tirto.id - Pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly tentang sikap Presiden Jokowi yang berpotensi tidak ingin menandatangani pengesahan revisi Undang-Undang No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menuai kritik.
Sikap Jokowi dinilai sebagai pencitraan semata lantaran proses pembahasan hingga pengesahan revisi UU MD3 tidak saja melibatkan DPR tapi juga pemerintah.
“Kita tetap bisa mengkritik keras pemerintah yang terkesan lamban dan tak tegas bersikap terkait isu-isu krusial [dalam] UU MD3 selama proses pembahasan,” kata peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus dalam pesan tertulis kepada Tirto, Selasa (20/2/2018).
Lucius mengatakan proses revisi UU MD3 telah menjadi polemik di masyarakat. Mestinya Presiden Jokowi lekas merespons polemik itu sebelum keputusan pengesahan diambil. “Setelah publik ramai-ramai menolak, keinginan Presiden ini baru dikatakan [keberatan],” ujarnya.
Keberatan presiden, sebagaimana disampaikan Yasonna, tidak akan berpengaruh terhadap pemberlakuan UU MD3. Sebab, UU MD3 tetap akan berlaku dengan atau tanpa tanda tangan Presiden Jokowi.
Lucius menilai DPR maupun pemerintah tidak transparan dalam proses pembahasan hingga pengesahan revisi UU MD3. Contohnya, isu tentang revisi UU MD3 lebih banyak berkutat pada penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR. Sedangkan sejumlah pasal kontroversial di dalam undang-undang tersebut baru diketahui publik sekira sepekan sebelum pengesahan.
“Publik yang terkejut tak mampu mengonsolidasikan gerakan untuk menolak pengaturan baru di MD3. Ini yang saya katakan sebagai strategi ‘licik’,” kata Lucius.
Pasal-pasal kontroversial itu misalnya Pasal 245 yang mengatur diperlukannya izin Presiden dan pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang ingin memeriksa anggota DPR pelanggar hukum pidana.
Pasal 122 yang menyatakan kewenangan MKD mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan parlemen.
Kemudian, Pasal 73 yang mengatur kewenangan DPR memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara paksa melalui kepolisian.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan Yassona sebagai wakil pemerintah mungkin saja tidak melapor ke Jokowi terkait pasal-pasal kontroversial selama pembahasan revisi UU MD3. Hal ini menurutnya karena Yasonna sebagai kader PDI Perjuangan berkepentingan mengamankan kursi pimpinan DPR dan MPR untuk partainya.
“Betul, untuk mengamankan kepentingan PDIP, posisi tawar,” ujar Ujang.
Di sisi lain Ujang melihat pernyataan Yasonna juga sebagai upaya melindungi citra Jokowi yang terkesan lepas tangan. “Harusnya pemerintah gentle menolak pasal-pasal siluman ketika pembahasan. Bukan lepas tangan lalu meminta masyarakat untuk melakukan judicial review ke MK,” ujar Ujang.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengungkapkan Presiden Jokowi terkejut dengan sejumlah pasal dalam revisi UU MD3 yang disahkan DPR, Senin (12/2). Yasonna mengatakan Jokowi kemungkinan tidak akan menandatangani undang-undang yang telah direvisi dan disahkan oleh DPR bersama pemerintah itu.
"Jadi Presiden cukup kaget juga makanya saya jelaskan, masih menganalisis, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak akan menandatangani (UU MD3)," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly di lingkungan Istana kepresidenan Jakarta, Selasa (20/2) seperti diberitakan Antara.
Kalaupun presiden enggan tandatangan, Yasonna mengatakan UU MD3 tetap sah. Hal ini karena menurut aturan bila RUU tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU disetujui maka RUU tersebut sah menjadi UU.
"UU tanpa ditandatangani kan sah sendiri, tapi apa pun itu terserah Bapak Presiden. Saya tidak mau ada pikiran Bapak Presiden seperti itu," ujar Yasonna.
Yasonna mengakui ia tidak memberi laporan berkala kepada Jokowi seputar pasal-pasal kontroversial. Ia juga menjelaskan alasan mengapa menyetujui pengesahan revisi UU MD3. "Tapi sudah saya jelaskan latar belakangnya, ini dialognya panjang. Kalau saya tidak menerima ini mungkin tidak akan ada pengesahan MD3 pada waktu itu jadi dinamika politiknya cepat. Saya katakan OK sebatas Contempt of Parliament dalam mengerjakan tugasnya," ungkap Yasonna.
Yasonna mengatakan presiden tidak mengetahui isi perubahan UU MD3 tersebut. "Beliau tidak aware sama sekali dan tidak saya laporkan sama sekali. Waktu itu perdebatan sangat kencang karena ada keinginan pelantikan (pimpinan DPR) pada masa sidang yang lalu, ada keinginan itu makanya kita putuskan segera dengan pikiran saya akan sampaikan
argumentasi," kata Yasonna.
Ia mengatakan ada banyak konsep di UU MD3 yang tidak disetujui pemerintah. "Jadi yang tidak kita setujui dari draft itu sungguh sangat banyak, tapi itulah pembahasan kita," ujar Yasonna.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Jay Akbar