tirto.id - Letnan Jenderal Johan Pieter Michielsen (1862-1916) dikenal sebagai perwira dengan karier cemerlang. Tak butuh waktu sepuluh tahun baginya untuk mencapai pangkat kapten. Jika perwira ABRI akan punya catatan penting jika pernah ke Timor Timur, maka maka perwira KNIL dianggap punya catatan penting jika pernah dikirim ke Aceh.
Michielsen tak hanya pernah bertugas di Aceh, tapi juga jadi komandan militer di Sulawesi, Timor, dan daerah lain di Hindia Belanda. Bukan hal aneh jika dirinya jadi orang nomor satu dalam tentara kolonial di Hindia Belanda, KNIL.
Harian De Tijd (16/2/1916) menulis, “tahun 1914 dia diangkat ke jabatan tertinggi Legercommandant (komandan tentara) dan kepala Departemen Perang di Hindia Belanda, dengan mendapat promosi menjadi Letnan Jenderal.” Menurut catatan Leeuwarder Courant (15/2/1916), Michielsen dilantik pada 12 Febrauri 1914.
Kecelakaan di Hari Valentine
Di hari Valentine 1916, dua tahun lebih dua hari setelah dirinya dilantik menjadi panglima KNIL, Michielsen melakukan perjalanan udara. Itu tidak sulit baginya. Sejak 1914 sudah dirintis bagian penerbangan di KNIL. Bertindak sebagai penerbang pesawat hari itu adalah Letnan Hein ter Poorten. Penerbangan pesawat berawak dua penumpang termasuk pilot itu tidak mulus. Dan hari Valentine 1916 itulah hari terakhir Michielsen.
Kabar kecelakaan itu sampai ke Negeri Belanda. “Letnan Jenderal Michielsen tewas dan Letnan ter Poorten meninggal karena luka,” begitu Haagsche Courant (16/2/1916) memberitakan.
Posisi Micheielsen kemudian diisi sementara oleh Letnan Jenderal Hendrik Christiaan Kronouer sebelum akhirnya digantikan Walter Robert de Greve. Demi mengenal Michielsen yang gugur dalam kecelakaan pesawat Glenn Martin TA pada 14 Februari 1916 di Kalijati itu, seperti dicatat Haryoto Kunto dalam Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986: 766), sebuah patung dada tembaga mantan panglima KNIL tersebut dibuatkan.
Mayor penerbang E.T. Kengen dalam 25 Jaar Militaire Luchtvaart in Nederlandsche Indie 1914-1939—yang diterjemahkan menjadi Jejak Langkah Penerbangan di Nusantara (2005)—menyebut Michielsen sebagai orang kedua setelah Letnan infanteri G.D. Spandaw yang tewas dalam sejarah penerbangan KNIL. Spandaw gugur pada 3 Juli 1914.
Sementara Hein ter Poorten, si letnan artileri penerbang KNIL kelahiran Bogor, 21 November 1887 yang dikabarkan meninggal, ternyata masih hidup.
Ter Poorten lulus dari Akademi Militer Breda pada 1908 dan kemudian terus melanjutkan kariernya di KNIL. Bersama seniornya, Letnan Gerardus Johannes Berenschot, ter Poorten merupakan perwira infanteri yang diperbantukan di penerbangan.
Kecelakaan di Kemayoran
Berenschot, yang lahir di Solok pada 24 Juli 1887, adalah lulusan Akademi Militer Breda 1907 dan pernah berdinas di Aceh juga, seperti Michielsen. Ketika masih berpangkat letnan dua dan baru setahun dinas, seperti dicatat majalah pensiunan KNIL, Trompet (Juni 1939), “letnan dua Berenschoot dilukai dengan enteng oleh lemparan batu.”
Sementara itu anak buah Berenschot, seorang fuselier (prajurit) bernama Wilhelmus Sinay, berhasil menerobos masuk dan menembak mati delapan orang Aceh.
Dia cukup lama di Aceh. Dia berhasil menjadi jenderal setelah lebih dari 20 tahun berdinas. Menurut catatan Pieter van Meel dalam Gedenkschrift Koninklijk Nederlands-Indisch Leger 1830-1950 (1990: 73), pada 1934 dia menjadi kepala staf di markas KNIL. Tahun berikutnya pangkatnya menjadi jenderal mayor. Pada 1939, pangkatnya naik lagi menjadi letnan jenderal dengan jabatan Panglima KNIL.
Kebelandaan Letnan Jenderal Berenschot tidaklah murni. Ia memang sangat mumpuni sebagai perwira militer, tapi, menurut Djatikusumo dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Hari Ini Dan Hari Esok (1983: 32), penunjukannya sebagai panglima adalah demi "memelihara keseimbangan politik dan untuk menentramkan kaum Indo di Hindia Belanda" (hlm. 32).
Bisa dibilang dia adalah sinyo (anak laki-laki indo) yang tergolong pertama jadi orang nomor satu di Indonesia. Ayah Letnan Jenderal Berenschot, menurut catatan van Meel, adalah Letnan Kolonel (KNIL) Gerrit Hendrik Berenschot dan ibunya bernama Florence Mildred Rappa. Terdapat orang-orang dengan marga Rappa di Indonesia, termasuk kontestan Miss World asal Indonesia, Elfin Pertiwi Rappa.
Ketika Berenschot menjadi panglima KNIL, orang yang menggantikan kedudukannya sebagai kepala staf adalah Letnan Jenderal Hein ter Poorten—yang dulu menjadi menjadi pilot dalam penerbangan maut bersama Letnan Jenderal Michielsen. Karier ter Poorten bagus, meski reputasinya sebagai perwira masih dibawah Berenschot.
Berenschot menjadi panglima KNIL di masa yang cukup genting. Belum genap satu tahun dirinya jadi panglima, bulan Mei 1940, Belanda diduduki Jerman. Sementara itu, Hindia Belanda terancam oleh militer Jepang yang jadi sekutu Jerman. Belanda pun akhirnya ikut pihak Sekutu. Sudah jadi hal wajar jika Berenschot berhubungan dengan pimpinan-pimpinan militer Sekutu.
Awal Oktober 1941, dia menemui Marsekal Robert Brooke-Popham, pimpinan armada udara Inggris yang menjadi Panglima Inggris di Timur Jauh, di Singapura. Sebagai panglima yang butuh mobilisasi, mau tidak mau dia naik pesawat. Nahas, pesawat yang ditumpanginya jatuh pada pukul 15.00 di sekitar Kemayoran, Jakarta.
“Berenschot tewas pada waktu jatuhnya pesawat transport Lockheed Lodestar, sejenak setelah pesawat tersebut tinggal landas di lapangan udara Kemayoran,” tulis J. C. Bijkerk dalam Selamat Berpisah, Sampai Berjumpa di Saat yang Lebih Baik (1988: 108).
Kala itu, menurut van Meel, Berenschot hendak menuju Bandung, di mana markas KNIL berada.
Jika setelah panglima KNIL Michielsen tewas Hein ter Poorten harus dirawat karena luka, maka setelah Panglima KNIL Berenschot tewas ter Poorten mendapat tugas serius. Lagi-lagi, Hein ter Poorten menggantikannya. Kali ini sebagai Panglima KNIL yang harus mengantisipasi serbuan militer Jepang.
Hein ter Poorten tak lama menduduki jabatan itu. Bukan karena kecelakaan, melainkan Jepang sudah menduduki Hindia Belanda dan KNIL kalah telak. Dalam sejarah KNIL, hanya Panglima Letnan Jenderal Hein ter Poorten saja yang pernah mengalami hidup sebagai tawanan perang dan baru bebas setelah Jepang kalah.
Editor: Ivan Aulia Ahsan