yang kemudian hari dimanfaatkan Google melalui Google Translate.

Sayang, selepas dua capaian soal mesin penerjemah itu, tak ada perkembangan berarti selanjutnya yang muncul. Barulah di dekade 1990-an pengembangan mesin translasi otomatis kembali bergairah. Seorang insinyur IBM bernama Frederick Jelinek ialah otak di balik pengembangan lanjutan ranah ini. Kerja teoritikal Weaver soal pemodelan statistik, dilanjutkan oleh Jelinek.

Kemudian, capaian lanjutan perihal mesin translasi otomatis hadir pada 2006. Kala itu Google akhirnya melahirkan layanan barunya bertajuk Google Translate. Lahirnya Google Translate pada 2006 tak serta merta menggunakan kerja teoritis Weaver.

Di awal kemunculannya Google menggunakan sistem bernama SYSTRAN untuk proses penerjemahan yang dilakukan Google Translate. Selain dimanfaatkan Google, SYSTRAN pun dimanfaatkan berbagai layanan sejenis sebagai motor penggeraknya. Mesin penerjemah dari Yahoo dan AOL, di masa awal kemunculannya, juga menggunakan SYSTRAN.

Barulah pada 2007, apa yang dipikirkan Weaver, digunakan Google. Alias, Google Translate menggunakan algoritma pemodelan statistik guna menerjemahkan kata atau kalimat. Selain soal algoritma tersebut Google Translate bekerja dengan menghimpun begitu banyak translasi yang dilakukan manusia atas jutaan dokumen.

Namun, perkara menerjemahkan bukanlah soal mudah. Terutama jika dilakukan mesin, bukan manusia. Cukup banyak cerita perihal buruknya terjemahan yang dilakukan Google Translate. Seseorang sangat mudah mengenali secara langsung sebuah naskah terjemahan yang dihasilkan dari buah tangan mesin. Kemudian, pijakan yang cukup berarti mengatasi masalah mendasar itu, baru hadir pada 2016.

Baca juga:

Melalui publikasi di blog resmi, Google mengumumkan sebuah teknologi baru bernama Google Neural Machine Translation (GNMT). Teknologi ini menerjemahkan suatu bahasa memanfaatkan teknologi neural machine. Suatu teknologi yang bekerja selayaknya otak mamalia. Neural machine bukanlah barang baru bagi Google.

AlphaGo, program kecerdasan buatan karya Google yang khusus dirancang untuk bermain catur Go telah menyematkan neural engine lebih dahulu. AlphaGo memproses ribuan bahkan jutaan permainan Go dan memainkannya sendiri. Proses belajar itulah yang kemudian dijadikan pijakan saat AlphaGo bermain catur Go sungguhan. Google Translate juga menggunakan cara yang sama dalam menerjemahkan suatu kalimat, paragraf, hingga naskah panjang.

Dalam jurnal berjudul “Google's Neural Machine Translation System: Bridging the Gap between Human and Machine Translation” yang dipublikasikan Google, pengguna neural engine pada Google Translate diklaim mampu meningkatkan tingkat keakuratan terjemahan.

Untuk menentukan seberapa akurat suatu terjemahan Google membuat index dengan skala 0 hingga 6. Proses terjemahan dari Inggris ke Spanyol, dengan Google Translate yang menggunakan GNMT memperoleh index sebesar 5,43.

Sementara itu, penerjemah yang dilakukan manusia memperoleh index sebesar 5,5. Secara keseluruhan, GNMT meningkatkan hasil penerjemahan 60 persen lebih baik dari versi sebelumnya.

Dengan modal ini, tak mengherankan Google melahirkan sebuah earphone Google Pixel Buds sebagai masa depan teknologi mesin penerjemah milik mereka.

Baca juga artikel terkait GOOGLE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra