tirto.id - Pesawat Jeju Air mengalami kecelakaan fatal saat mendarat di Bandara Internasional Muan pada Minggu, 29 Desember 2024 pagi. Pesawat, yang terbang dari Bangkok tersebut, membawa total 181 orang, yang terdiri dari 175 orang penumpang, termasuk dua warga negara Thailand dan 6 orang awak pesawat. Tercatat, 179 orang tewas, dan hanya dua orang yang selamat di kecelakaan tersebut, seperti dilansir dari BBC.
Pesawat Boeing 737-800 bernomor penerbangan Jeju Air 7C 2216 ini mengalami kecelakaan saat pesawat tersebut tergelincir hingga menabrak dinding di ujung landasan dan terbakar.
Kronologi Kecelakaan Jeju Air di Bandara Muan
Pesawat Jeju Air 7C 2216 berangkat dari Bangkok, pada pukul 1.30 ICT, pagi. Pesawat tersebut dijadwalkan mendarat di Muan pada pukul 8.30 KST.
Pesawat Jeju Air sempat mencoba melakukan pendaratan pertamanya di landasan pacu nomor 1 sekitar pukul 8.54 KST, namun pesawat gagal mendarat dan melakukan go-around. Pilot membatalkan pendaratan dan kembali ke udara untuk mencoba lagi.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Perhubungan, menara pengawas bandara telah memperingatkan awak pesawat terkait potensi risiko tabrakan burung pada 8.57 KST. Hanya berselang satu menit, yakni pada pukul 8.58 KST, pilot pesawat Jeju Air mengeluarkan sinyal mayday.
Pesawat Jeju Air mencoba melakukan pendaratan darurat di landasan pacu nomor 19 sekitar pukul 09.00 KST. Tiga menit berselang tepatnya pada pukul 09.03 KST, pesawat Jeju Air mencoba mendarat dengan perut pesawat (belly landing) tanpa roda yang tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Belly landing merupakan istilah untuk pendaratan pesawat tanpa menggunakan roda pendaratan (landing gear) atau roda pendaratan tidak sepenuhnya keluar. Dalam situasi ini, bagian bawah badan pesawat (belly) langsung bersentuhan dengan landasan pacu.
Lantaran tidak dapat mengurangi kecepatan sepenuhnya, pesawat Jeju Air menabrak pagar pembatas bandara dengan kecepatan tinggi, yang mengakibatkan kerusakan dan kebakaran seketika.
Lebih dari 1.560 personel darurat, termasuk 490 petugas pemadam kebakaran, 450 petugas polisi, dan 340 personel militer, dikerahkan ke lokasi kejadian. Kebakaran berhasil dipadamkan sepenuhnya dalam waktu 43 menit.
The Korea Heraldmelaporkan, dari total 181 orang yang berada dalam pesawat, sebanyak 175 penumpang terdiri dari 82 pria dan 93 wanita, dengan penumpang termuda anak laki-laki berusia 3 tahun, dan lansia berjenis kelamin laki-laki berusia 78 tahun.
Lantas, bagaimana analisis awal penyebab terjadinya kecelakaan tersebut?
Faktor Serangan Burung?
Pemerintah Korea Selatan menyatakan mereka tengah menyelidiki penyebab kecelakaan penerbangan Jeju Air 7C2216, termasuk kemungkinan faktor serangan burung (bird strike) seperti yang banyak diberitakan.
Kepala Departemen Kebakaran Muan, Lee Jeong-hyun mengatakan, serangan burung dan cuaca buruk kemungkinan berkontribusi pada kecelakaan tersebut, seperti dilansir dari BBC. Meski begitu, ia menegaskan bahwa penyebab pasti kecelakaan tersebut baru bisa diketahui setelah proses investigasi selesai.
Bird strike adalah istilah untuk menyebutkan serangan burung terhadap suatu pesawat yang mengudara. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) mencatat terdapat 273.343 serangan burung (bird strike) pada pesawat dan helikopter di seluruh dunia pada periode 2016-2021.
Dinukil dari BBC, bird strike yang diklaim sebagai penyebab jatuhnya Jeju Air juga kerap terjadi di wilayah Inggris. Pada 2022 silam misalnya, tercatat ada lebih dari 1.400 serangan burung terhadap pesawat di sana.
Beberapa insiden bird strike juga dilaporkan terjadi di bandara besar di Indonesia di antaranya seperti Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Juanda dan Bandara Sultan Hasanudin.
Kasus bird strike bisa memicu masalah besar khususnya pada jenis pesawat Boeing. Ahli aviasi dan pengajar di Central Queensland University, Doug Drury, dalam The Conversation, menyebut bahwa bird strike bisa merusak mesin turbofan pada pesawat Boeing dan Airbus. Tabrakan burung pada salah satu mesin pesawat ini dapat menyebabkan kerusakan parah pada bilah kipas, yang menyebabkan mesin gagal berfungsi.
Hal inilah yang menjadi alasan mengapa perlu memperhatikan adanya kasus bird strike. Menurut Drury, waktu yang perlu diwaspadai pilot untuk mewaspadai serangan burung adalah saat pagi hari dan waktu matahari terbenam. Faktanya, serangan burung atau bird strike bisa lebih marak terjadi ketika siang hari. Kendati demikian, melansir Flight Control, bird strike di malam hari juga bisa terjadi karena terbatasnya daya pandang.
Sementara itu mengutip data ICAO, 90 persen tabrakan burung terjadi di dekat bandara. Secara umum, tabrakan ini terjadi saat pesawat lepas landas atau mendarat, atau terbang di ketinggian rendah tempat sebagian besar aktivitas burung terjadi.
Pengamat penerbangan Gatot Rahardjo menjelaskan efek dari pesawat yang terkena bird strike tergantung dari beberapa hal. Pertama, besar kecilnya burung yang menabrak; kedua, bagian pesawat yang ditabrak; ketiga, kecepatan pesawat pada waktu tabrakan.
“Kalau menabrak engine dan dengan ketentuan di atas, bisa saja terjadi kerusakan fatal pada engine kalau misalnya burung yang menabrak besar. Biasanya yang tertabrak itu hanya satu mesin dan kalau satu mesin itu rusak fatal sebenarnya pesawat masih bisa dikendalikan dan pilot sudah diberi pelatihan soal itu untuk mendaratkannya dengan selamat,” kata Gatot saat dihubungi Tirto, Jumat (3/1/2025)
Meski begitu, Gatot juga mencontohkan dalam beberapa kasus pernah terjadi bird strike yang menyerang k dua mesin pesawat sekaligus seperti yang terjadi pada pesawat dari maskapai US Airways yang ditabrak burung 2 mesinnya di Januari 2009.
“Kalau dua mesin mati, ini biasanya nanti tergantung keterampilan pilotnya. Seperti yang US Airways itu pilotnya bisa mendaratkan pesawatnya di sungai Hudson dan semua selamat. Tapi ada juga yang tidak bisa selamat, jatuh dan terjadi kecelakaan,” ujarnya
Ia menambahkan, jika bird strike menabrak dua mesin pesawat sekaligus, fungsi lain seperti avionik dan hidrolik dalam pesawat dapat terpengaruh. Namun, jika hanya satu mesin yang terkena, seharusnya tidak akan berpengaruh, katanya. Sebab, masih ada satu mesin sebagai cadangan yang bisa menjalankan fungsi sistem yang lain.
“Ini memang salah satu keistimewaan penerbangan, yaitu selalu ada backup baik di sistem, SDM (pilot & co pilot). Dengan demikian tingkat keselamatannya masih lebih baik dibanding moda transportasi lain,” tambahnya
Lalu, apakah bird strike menjadi faktor utama penyebab kecelakaan Jeju Air?
Bird Strike Dinilai Bukan Faktor Tunggal Penyebab Kecelakaan
Bird strike memang banyak diperbincangkan sebagai faktor penyebab kecelakaan pesawat Jeju Air 7C2216. Menurut Kementerian Transportasi Korea Selatan, pesawat Jeju Air sudah mendapatkan peringatan terkait bird strike. Informasi itu disampaikan kepada pihak pengendali pesawat, tepat sebelum pesawat kecelakaan.
Lebih lanjut, seorang penumpang juga menyampaikan kepada kerabat terkait burung yang menyangkut di sayap pesawat lewat pesan singkat. Adapun penumpang tersebut mengirim pesan yang juga berbunyi, “haruskah saya mengucapkan kata-kata terakhir saya?”, seperti dilansir The Korea Times.
Dilansir dari The Korea Times pula, anggota parlemen dari partai oposisi Korea Selatan, Lee Yeon-hee, menyebut Bandara Internasional Muan, tempat jatuhnya pesawat Jeju, merupakan bandara dengan tingkat serangan burung tertinggi di antara 14 bandara regional di Korea Selatan.
Mengutip data Korea Airports Corp yang dikutip oleh Lee, total ada 559 insiden tabrakan burung yang terjadi di 14 bandara regional yang dikelola oleh perusahaan milik negara tersebut, sejak 2019 hingga Agustus tahun 2024. Bandara Internasional Gimhae memiliki jumlah tabrakan burung tertinggi, yakni 147, diikuti oleh Gimpo sebanyak 140, Jeju sebanyak 119, Daegu sebanyak 38, dan Cheongju sebanyak 33.
Di Bandara Muan, total 10 insiden tabrakan burung telah terjadi. Namun, jika mempertimbangkan tingkat kejadian relatif terhadap jumlah total penerbangan yang dioperasikan, bandara di Muan memiliki persentase tingkat serangan tertinggi di antara 14 bandara lain.
Meski begitu, Lee Geun-young, seorang profesor di Universitas Transportasi Nasional Korea, membantah bahwa Bandara Muan menjadi yang paling rentan terkena bird strike. “Tidak benar untuk mengatakan bahwa bandara di Muan sangat rentan terhadap serangan burung. Serangan burung dapat terjadi di bandara mana pun,” kata Lee dikutip dari Korea Times, Senin (30/12/2024).
Senada, sejumlah ahli yang telah mengamati video rekaman detik–detik kecelakaan pesawat tersebut nampak meragukan bahwa bird strike menjadi faktor tunggal penyebab jatuhnya pesawat tersebut.
Pengamat penerbangan yang juga editor Airline News, Geoffrey Thomas, menyebut serangan burung bukanlah hal yang aneh dalam sebuah penerbangan. Ia menduga, serangan burung bukan satu-satunya penyebab kecelakaan pesawat itu
“Tabrakan burung biasa terjadi, begitu juga masalah pada roda pendaratan. Tabrakan burung jauh lebih sering terjadi, tetapi biasanya tidak menyebabkan kecelakaan pesawat,” kata Thomas seperti yang dikutip dari Reuters, Minggu (29/12/2024).
Sementara, Christian Beckert, seorang pakar keselamatan penerbangan dan pilot Lufthansa, menyoroti roda pendaratan pesawat yang tak berfungsi saat pesawat Jeju Air tersebut mendarat.
"Sangat, sangat jarang dan sangat tidak biasa serangan burung dapat mengganggu roda pendaratan karena ada sistem independen yang memungkinkan kita menurunkan roda pendaratan dengan sistem alternatif," katanya dikutip dari Reuters, Minggu (29/12/2024).
Dilansir dari The New York Times, Paek Seung-joo, seorang pakar keselamatan publik di Open Cyber University of Korea pun turut memberikan keterangan serupa. "Masalah mesin tidak selalu berarti masalah roda pendaratan. Keduanya tidak selalu terkait," kata Seung-Joo, dikutip dari The New York Times, Senin (30/12/2024).
