tirto.id - Ombudsman RI perwakilan DKI Jakarta Raya menemukan sejumlah maladministrasi dalam kebijakan penutupan jalan Jati Baru Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Beberapa di antaranya: penataan kawasan tersebut menyimpang secara prosedur serta mengabaikan dan melawan ketentuan hukum.
Lembaga pengawas pelayanan publik itu memberi tenggat waktu selama 30 hari bagi Pemprov DKI Jakarta untuk menindaklanjuti temuan tersebut.
Jika tak dijalankan, ujar Plt Ketua Ombudsman perwakilan Jakarta Raya Dominicus Dalu, "[Anies Baswedan] bisa dibebastugaskan," atau dengan kata lain diberhentikan dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Dalu menggunakan dalil Pasal 351 (5) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ketika bicara soal sanksi yang mungkin dijatuhkan pada Anies.
Anies Baswedan sendiri belum menentukan sikap terkait hasil evaluasi Ombudsman perwakilan DKI Jakarta Raya tersebut. Ia mengatakan bakal mengkaji terlebih dahulu laporan itu sebelum melaksanakan atau malah mengabaikan rekomendasi.
Meski demikian, ia mengaku tak khawatir ancaman pemberhentian yang dilontarkan Dalu, karena, katanya, Ombudsman dan perwakilan Ombudsman adalah dua entitas berbeda.
"Ingat, ini adalah perwakilan Ombudsman, bukan Ombudsman Republik Indonesia. Dan itu adalah dua hal yang berbeda. Yang memiliki otoritas [mengeluarkan rekomendasi] siapa? Ombudsman RI," ungkapnya, Selasa (2/3/2018).
Apa yang dikatakan Anies dibenarkan oleh Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Soni Sumarsono.
Ia bilang kalau sanksi tidak bisa dijatuhkan semata atas rekomendasi perwakilan Ombudsman, melainkan "kantor perwakilan mengirimkan hasil [kajian] ke Ombudsman RI, lalu ombudsman RI mengeluarkan rekomendasi dan mengajukannya ke Kemendagri."
Hanya Pembinaan
Soni mengatakan, memang ada sanksi yang bisa diberikan jika kepala daerah tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman. Rekomendasi Ombudsman yang tidak dijalankan masuk dalam kategori pelanggaran administratif sebagaimana yang tertera dalam Pasal 36 ayat (2) huruf r Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Pasal 46 ayat (1) aturan yang sama menyebut: "kepala daerah yang melakukan pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf r dijatuhi sanksi administratif berupa mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan."
"Pembinaan khusus adalah program yang mengirim [kepala daerah yang melanggar aturan] ke Diklat untuk disekolahkan. Ini perlu jika mereka dianggap tidak mengetahui penyelenggaraan pemerintahan daerah," kata Soni.
Sebelum dijatuhi hukuman ini, Kemendagri terlebih dulu melakukan "verifikasi secara lebih teliti, objektif, dengan didukung data, informasi, dan dokumen lain yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran." Dalam kasus Anies, yang bakal diverifikasi adalah temuan Ombudsman.
"Itu pun lewat kajian yang panjang," tambah Soni.
Berdasarkan aturan ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada sanksi lain yang mungkin diberikan kepada Anies selain pembinaan, apalagi sampai diberhentikan.
Tidak heran pula kalau selama ini memang tak pernah ada kepala daerah yang diberhentikan karena tidak menjalankan rekomendasi Ombudsman.
Ketika dibina, seorang kepala daerah memang bebas tugas dan segala kewajibannya dilimpahkan ke wakil kepala daerah. Kondisi ini nampak seperti sanksi pemberhentian sementara, tapi sebetulnya berbeda.
Pemberhentian sementara baru dapat dilakukan ketika kepala daerah atau wakil kepala daerah "tidak menjalankan program strategis nasional setelah... penjatuhan teguran tertulis kedua" (Pasal 38 ayat (8)).
Tidak ada sanksi teguran tertulis ketika kepala daerah tidak menjalankan rekomendasi Ombudsman. Mereka bakal langsung dibina ketika sudah diputus bahwa rekomendasi Ombudsman memang benar.
Dengan begitu, pernyataan Dalu di awal soal Anies yang mungkin bebas tugas valid sepanjang ia menambah keterangan bahwa yang merekomendasikan adalah Ombudsman pusat, dan bebas tugas yang dimaksud bukan pemberhentian sementara--apalagi diberhentikan permanen--melainkan hanya dibina dalam jangka waktu tertentu.
Pemberhentian permanen sendiri diberikan ketika kepala daerah tidak menjalankan program strategis nasional setelah menjalani sanksi pemberhentian sementara. Dalam hal ini yang memberhentikan langsung presiden atas usul Mendagri.
Karena alasan ini, ahli hukum tata negara, Refly Harun, menilai pernyataan Dalu seharusnya tak dilontarkan. Refly bilang kalau Dalu harusnya paham jika pemberhentian kepala tidak bisa semudah itu.
"Tidak mudah menurunkan kepala daerah," kata Refly saat dihubungi Tirto, Selasa (27/3/2018).
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino