tirto.id - Hidup Didi Kartasasmita, Letnan kelas satu Tentara Kerajaan di Hindia Belanda (KNIL) cukuplah jaya sebelum Februari 1942 berakhir. Di masa harga kambing masih 3 gulden per ekor, gaji Didi sudah 450 gulden per bulan. Namun Didi tak egois, dia rutin mengirimi uang untuk orang tua dan adik-adiknya di kampung halaman, Ciamis, Jawa Barat
Didi, seorang lulusan Akademi Militer Kerajaan Belanda ini bertugas di Kepulauan Maluku sejak 1939. Dia pernah di Ternate, Pulau Geser, juga Bula. Sewaktu di Bula, tak lama setelah tahun Baru 1942, Didi mendapat perintah dari Komandan batalion agar membawa pasukannya ke kota Ambon.
"Saya diperintahkan untuk segera menghancurkan ladang-ladang minyak yang ada di Bula. Akhirnya tahulah saya, tentara Jepang sudah hampir masuk ke Maluku,” tulis Didi dalam otobiografinya, Didi Kartasasmita: Pengabdian Bagi Kemerdekaan (1993:49).
Didi bergerak cepat laksanakan perintah. Semua sumur minyak dibakar. Pemadamannya kelak butuh waktu 10 hari. Letnan Didi mengomandoi 65 orang serdadu di bawahnya. Semua terbagi dalam 4 brigade dan Didi komandan detasemennya. Selain itu, ada 20 orang hukuman (strapan) dalam pasukannya.
Rombongan Didi berangkat dengan kapal kecil. Mereka harus berlayar setidaknya 18 jam dan baru tiba di Ambon pada 29 Januari 1942. Di sana, Didi melapor kepada komandan batalion Overstee Joseph Kapitz yang memimpin perlawanan terhadap tentara Jepang yang hendak mendarat.
Pasukan Didi lalu ditempatkan di sekitar pelabuhan Halong. Ada kira-kira empat ribu orang prajurit KNIL di sana. Dari jumlah itu, tidak semuanya tentara profesional. Beberapa orang di antaranya sudah pensiun, namun dipanggil berdinas lagi. Sebetulnya Belanda tidak sendiri. Ada bala tentara Australia yang diwakili Batalion 2/21st, Dari Divisi Ke-8 Angkatan Darat yang punya personel 1.100 orang. Komandannya Letnan Kolonel Leonard Nairn Roach. Mereka dikenal sebagai Gull Force. Bill Yenne dalam The Imperial Japanese Army: The Invincible Years 1941–42(2014) mencatat Roach kelak digantikan oleh Letnan Kolonel John Scott, yang punya pengalaman dalam operasi pendaratan Galipoli.
Didi merasa pihak Belanda dan Australia punya kekurangan. Mereka hanya punya sedikit meriam—yang bisa menembaki kapal pendarat Jepang. Pesawat pun mereka cuma punya satu, itupun ditembak jatuh.
"Peta topografi pun tidak saya temukan," kata Didi
Padahal, armada Jepang yang menyerbu bukan pasukan kecil. Menurut catatan Tom Wommack dalam The Allied Defense of the Malay Barrier, 1941-1942 (2016:123), ada 5.300 pasukan pendarat Divisi 38 (Nagoya) di bawah komando Mayor Jenderal Takeo Ito. Untuk bisa ke Ambon, mereka diantar dan dikawal kapal-kapal Angkatan Laut di bawah komando Laksamana Muda Ibo Takahashi. Lalu masih ada kapal induk Hiryu dan Soryu, kapal penjelajah berat Nachi serta Haguro, kapal penjelajah ringan Jintsu, dan ditambah belasan kapal perusak lain.
KNIL tampaknya hanya menganggap pusing ancaman Jepang di pulau Jawa. Di luar Jawa, kekuatan KNIL amat tipis dan mudah ditembus. Ketika Jepang akan menyerbu, kota Ambon sudah jadi kota mati. Penduduk sipil mengungsi. Didi sendiri kala itu bingung harus berbuat apa. Dia tidak paham strategi apa yang diterapkan KNIL dalam menghadapi Jepang. Setelah pesawat terbang milik KNIL jatuh, tentu saja akan sangat mudah bagi pesawat-pesawat tempur Jepang mengudara di atas Ambon. Artinya kota Ambon akan jadi santapan bom-bom udara Jepang. Ini bikin KNIL, termasuk anak buah Didi, ciut nyali.
“Sekonyong-konyong, dimulai pagi hari tanggal 31 Januari 1942, aktivitas kapal-kapal terbang Jepang terlihat sangat besar,” kenang Didi.
Dari udara bom Jepang pun jatuh di mana-mana. Meriam dari kapal-kapal Jepang menggelegar, menembakkan proyektil raksasa ke arah Ambon.
Setelah serangan Jepang dimulai, Overste Kapitz beri perintah pada Didi: bawa pasukan itu ke daerah Kudamati, di timur laut kota Ambon. Dalam perkiraan militer KNIL, di kawasan itu tidak akan ada pendaratan musuh dalam jumlah besar. Pasukan Didi pun menerobos ilalang ke pantai itu. Setelah tiga kilometer berjalan, di desa Karangpanjang yang bergunung-gunung, bertemulah mereka dengan seorang Sersan Belanda yang melapor adanya kontak senjata dengan musuh di sekitar pantai Kudamati. Sersan Belanda itu benar.
Setelah 30 menit suara tembakan terhenti, Didi dan pasukannya melanjutkan perjalanan ke Kudamati. Namun, begitu tiba di Kudamati, serdadu-serdadu Jepang sudah berada di bukit-bukit. Jarak antara pasukan Didi dengan pasukan pendarat Jepang itu sekitar 300 meter. Mereka adu tembakan 30 menit. Setelahnya pasukan Jepang itu mundur dulu.
Seorang Sersan Belanda datang pada Didi dan bilang: ada perintah dari Komandan untuk kembali ke markas. Semua pasukan Didi pun kembali, termasuk yang dapat luka ringan. Mereka bergerak cepat. Belum sampai markas, pasukan Didi kena cegat pasukan pendarat Jepang yang sudah tersebar di Ambon.
“Kami diperintahkan untuk segera menyerah dan meletakan senjata. Kami sudah tidak ada lagi kemauan untuk melawan, sebab moril pasukan sudah habis,” tulis Didi.
Didi beserta serdadu-serdadu pribumi maupun Belanda KNIL jadi tawanan Jepang. Ketika baru ditangkap, Didi dan pasukannya hanya diam di tempat dan diawasi serdadu Jepang. Di situ pula mereka tidur. Esoknya mereka dibawa ke gedung Hotel Molluken. Di situ, Didi tidur di atas meja biliar.
Matahari 1 Februari belum tampak, Letnan Kolonel Kapitz, sang komandan Didi, sudah jadi tawanan juga. Pertempuran di sekitar Ambon dianggap selesai pada 3 Februari 1942, tepat hari ini, 77 tahun lalu. Ambon yang dikenal daerah penghasil pemuda KNIL itu pun jadi milik Jepang untuk beberapa waktu.
Jatuhnya Ambon bukan hanya jadi akhir karier bagi Didi kartasasmita atau kolega Belandanya saja, tapi juga akhir karier KNIL bagi Sersan bernama Gatot Subroto. Sebagai perwira, Didi jelas pusing dengan kekalahan di Ambon itu. Apalagi perwira-perwira Belanda yang lebih senior. Tapi sebagai bintara, Gatot memang tidak perlu ambil pusing. Apalagi serdadu-serdadu yang pangkatnya lebih rendah. Kalau kalah, ya tinggal lari saja.
“Gatot Subroto dengan beberapa orang kawannya segera melepaskan baju militernya dan meninggalkan Ambon dengan perahu layar menuju Makassar,” tulis Moh Oemar dalam Pahlawan Nasional Gatot Subroto (1976:40). Dari Makassar mereka akan lanjut perjalanan lagi, mudik ke kampung masing.
Didi bersama istri dan keempat anaknya yang masih kecil akhirnya pulang setelah September 1942. Dengan uang 550 Gulden, Didi dan lainnya sewa perahu. Di perahu Didi terdapat bayi yang merupakan anak Sersan Mayor KNIL asal Sumedang. Perahu Didi berangkat bersamaan dengan perahu lain—yang ditumpangi Kapten Kaseger—dengan tujuan Manado. Kelak, Kaseger terkenal dalam Peristiwa Merah-Putih 14 Februari 1946 di Manado.
Kapal Didi melewati Pulau Tukang Besi, Selayar, Bali Selatan, Madura Selatan, lalu Pasuruan, Jawa Timur. Di Pasuruan, rombongan Didi berpencar ke tujuan masing-masing. Didi dan keluarga pergi ke Wonokromo, Surabaya, sebelum akhirnya naik kereta ke Gambir, Jakarta.
Hidup Didi pun dimulai dari nol lagi. Tak ada lagi gaji bulanan yang cukup untuk membeli 150 ekor kambing dalam sebulan.
Editor: Nuran Wibisono