Masih dari sumber yang sama, J. Y. Jung, seorang pakar penerbangan di Universitas Khyungwoon mengatakan jika pesawat kehilangan satu mesin karena ditabrak burung, pilot masih dapat mengoperasikan pompa hidrolik untuk menurunkan roda pendaratan dengan tenaga dari mesin lainnya.
Lebih lanjut, keduanya sepakat jika pun kedua mesin pesawat mati karena serangan burung pilot masih bisa menurunkan roda pendaratan secara manual. Namun, mengingat cara pilot yang terburu-buru saat mencoba mendarat, ia mungkin tidak punya cukup waktu, kata mereka. "Pertanyaan seperti ini tidak akan terjawab sampai mereka memeriksa perekam data penerbangan pesawat," kata Jung.
Lalu, apa fakor lain yang dinilai menyebabkan kecelakaan pesawat itu?
Tidak Berfungsinya Roda Pendaratan, Keputusan Pilot Hingga Landasan Pacu Bandara
Pengamat penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman, mengatakan, pesawat yang mengalami bird strike seharusnya tidak berujung pada kecelakaan fatal. Hal ini disebabkan, bird strike merupakan realita sehari-hari dari pengoperasian pesawat terbang.
“Bird strike seharusnya tidak menjadi penyebab pesawat (Jeju Air) jatuh, tetapi penanganannya bisa saja keliru, ini menjadi fokus investigator nanti,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (3/1/2025).
Lebih lanjut, Gerry menjelaskan pesawat yang terkena bird strike tidak termasuk dalam kondisi darurat yang mengharuskan pesawat untuk “harus mendarat secepatnya”. Dalam kondisi ini, harusnya kru pesawat melakukan diagnosa efek bird strike ke mesin dan menilai apakah mesin harus dimatikan atau masih bisa jalan dengan aman.
Sebelumnya, dalam penjelasan yang diunggah di akun X pribadinya, Gerry menjelaskan pendaratan single engine biasanya menggunakan flap 15. Namun, berdasarkan video pendaratan Jeju Air yang beredar, terlihat, flap (sirip sayap pesawat) tidak di-deploy oleh pilot. Menurutnya, situasi ini tidak normal.
Perlu diketahui, terkait flap ini, menurut laman Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA), flap adalah bagian sayap pesawat yang membantu meningkatkan daya angkat dan menambah hambatan udara. Saat pendaratan, flap memungkinkan pesawat mendarat dengan kecepatan lebih rendah, sudut penurunan lebih curam, dan jarak pendaratan lebih pendek. Penggunaan flap hingga 15 derajat terutama meningkatkan daya angkat dengan sedikit hambatan, sementara defleksi lebih dari 15 derajat menambah hambatan secara signifikan. Efek ini juga memengaruhi posisi hidung pesawat, yang biasanya cenderung turun saat flap digunakan.
Ketika flap diturunkan, kecepatan pesawat berkurang kecuali daya mesin dinaikkan atau sudut pitch diturunkan. Pilot harus memperkirakan titik pendaratan dengan menyesuaikan flap, daya mesin, dan sudut pitch.
Menurut Gerry, di kasus Jeju Air, “Front slat tidak terlihat deployed seperti layaknya flap 15 setting, dan sepertinya tidak ada flap yang deployed di belakang, sehingga kita bisa simpulkan, pesawat mendarat dengan flaps up atau flap setting dibawah lima. Dalam video tersebut juga terlihat bahwa Speedbrake atau Spoiler tidak di-deploy baik secara otomatis atau manual oleh crew,” katanya di cuitannya, Minggu (29/12/2024).
Berdasarkan pengamatannya pada video kecelakaan yang beredar, Gerry menyebut ada kemungkinan bird strike terjadi pada kedua mesin pesawat Jeju Air tersebut. Ia lantas menjelaskan implikasi jika kedua mesin pesawat terkena bird strike.
“Kalau satu engine saja yang kena bird strike, sangat tidak masuk akal jika crew lalu buru-buru mendarat secepat mungkin. Namun, jika kedua mesin kena dan performance-nya terganggu, baru deh land as soon as possible,” lanjut Gerry dalam cuitannya.
Kepada Tirto, ia juga menjelaskan terkait kemungkinan bird strike yang menyerang kedua mesin pesawat menyebabkan masalah pada roda pendaratan dan fungsi sayap pesawat saat pendaratan seperti yang dialami pesawat Jeju Air itu.
“Bird strike mengenai kedua mesin itu mungkin. Kalau untuk hydraulics, kalau 2 mesin itu kena, ya hydraulics-nya hilang tekanan. Namun roda pendaratan masih bisa dikeluarkan secara manual. Namun jika dalam kondisi rendah dan "pelan" fokus crew akan lebih ke bagaimana mencapai bandara dengan cara apapun,” ujarnya kepada Tirto, Jumat (3/1/2025).
Menurut Gerry, pasti ada sesuatu yang membuat crew pesawat percaya dan memutuskan mereka harus mendarat dalam waktu sesingkat mungkin. “Flight data recorder pesawat dan analisa sisa kedua engine yang bisa menjelaskan lebih lanjut. Untuk lebih dari ini, mari kita tunggu keterangan resmi dari pihak investigasi,” katanya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Keamanan Penerbangan Korea Hwang Ho-won menyoroti keputusan pilot yang dinilai terburu-buru untuk melakukan pendaratan. "Pertanyaan besarnya adalah mengapa pilot itu terburu-buru mendarat," kata Hwang Ho-won dikutip dari The New York Times, Senin (30/12/2024)
Lebih lanjut, Hwang menjelaskan ketika pilot merencakan belly landing, mereka biasanya mencoba mengulur waktu, membuang bahan bakar ekstra dari udara dan memberi waktu bagi staf darat untuk mempersiapkan keadaan darurat. Namun, menurutnya pilot Jeju Air tidak melakukan itu. "Apakah ia kehilangan kedua mesinnya? Apakah keputusan untuk mendarat dengan tergesa-gesa itu merupakan kesalahan manusia?” kata Hwang.
Pengamat juga mempertanyakan keberadaan dinding struktur beton (localizer) yang terletak di ujung landasan pacu bandara yang menyebabkan pesawat meledak dan terbakar saat melakukan pendaratan darurat.
"Biasanya, di bandara dengan landasan pacu di ujung, tidak ada dinding," kata Christian Beckert, pakar keselamatan penerbangan dan pilot Lufthansa, dikutip dari Reuters, Selasa (31/12/2024)
Sebagai informasi, rekaman menunjukkan pesawat keluar dari landasan pacu sebelum bertabrakan dengan dinding dan terbakar. Dilansir dari BBC, pakar keselamatan udara David Learmount mengatakan bahwa, jika "penghalang" itu tidak ada di sana, pesawat "akan mendarat dengan sebagian besar - mungkin semua - orang di dalamnya masih hidup".
Menanggapi isu itu, Kementerian Transportasi Korea, seperti dilaporkan kantor berita Yonhap, Selasa (31/12/2024), menyebut bahwa keberadaan localizer di Bandara Muan tidak melanggar ketentuan runway end safety area (RESA) karena dibangun di luar RESA dengan jarak 199 meter dari ujung landas pacu.
Meski begitu, kementerian mengakui bahwa beberapa bandara domestik, termasuk di Sacheon, Gyeongju, dan Muan, memiliki RESA yang lebih pendek dari yang direkomendasikan, yaitu 240 meter.
Hingga Jumat (3/1/2025) atau saat artikel ini ditulis, kabar terkini, penyelidik telah selesai mengambil data dari salah satu kotak hitam pesawat Jeju Air yang jatuh pada hari Minggu, menurut keterangan kementerian transportasi Korea Selatan, seperti dilansir dari BBC.
Data dari perekam suara kokpit akan diubah menjadi file audio, sementara kotak hitam kedua, yaitu perekam data penerbangan, akan dikirim ke Amerika Serikat untuk dianalisis.
Editor: Farida Susanty