tirto.id - Hasil kajian Ombudsman RI perwakilan DKI Jakarta Raya soal kebijakan penutupan Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat menuai polemik. Lembaga negara ini dianggap tebang pilih dalam mengawasi pelayanan publik di DKI Jakarta.
Pandangan negatif muncul karena Ombudsman perwakilan DKI Jakarta Raya dinilai tak pernah melakukan evaluasi tajam atas pelayanan publik sebelum era Gubernur Anies Baswedan. Sebagai perwakilan lembaga negara, Ombudsman memang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik oleh penyelenggara negara, BUMN, BUMD, hingga swasta atau perorangan.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Triwisaksana menganggap, lembaga itu cenderung abai terhadap kebijakan Pemprov DKI era kepemimpinan sebelumnya. Kebijakan Pemprov DKI yang dimaksud oleh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini adalah reklamasi Teluk Jakarta dan penggusuran Bukit Duri, di Jakarta Selatan.
“Ada kebijakan yang sebelumnya itu sudah sampai di tahap pelanggaran dan dibatalkan pengadilan sebagainya, tapi tidak ada rekomendasi dari Ombudsman,” kata pria yang akrab disapa Bang Sani itu usai menghadiri acara Musrenbang di Kantor Walikota Jakarta Selatan, Selasa (27/3/2018).
Kritik yang sama juga disampaikan Wakil Ketua DPRD DKI, Abraham Lunggana. Politikus PPP yang biasa disapa Lulung itu menyinggung peran Ombudsman RI perwakilan DKI Jakarta Raya saat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok masih menjabat Gubernur DKI.
Lulung mempertanyakan keberanian Ombudsman RI perwakilan DKI Jakarta Raya untuk mengevaluasi kebijakan diskresi peningkatan Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dugaan korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, pembangunan Simpang Susun Semanggi, dan reklamasi Teluk Jakarta yang dilakukan Ahok.
“Berani enggak dia [Ombudsman RI perwakilan DKI Jakarta Raya]? Kalau mau mengevaluasi pelanggaran, lihat secara utuhlah pelanggaran yang dilakukan pemerintah,” kata Lulung, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa kemarin.
Menanggapi tudingan tersebut, Komisioner Ombudsman RI (ORI) Adrianus Meliala mengatakan, pihaknya sudah bertindak menangani kasus di Tanah Abang sejak November tahun lalu. Saat itu, Satpol PP menerima rekomendasi kesalahan dari Ombudsman dan PKL kemudian dikembalikan ke tempatnya.
Namun, para PKL tidak dikembalikan ke tempat semula. Melainkan diberikan tempat khusus. “Maka kemudian kami turun tangan lagi pada Februari kemarin,” kata Adrianus.
Pada 2018 dengan adanya Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya, maka penindakan tidak lagi harus dari pimpinan pusat. Menurutnya, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya turun bergerak berdasarkan aduan.
“Pengadu kumpulan dari pedagang-pedagang Blok G. Nah, maka kami turun lagi, periksa lagi. Kenapa tidak yang lain? Ya ini aja belum beres. Satu-satu dulu,” kata Adrianus menjawab tudingan yang dialamatkan ke lembaganya itu.
Potensi Berat Sebelah
Pemerhati kebijakan publik dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan memandang wajar kritik yang dilontarkan Sani dan Lulung.
Menurut Aji, kecurigaan wajar muncul karena kenyataannya Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya baru terlihat aktif mengawasi pelayanan publik di ibu kota saat ini. Menurutnya, lembaga itu dipandang lembut dalam melihat potensi maladministrasi di suatu kebijakan sebelum era pemerintahan DKI Jakarta saat ini.
“Rekomendasinya Ombudsman terhadap maladministrasi di Tanah Abang itu punya kecenderungan tebang pilih melihat ada perbedaan treatment dengan kebijakan-kebijakan pada rezim sebelumnya," ujar Aji kepada Tirto, Rabu (28/3/2018).
Aji berharap, Ombudsman tetap netral dan objektif dalam mengawasi kebijakan. Ia berharap Ombudsman lebih berhati-hati dalam mengeluarkan saran atau rekomendasi selama proses Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Alumnus Exeter University ini menganggap, Ombudsman dapat dicap sebagai alat politik kelompok tertentu bila tak berhati-hati. “Ini agak riskan juga bagi lembaga dan advokasi kebijakan yang mengaku netral dalam mengawasi pelayanan publik,” kata Aji.
Namun, langkah Ombudsman mengawasi potensi maladministrasi di ibu kota telah sesuai tugas dan fungsinya. Ruang lingkup lembaga itu diatur dalam Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI.
“Mereka tak punya fungsi menjadi pengubah atau pembuat kebijakan. Mereka lebih ke advokasi, jika ada kebijakan tidak benar mereka bisa membuat pembelaan. Fungsi mereka hanya sampai rekomendasi,” ujar Aji.
Rekomendasi yang dikeluarkan ORI, dalam pandangan Aji, tidak wajib dipenuhi pemerintah. Menurutnya, rekomendasi Ombudsman hanya satu dari sekian banyak sumber masukan terhadap pemerintah untuk mengubah suatu kebijakan.
"Tapi rekomendasi yang mereka keluarkan cukup penting karena ORI ini punya tingkat kepercayaan publik cukup tinggi. Di mata publik, ORI penting menjadi corong suara mereka. Tetapi bagi policymaker belum tentu, karena mereka banyak sekali sumber rekomendasi misalnya dari ORI, DPRD, Dinas, Bupati atau Wali Kota," kata Aji.
Pasal 38 UU ORI mengatur, rekomendasi dari lembaga itu wajib dijalankan pemerintah atau instansi yang menjadi objek. Namun, sanksi yang diberikan jika rekomendasi ORI tak dijalankan bisa disebut tak memiliki kekuatan.
"Dalam hal Terlapor dan atasan Terlapor tidak melaksanakan Rekomendasi atau hanya melaksanakan sebagian Rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh Ombudsman, Ombudsman dapat mempublikasikan atasan Terlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada DPR dan Presiden," demikian bunyi Pasal 38 ayat (4) UU ORI.
Anies Tidak Khawatir
Setelah mendapat saran atau tindakan korektif dari ORI DKI Jakarta Raya, Anies mengaku bakal mengkaji terlebih dahulu sebelum melaksanakan atau malah mengabaikannya.
Anies mengklaim, dirinya tak khawatir ancaman pemberhentian yang dilontarkan Plt Ketua ORI DKI Jakarta Raya, Dominicus Dalu.
"Ingat, ini adalah perwakilan Ombudsman, bukan Ombudsman Republik Indonesia. Dan itu adalah dua hal yang berbeda. Yang memiliki otoritas [mengeluarkan rekomendasi] siapa? Ombudsman RI," ujar Anies di Balai Kota DKI, Selasa kemarin.
Pernyataan Anies itu dibenarkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sumarsono. Menurutnya, sanksi tidak bisa dijatuhkan semata atas rekomendasi perwakilan ORI
"Kantor perwakilan mengirimkan hasil [kajian] ke Ombudsman RI, lalu Ombudsman RI mengeluarkan rekomendasi dan mengajukannya ke Kemendagri," ujar Sumarsono.
Ihwal rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman perwakilan DKI Jakarta Raya, bisa di klik di sini.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz